Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGKA 234 besar-besar di sisi depan gedung berlantai empat di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur itu tampak mencolok. Posisinya strategis: persis di bawah tulisan Jurnal Nasional yang dipasang di lantai teratas gedung itu. ”Awalnya alamat gedung ini Jalan Pemuda 34,” kata Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional N. Syamsuddin Ch. Haesy, saat ditemui di kantor itu, pekan lalu. ”Tapi, karena nomor di sini acak, ya kami tambahkan 2. Jadi 234,” katanya tertawa. Di pagar depan, nomor lama kantor itu masih terpampang.
Angka 234 tak hanya nangkring di atap gedung. Deretan angka serupa juga bertebaran di tempat lain. Pelat nomor kendaraan sebuah mobil Nissan X-Trail yang diparkir di lobi gedung Jurnal Nasional, misalnya, juga berisi deretan angka sakti serupa: 234.
Koran Jurnal juga memuat rubrik Jendela 234 kolom tetap yang ditulis secara bergantian oleh Syamsuddin Ch. Haesy dan Ramadhan Pohan, mantan pemimpin redaksi harian itu. Siapa pun mafhum, 234 adalah Dji Sam Soe, merek rokok kebanggaan Sampoerna.
Persis di depan kantor redaksi Jurnal Nasional, tegak berdiri kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Bendera biru berlambang tiga segitiga milik partai pemenang Pemilihan Umum 2009 itu berkibar-kibar di sana. Kedua kantor ini hanya dipisahkan jalan raya.
Dua simbol inilah—angka 234 dan lokasinya yang dekat Partai Demokrat— yang dicurigai peneliti George Junus Aditjondro. Pada bab pertama bukunya, Membongkar Gurita Cikeas, George menuding Sunarjo Sampoerna—keponakan jauh taipan industri rokok Putera Sampoerna—menggelontorkan Rp 150 miliar untuk Jurnal Nasional.
Agak serampangan, George lalu menyimpulkan ada kaitan antara tindakan penyelamatan Bank Century oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan pada November 2008, dan fakta bahwa ayah Sunarjo, Budi Sampoerna, adalah nasabah terbesar Century. Total simpanan Budi di bank itu sekitar US$ 96,5 juta. Namun dia pernah menyimpan sampai Rp 2,1 triliun di bank kecil milik trio Robert Tantular, Hesham al-Warraq, dan Rafat Ali Rizvi itu. Jika bank itu ditutup, mau tak mau, pundi-pundi Sampoerna itu pasti melayang.
Tudingan inilah yang disanggah mati-matian oleh Ramadhan Pohan—kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat. ”Itu halusinasi,” katanya ketika ditemui Tempo pekan lalu. Sepekan sebelumnya, Pohan dan George bertengkar hebat di acara peluncuran buku Gurita Cikeas di Doekoen Cafe, Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu, karena emosi, George menyabet mata kiri Pohan dengan buku.
Pekan lalu, tiga saksi insiden itu dipanggil polisi. ”Gelar perkaranya pekan ini,” kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, setelah pemeriksaan saksi. ”George Junus akan segera dipanggil setelah gelar perkara,” katanya. Jika terbukti menganiaya Pohan, George terancam hukuman dua tahun penjara.
”KORAN ini bukan corong Partai Demokrat,” kata Syamsuddin Haesy tegas. Ditemui di ruang kerjanya yang luas di lantai dua gedung Jurnal Nasional, Syamsuddin berulang kali menampik tuduhan bahwa Jurnal didirikan untuk mengamankan kepentingan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. ”Meskipun kantor kami dekat, tak pernah satu kali pun pengurus Partai Demokrat datang ke sini,” katanya.
Jurnalis yang pernah malang-melintang di Televisi Pendidikan Indonesia dan TV3 Malaysia itu menantang siapa pun untuk meneliti berita Jurnal Nasional dengan metode analisis isi. ”Silakan ditelaah, berapa persen berita kami soal Partai Demokrat,” katanya. Dia lalu menunjukkan sejumlah edisi Jurnal Nasional, termasuk dua koran daerahnya: Jurnal Bogor dan Jurnal Depok. ”Mana yang pro-Demokrat? Berita kami sama saja dengan media lain,” katanya, setengah menggerutu.
Namun Syamsuddin tak membantah jika porsi pemberitaan mengenai Presiden Yudhoyono memang agak menonjol. ”Apakah itu salah? Visi jurnalistik kami segaris dengan visi pemerintahan Pak SBY,” kata Syamsuddin lagi. ”New York Times melakukan hal serupa, tiada hari tanpa foto Presiden Amerika,” katanya.
Soal angka 234 yang bertebaran di kantor Jurnal Nasional, Syamsuddin punya penjelasan. ”Itu kesalahan saya. Saya suka angka 234 setelah pulang dari Mekah,” katanya. Apa hubungannya? ”Itu nama saya, Ha-ji Samsu(din),” katanya serius.
+ Jadi tidak ada peran Sampoerna di Jurnal Nasional?
”Tidak ada keterlibatan Grup Sampoerna.”
+ Bagaimana dengan keluarga Sampoerna?
”Keluarga yang mana?”
+ Sunarjo Sampoerna?
”(Terdiam sebentar) Saya tidak mau berkomentar”.
+ Kenapa?
”Kami bukan perusahaan terbuka, saya tidak punya kewajiban menjelaskan apa pun kepada publik”.
Keengganan Syamsuddin bisa dipahami. Dia tidak terlibat pada pendirian Jurnal Nasional empat tahun lalu. Syamsuddin baru masuk pada Maret 2007, menggantikan D.S. Priyarsono, akademisi dari Brighten Institute. Pemimpin Umum Jurnal Nasional yang pertama adalah Asto Sunu Subroto, Associate Scholar Brighten Institute, yang juga Presiden Direktur Mars, lembaga riset pemasaran.
”Jurnal Nasional ibarat anak saya sendiri,” kata Asto, tatkala ditemui pekan lalu. Dia lalu menunjukkan segepok arsip berupa dokumen konsep awal koran Jurnal Nasional. ”Ini rancangan awal desainnya,” kata Asto. ”Logonya begini, dengan empat bendera Merah Putih,” katanya sambil memperlihatkan corat-coret kasar logo Jurnal Nasional. ”Tagline ’Bicara Tepat Bawa Manfaat’ itu baru muncul belakangan,” kata Asto lagi, sambil membuka-buka laporan perkembangan Jurnal pada bulan-bulan pertama pendiriannya.
Ide pendirian koran ini tercetus pada pertengahan 2005. ”Kami tidak ingin membuat media biasa, kami mau koran yang berisi riset dan investigasi,” kata Asto menjelaskan. Asto dan sejumlah aktivis Blora Center—lembaga think tank yang dekat dengan SBY—merasa prihatin melihat media di Indonesia sering terjebak pada isu sesaat dan hanya menampilkan berita sepotong-sepotong.
”Kami ingin menampilkan latar belakang informasi secara komprehensif,” katanya. Nama ’Jurnal’ dipilih, ”Karena isinya analisis, bukan melulu berita,” kata Asto. Konsep ini terus digodok sampai akhirnya dibawa ke Yudhoyono pada awal 2006. Rapat-rapat persiapan lalu berlanjut di kediaman SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat.
”Waktu itu SBY tanya, apa bisa dalam enam bulan ini koran berdiri,” kata Asto. Dia spontan menjawab, ”Empat bulan juga bisa, Pak.” Setelah itu, proses persiapan terbit—mulai rekrutmen wartawan, pemilihan kantor, sampai uji coba redaksi—bergulir makin cepat.
Untuk pendanaan, Asto menjelaskan, SBY punya solusi. ”Dia minta Pak Sunarjo dan Pak Gatot Suwondo membantu kami,” kata Asto. Sunarjo yang dimaksud adalah Sunarjo Sampoerna, pengusaha tembakau papan atas negeri ini. ”Pak SBY dan Pak Narjo sudah dekat dengan SBY jauh sebelum beliau jadi presiden,” kata Asto. Sedangkan Gatot—adik ipar Yudhoyono—saat itu bankir di BNI. Sejak Februari 2008, Gatot naik menjadi direktur utama bank pemerintah itu. ”Berkat dukungan mereka berdua, Jurnal akhirnya bisa terbit tepat pada hari peringatan lahirnya Pancasila, 1 Juni 2006,” kata Asto.
Seniman Taufik Rahzen, yang juga penggagas awal Jurnal Nasional, membenarkan kisah Asto. ”Saya yang mempresentasikan konsep Jurnal di hadapan Pak Narjo,” katanya pekan lalu. Di hadapan Sunarjo yang juga dikenal sebagai kolektor lukisan kakap, Taufik menjelaskan konsep Jurnal Nasional sebagai mediator antara publik dan republik. ”Yang kami maksud Republik itu ya eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” kata Taufik.
Singkat kata, Sunarjo setuju menanam duitnya di koran baru ini. Komitmen awalnya, menurut Taufik, Rp 18 miliar. ”Kami yakin bisa mengembalikannya dalam dua-tiga tahun,” kata Taufik lagi.
Tentu duit miliaran rupiah itu tidak digelontorkan sekaligus. ”Urusan keuangan dipercayakan pada Ting Ananta Setiawan, profesional yang memang diminta Pak Narjo membantu di urusan itu,” kata Asto. Setiap bulan, untuk biaya operasional, Jurnal menyedot duit Rp 2 miliar. Baik Taufik maupun Asto sepakat, untuk bisa bertahan, mereka perlu meraih oplah di atas 100 ribu eksemplar per hari. ”Perjanjian dengan Pak Narjo ini murni bisnis,” kata Taufik. ”Ini bukan proyek buang duit.”
Sayangnya, sampai akhir pekan lalu, Sunarjo Sampoerna tidak merespons permintaan Tempo untuk wawancara. Dia hanya mau dihubungi lewat pengacaranya, Eman Achmad Sulaeman. ”Benar, Pak Narjo memang punya bisnis media,” kata Eman. Namun dia tak mau memerinci media mana saja yang dimilikinya.
Reaksi Gatot Suwondo juga sama. Dihubungi lewat pesan pendek, dia menolak berkomentar ketika ditanya soal perannya di Jurnal Nasional dan sepak terjangnya mencari pendanaan untuk media itu. ”Yang pasti, saya sekarang mengatur kekuatan permodalan BNI,” katanya.
Juru bicara kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengaku tidak tahu soal kedekatan Presiden dengan Sunarjo Sampoerna. ”Presiden tidak pernah bicara khusus tentang hal ini. Tapi bisa saja kalau ada orang yang mengaku dekat. Ini bukan pertama kali terjadi,” kata Julian.
DALAM tiga tahun perjalanannya, biduk Jurnal Nasional tak selalu melaju mulus. Konflik internal kadang muncul. Masalah rekrutmen karyawan sampai penentuan strategi pemasaran jadi pemicunya. Penentuan topik dan sudut pandang pemberitaan pun tak jarang diwarnai perdebatan.
Pertumbuhan Jurnal yang tak sesuai dengan proyeksi juga jadi problem. Kedekatan dengan SBY membuat koran itu ”malu-malu kucing” bila berurusan dengan bisnis yang terkait dengan pemerintah. ”Kami pernah mau ikut lelang iklan dari Bappenas, tapi dilarang,” kata Taufik. Syamsuddin juga mengeluh sama, ”Kalau kami dapat kemudahan macam-macam, kami pasti sudah jadi koran besar sekarang,” katanya.
Asto Sunu Subroto dan Taufik Rahzen akhirnya terpental, keluar dari Jurnal Nasional. Tapi keduanya kukuh membantah ada konflik di dalam. ”Saya keluar karena peran saya sudah cukup,” kata Asto. Pada awal 2006, Asto mengaku diminta langsung oleh Presiden Yudhoyono untuk mengawal pendirian Jurnal sampai mandiri. ”Tugas itu sudah selesai,” katanya. Adapun Taufik Rahzen memilih berkonsentrasi lagi dalam kegiatan kebudayaan.
Sepeninggal mereka, duet Syamsuddin Haesy-Ramadhan Pohan ada di posisi kendali. Mereka melakukan ekspansi usaha dengan membuat majalah Eksplo (khusus meliput isu energi dan sumber daya mineral), majalah Arti (khusus untuk isu kesenian), serta dua koran lokal: Jurnal Depok dan Jurnal Bogor. ”Secara bisnis, kami bertumbuh,” kata Syamsuddin.
Namun dia mengakui ada potensi pasar yang belum dirambah. Citra Jurnal sebagai koran Istana justru membuatnya terseok di pasaran. ”Tahun ini kami akan merevisi politik redaksi kami,” kata Syamsuddin. ”Kami akan memutuskan apakah tetap membela figur SBY atau diperluas,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Ninin Damayanti, Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo