Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Calon Pahlawan Nasional</B></font><BR />Pahlawan Karanganyar Menunggu Keputusan

Soeharto masuk daftar sepuluh calon pahlawan nasional. Para korban rezim Orde Baru menolak.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HINGGA sekitar pukul satu dinihari, Selasa pekan lalu, Dyah Sujirah belum tidur. Dia memelototi layar laptop cicilan yang belum lunas. Perempuan yang biasa disapa Sipon itu membuka-buka akun Facebook anak sulungnya, Fitri Nganthi Wani. Dibacanya tulisan, ”Gak bisa mikir ya, mikirin Mbah Kakung mau jadi pahlawan.” Tahulah dia, Soeharto masuk daftar calon pahlawan nasional dari Kementerian Sosial. ”Saya ingin marah, tapi pada siapa,” katanya.

Ibu dua anak itu masih harus bergulat sendirian menghidupi keluarganya setelah suaminya, aktivis buruh dan penyair Wiji Thukul, raib hampir berbarengan dengan belasan aktivis lain, menjelang Soeharto jatuh, 12 tahun silam. ”Bagaimana dengan keluarga saya yang menjadi korban, dan tidak dihiraukan selama ini?” kata warga Surakarta, Jawa Tengah, itu.

Senin pekan sebelumnya, Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufrie menerima hasil kerja Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat. Sepuluh nama direkomendasikan menjadi calon pahlawan nasional, di antaranya Soeharto, Ali Sadikin, dan Abdurrahman Wahid.

Siang itu juga, sepuluh nama itu diberangkatkan ke kantor Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. ”Mereka membantu Presiden untuk mempertimbangkan,” kata Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial Rusli Wahid. Setelah itu, Presiden akan memutuskan.

Tak hanya Sipon yang ternganga membaca berita Soeharto masuk daftar calon pahlawan nasional. Sri Sumiarsih, ibunda almarhum Bernadus Realino Norma Wirawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas tertembak dalam insiden Semanggi, juga geram. ”Saya langsung meng-SMS Mbak Suci (Suciwati, istri almarhum Munir),” katanya. ”Kita harus mengirim surat penolakan.” Pada 20 Oktober lalu, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan pun melayangkan surat ke Dewan Gelar.

Sejarawan Anhar Gonggong juga tak sepakat presiden Indonesia kedua ini menjadi pahlawan nasional. ”Saya menghargai Soeharto sebagai pejuang sampai sebelum dia berkuasa,” katanya. ”Tapi dia jadi kotor setelah jadi presiden.”

Rusli Wahid mengatakan Kementerian Sosial hanya memproses nama yang diusulkan oleh masyarakat. Soeharto diusulkan dari Karanganyar, Jawa Tengah. Bupati Karanganyar Rina Iriani menyatakan usul itu berasal dari berbagai elemen masyarakat. Kemudian digelar beberapa pertemuan resmi, mulai sarasehan di Hotel Lor Inn dan pertemuan di Monumen Jaten, yang dilakukan tahun lalu, hingga pertemuan di rumah dinasnya, tahun ini.

Menurut Rina, Soeharto memiliki banyak kelebihan. ”Kalau tidak, mana mungkin bisa bertahan 32 tahun,” katanya. Ia menambahkan, Soeharto juga membawa kebaikan bagi masyarakat Karanganyar. ”Kalau Pak Harto tidak dimakamkan di Giribangun, saya pesimistis jalan-jalan di Karanganyar akan semulus sekarang,” katanya ketika ditemui dalam acara peringatan seribu hari kematian Soeharto di Astana Giribangun, Kamis malam pekan lalu.

Sebetulnya, dalam sarasehan di Hotel Lor Inn, yang diprakarsai Komite Nasional Pemuda Indonesia, pada 9 Juli tahun lalu itu, tak semua peserta maupun panelis sepakat pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Rina jelas mendukung. Tetapi sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, dan sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Budiawan, menentang. ”Wacana seperti ini sebaiknya diangkat 17 tahun lagi,” kata Asvi ketika itu.

Namun akhirnya Soeharto tetap diusulkan Karanganyar, lewat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ketidaksatuan suara juga terjadi di Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat yang dibentuk Menteri Sosial. Tim yang beranggotakan 13 orang itu beradu argumentasi dengan keras. Rekomendasi yang disampaikan ke Dewan Gelar juga tak bulat. Menurut Anhar Gonggong, ada sekitar empat orang yang tidak mendukung pengusulan. ”Ada yang tegas menolak,” kata Anhar, yang berbicara atas nama pribadi, bukan sebagai anggota tim.

Pembahasan ”nasib” Soeharto itu dilakukan melalui tiga kali pertemuan. Setiap pertemuan, pada awal Oktober itu, rata-rata berlangsung sekitar tiga jam. ”Kami berkelahi betul dan berdarah-darah,” kata Anhar, bertamsil. Ia sendiri tegas menyatakan menolak. ”Saya menggunakan istilah di-pending,” katanya. Menurut dia, Soeharto terlibat dalam banyak tindak korupsi yang membuat keluarga dan kroninya mengeruk keuntungan.

Dalam menjalankan pemerintahan, ”Slogannya menjalankan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen,” kata Anhar. ”Tetapi, dalam prakteknya, dia menyelewengkan Pancasila dan UUD 45 secara konsekuen.” Dia mencontohkan pelanggaran pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, juga menyatakan pendapat.

Anhar juga mencatat beberapa masalah pelanggaran hak asasi manusia, terutama di Aceh, Papua, dan Timor Timur. ”Memang banyak yang menyatakan dia hebat dalam pelaksanaan pembangunan. Tetapi, akibat pembangunannya itu, banyak juga rakyat yang jadi korban.”

Anggota tim, Bambang W. Suharto, membenarkan alotnya perdebatan. Tetapi perdebatan itu berlaku untuk semua nama. Untuk Soeharto, ”Mayoritas menyatakan memenuhi syarat, yang lain menyatakan di-pending,” katanya. Satu sumber menyatakan Bambang termasuk yang sangat bersemangat mengusulkan nama Soeharto.

Bambang mengaku obyektif dalam mengungkapkan argumentasi. ”Saya membaca banyak sekali buku,” katanya. Ia mencatat, keberhasilan Soeharto dengan pengerahan 2.000 orang dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Ia juga mencatat perebutan Irian Barat. Menurut dia, Soeharto melakukan pemikiran out of the box, infiltrasi dengan terjun payung ke kawasan hutan.

Dalam peristiwa Gerakan 30 September, ia menganggap Soeharto berani mengambil prakarsa untuk memadamkan pemberontakan. Juga keberhasilannya menurunkan angka inflasi dari 600 persen setelah insiden 1965 menjadi 20 persen dalam tiga tahun. ”Saya tidak bicara asumsi, tapi ini pandangan dari literatur,” katanya. Adapun ihwal pelanggaran hak asasi manusia, ”Konteks waktu itu berbeda dengan sekarang,” kata Bambang.

Keluarga Soeharto sendiri tak banyak bicara. Putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra, yang ditemui di tengah acara di Astana Giribangun, menyatakan tak heran akan dukungan terhadap ayahnya. ”Bapak sangat memperhatikan nasib rakyat,” katanya.

Hingga Jumat pekan lalu, sepuluh nama masih digodok di Dewan Gelar. ”Masih terus dibahas,” kata pemimpin Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Djoko Suyanto. Adu argumentasi bergeser ke dewan yang beranggotakan Hayono Suyono, T.B. Silalahi, Juwono Sudarsono, Quraish Shihab, Jimly Asshiddiqie, dan Edi Sedyawati itu.

Kalau Dewan telah sampai pada kesimpulan, nama calon pahlawan akan diserahkan ke Presiden. ”Bisa saja Presiden hanya menetapkan dua atau tiga,” kata Sekretaris Kabinet Dipo Alam.

Purwani Diyah Prabandari, Ukky Promartanyo (Karanganyar), Ahmad Rafiq (Surakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus