Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROTES itu datang bertubi dan tak kunjung reda. Rapat membahas hasil pemilu legislatif Kabupaten Kaur, Bengkulu, yang sedianya hanya berlangsung sekali, telah enam kali dilakukan. Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary menghela napas. Tenggat penghitungan suara nasional pemilu legislatif tinggal tiga hari lagi.
Akhirnya rapat pleno rekapitulasi nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu pekan lalu memutuskan menganulir penghitungan suara di tingkat Provinsi Bengkulu serta Kabupaten Kaur. KPU pusat mengesahkan suara dari saksi serta Panitia Pengawas Pemilu. ”Saya harap tidak ada lagi keberatan,” kata Hafiz, disambut tepuk tangan saksi.
Komisi Pemilihan Bengkulu mempresentasikan hasil penghitungan suara Senin dua pekan lalu. Kabupaten Kaur telah menjadi sorotan saat rapat pleno provinsi dilakukan 24 April lalu. KPU provinsi tetap mengesahkan suara meski banyak protes dari saksi. Hasil penghitungan suara di Kaur kembali dipersoalkan di tingkat nasional. Saksi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, Hanura, serta Panitia Pengawas Pemilu menyodorkan data. Dokumen yang dibawa saksi dan Panitia Pengawas ternyata menyajikan data yang sama. ”Dari hasil verifikasi, kami melihat data saksi dan Panitia Pengawas lebih masuk akal,” ujar Hafiz.
Saksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan ada sejumlah kejanggalan penghitungan suara di tingkat kabupaten dan provinsi Bengkulu. Wakil Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan itu mengatakan jumlah pemilih tetap di Kabupaten Kaur berbeda dengan jumlah suara. Kepada Tempo, Arif memperlihatkan perbandingan hitungan tingkat kabupaten dan provinsi dengan saksi dan pengawas. Lalu jumlah suara beberapa partai menggelembung dan partai lain mengempis.
Partai Amanat Nasional di Kabupaten Kaur total mendapat 16.777 suara, namun melonjak menjadi 18.284 ketika direkapitulasi di tingkat provinsi. Data yang disodorkan saksi dan Panitia Pengawas Pemilu lain lagi: PAN hanya mendapat 8.674.
Partai yang perolehannya menggelembung adalah Demokrat. Dalam rekapitulasi kabupaten, Demokrat mendapat 24.594 suara, namun loncat menjadi 27.798 dalam rekapitulasi provinsi. Padahal, menurut data saksi dan Panitia Pengawas, partai ini hanya mendapat 10.236 suara. ”Kami merekomendasikan sanksi pidana buat KPU kabupaten dan provinsi,” ujar Arif.
Kejanggalan rekapitulasi nasional ini, menurut Arif, terjadi di hampir semua provinsi. Rabu pekan lalu, KPU Sumatera Utara memaparkan hasil penghitungan. Presentasi ini terlambat dilakukan karena sejumlah saksi mempertanyakan suara di enam kecamatan di Nias Selatan. Arif mengatakan terdapat perbedaan jumlah pemilih dengan hasil suara di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, Gomo, Amandraya, Lolowau, dan Lolomatua. PDI Perjuangan bersama saksi lain, seperti Golkar dan Hanura, meminta penghitungan ulang.
Anggota KPU, I Gusti Putu Artha, mengatakan penghitungan ulang melanggar undang-undang karena telah melebihi batas waktu. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan penghitungan ulang paling lambat dilakukan lima hari setelah pemungutan suara. KPU meminta Badan Pengawas Pemilu mengeluarkan rekomendasi hitung ulang. Putu mengatakan Komisi memerlukan landasan supaya tak dianggap melanggar undang-undang. ”Urusannya penjara,” kata Putu.
Badan Pengawas menolak. ”Masak, KPU yang salah, kami yang menanggung,” kata Ketua Pengawas, Bambang Eka Cahya. Rabu malam lalu, KPU akhirnya memutuskan penghitungan ulang di enam kecamatan dilakukan tanpa rekomendasi Badan Pengawas.
ANCAMAN penjara dan denda memang membayangi anggota Komisi bila melampaui tenggat. KPU bisa digugat pidana dengan ancaman 24 hingga 60 bulan penjara kalau tak menetapkan hasil pemilu. Komisi lalu menggeber rapat rekapitulasi hingga dinihari selama dua minggu terakhir. Jumat pagi pekan lalu, KPU baru menetapkan perolehan suara dari Papua. Rekapitulasi perolehan suara di Papua berlangsung sehari sebelumnya—terlambat 12 hari dari ketentuan undang-undang.
Ketua KPU Papua Benny Sweny mengatakan keterlambatan rekapitulasi terjadi karena kondisi alam yang sulit. Di sejumlah kabupaten, pemilu bahkan baru terlaksana pada 11 April—tiga hari lebih lambat dari semestinya—karena logistik datang terlambat. ”Pemilu lancar dan aman saja sudah bagus,” kata Benny.
Rekapitulasi suara Papua di tingkat provinsi dan nasional sarat protes. Saksi dari Partai Amanat Nasional, Patriot, PDI Perjuangan, dan Demokrat mempertanyakan rekapitulasi suara di Kabupaten Yahukimo. Mereka berpendapat pemilu di sana diintervensi aparat pemerintah untuk kepentingan partai tertentu.
Hujan protes rekapitulasi nasional memang sudah berlangsung sejak hari pertama. Waktu itu, KPU mengesahkan rekapitulasi suara di empat provinsi: Yogyakarta, Bali, Bangka Belitung, dan Sumatera Barat. Akhir pekan lalu, KPU telah menyelesaikan rekapitulasi pemilu dari 77 daerah pemilihan yang tersebar di 33 provinsi. Yang terakhir masuk adalah Nias Selatan dan Maluku Utara.
Saksi Partai Golkar, Rully Chairul Azwar, mengatakan rekapitulasi sulit dilakukan karena banyak daerah tak siap menyelenggarakan pemilu. Menurutnya, mekanisme pemilu sekarang juga lebih rumit ketimbang sebelumnya. Rully menambahkan KPU daerah juga banyak yang tidak amanah dan tidak adil. Ia mencontohkan kasus di Bengkulu yang menguntungkan calon legislator dari keluarga bupati. ”KPU pusat jadinya kewalahan,” ujar Rully.
Hampir semua provinsi terlambat menyerahkan rekapitulasi ke KPU pusat. Di Maluku, misalnya, rekapitulasi provinsi baru berakhir Senin pekan lalu karena kotak suara dari kabupaten datang terlambat. Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, mengatakan persoalan rekapitulasi terjadi di semua tingkat penyelenggara pemilu: dari panitia pemungutan suara hingga KPU pusat. Menurutnya, penyelenggara pemilu sekarang kurang persiapan serta tak memahami aturan.
Didik mengatakan masa rekapitulasi Pemilu 2009 sama dengan Pemilu 2004, yakni 30 hari. Terlambatnya rekapitulasi provinsi membuat penghitungan nasional semakin sempit. Padahal KPU harus berpegang pada ketentuan bahwa pada 9 Mei rekapitulasi, penghitungan perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih harus sudah beres. ”Jadinya seperti sopir metromini yang mengejar setoran,” kata anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004 ini. ”Tabrak dan salip sana-sini.”
Karena main kebut, rekapitulasi nasional melanggar kebiasaan, norma, bahkan peraturan. Rapat rekapitulasi, misalnya, tak bisa diakses penuh oleh publik, padahal Undang-Undang Pemilu menyatakan rapat itu terbuka untuk umum. Didik mengatakan KPU juga harus mempertimbangkan semua keberatan saksi partai. Menurutnya, rekapitulasi nasional berlangsung cepat hanya untuk memenuhi jadwal. ”Soal gugatan ke Mahkamah Konstitusi, perkara nanti,” katanya.
Yandi M.R. (Jakarta), Cunding Levi, Mochtar Touwe (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo