Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELASA malam, Februari tahun lalu, di ruang perpustakaan pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Jawa Barat. Pemimpin Redaksi Harian Jurnal Nasional Ramadhan Pohan berbincang santai dengan pemilik rumah. Tampak serius, meski juga banyak canda, lima jam Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu bercakap dengan sang jurnalis—belakangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat.
Ketika waktu makan malam tiba, keduanya beranjak ke ruang dalam. Di dapur sibuk bekerja Ibu Negara Ani Yudhoyono. Presiden mengambil sendiri makan malamnya, bahkan sempat menambah lagi. Ibu Ani repot menyiapkan nasi dan oseng-oseng.
Malam itu, untuk pertama kalinya Yudhoyono bersedia diwawancarai soal isu pencalonannya kembali dalam pemilihan presiden 2009. Harian Jurnal Nasional mendapat kesempatan pertama.
SUATU hari pertengahan 2005. Tiga lelaki dari Blora Center sepakat mendirikan sebuah perusahaan media. Mereka adalah Taufik Rahzen (seniman), Rully Charis Iswahyudi (pengusaha), dan Ramadhan Pohan (mantan wartawan Jawa Pos). Blora Center adalah salah satu think tank yang menyiapkan Yudhoyono saat maju dalam pemilihan presiden 2004. Dalam perjalanannya, dibentuklah Blora Institute yang dipimpin Taufik Rahzen—belakangan menjadi redaktur senior di harian yang dibentuknya.
Trio ini dibantu tim dari Brighten Institute—lembaga tempat Yudhoyono menjadi ketua dewan pembina. Mereka adalah Joyo Winoto, Daddi Heryono, dan Asto Sunu Subroto. Pada 1 Juni 2006 lahirlah Jurnal Nasional.
Awalnya Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional dipegang oleh Asto Sunu Subroto. Setahun kemudian ia diganti oleh D.S. Priyarsono, yang hanya menjabat beberapa bulan. Selanjutnya, pemimpin dipegang oleh N. Syamsuddin Ch. Haesy sampai sekarang.
Kedekatan Jurnal dengan Yudhoyono jadi sorotan. Koran itu disebut-sebut menerima duit dari industri rokok terkenal, Grup Sampoerna. Hal ini dibantah Ramadhan. Tapi, bahwa Jurnal berafiliasi dengan Yudhoyono, Ramadhan tak menyangkalnya. ”Jurnal Nasional memang membela SBY,” katanya. Sejak awal, Jurnal dirancang untuk sejalan dengan pemikiran Yudhoyono, yang ingin media memuat berita positif. ”Itulah sebabnya, di koran ini tidak ada berita dan foto demonstrasi.”
Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional setelah Ramadhan Pohan, Hamid Dipo Pramono, menyangkal tudingan Yudhoyono mengintervensi redaksi. Menurut dia, Presiden tidak pernah secara khusus mengarahkan. ”Salah bila ada yang menganggap Jurnal seperti lembaga humas. Apalagi hanya menerima order dari Istana.”
Meski Presiden tak turun tangan, menurut beberapa awak redaksi Jurnal, yang kerap ikut campur adalah mantan juru bicara kepresidenan Andi Alifian Mallarangeng. Ia memang tidak pernah ikut langsung dalam rapat redaksi, tapi permintaan disampaikan lewat telepon. Andi tak sepenuhnya membantah cerita ini. ”Saya menjalin hubungan dengan semua pemimpin redaksi. Kalau ada pemberitaan kurang pas, ya saya koreksi,” katanya.
Sejak awal Andi menjadi penulis tetap di Jurnal. Kolomnya, "Dari Kilometer 0,0", dimuat secara rutin sejak 29 Mei 2006. Selain itu, orang Istana lain yang rajin menulis adalah Anas Urbaningrum (kini Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR) dan Denny Indrayana (anggota staf khusus presiden bidang hukum).
Ninin Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo