Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAM besuk di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Abepura, Papua, sudah habis, pukul lima petang, Kamis dua pekan lalu. Narapidana masuk ke ruangan masing-masing. Tapi Buctar Tabuni, 30 tahun, terpidana tiga tahun kasus penghasutan massa melawan pemerintah, menolak masuk sel.
Buctar protes karena tak ada air di dalam selnya. ”Setelah diselesaikan petugas, kami masuk ke blok masing-masing,” kata Buctar kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Beres urusan air, empat tahanan yang bertugas membantu sipir mendatangi sel Buctar.
Mereka adalah tahanan militer dan satu polisi, titipan dari rumah tahanan militer Wamena. Para tahanan pendamping itu mengatakan Buctar akan dipindahkan. Buctar menolak, sehingga terjadi adu mulut. Mereka lalu membuka pintu sel Buctar dan menyeretnya keluar.
Buctar dikeroyok sehingga bibirnya pecah, kepalanya bengkak dan berdarah. Tiba-tiba beredar pesan pendek ke sejumlah narapidana, juga keluarga dan kolega Buctar di luar penjara: Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah, Papua, itu dikeroyok dua tentara, satu polisi, dan satu petugas penjara.
Jumat tengah hari, sekitar seratusan orang mendatangi penjara Abepura. Mereka langsung menguasai pintu utama. Di dalam penjara, sejumlah tahanan keluar dari sel, mengamuk dan melakukan perusakan. Lima komputer remuk, satu printer dan mesin ketik benjut, kaca jendela pecah.
Kepala lembaga pemasyarakatan, Anthonius Ayorbara, mengatakan pesan pendek berasal dari Seby Sambom, yang ditahan dengan tuduhan sama seperti Buctar. Kerusuhan reda setelah beberapa orang diizinkan bertemu Buctar.
Buctar dan Seby divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura, Juli lalu. Mereka dijerat dengan pasal penghasutan massa ketika unjuk rasa di depan Universitas Cenderawasih dan Ekspo Waena, Oktober tahun lalu.
Anthonius mengatakan, setelah ricuh di penjara itu, Buctar sebetulnya telah menyetujui sejumlah kesepakatan. Ia bersedia mengganti kerugian, tapi pelaku pemukulan harus ditindak tegas dan dipindahkan dari penjara Abepura. ”Terakhir, Buctar dan Seby berjanji tak akan berbuat onar,” kata Anthonius.
Anehnya, setelah kesepakatan itu, pesan pendek kembali beredar. Kali ini lebih gawat: Buctar tewas. Anthonius langsung menggelar jumpa pers dan menghadirkan Buctar, Ahad pekan lalu.
Peristiwa ini sempat membuat khawatir akan meluasnya keributan. Apalagi momennya menjelang 1 Desember, ”hari kemerdekaan” Papua Barat. Untuk menghindari kerusuhan susulan, pelaku pengeroyokan dipindahkan dari Abepura.
Kepala oditur polisi militer Letnan Kolonel Heru Yesus mengatakan, narapidana tentara di penjara Abepura adalah titipan sementara. Seharusnya mereka di Wamena, tapi penjara di sana penuh. Menurut rencana, mereka akan dikirim ke mahkamah militer di Makassar. ”Tapi dananya belum cukup,” kata Yesus.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah, Markus Haluk, mengatakan banyak kejanggalan dalam kasus pemukulan Buctar. Misalnya, munculnya tahanan tentara dan polisi di Abepura. Para pengeroyok juga memiliki kunci, sehingga bisa membuka sel Buctar.
Menurut dia, sebelum kejadian, narapidana tentara menanyakan informasi mengenai Buctar kepada sejumlah orang. Markus menambahkan, sebelumnya Buctar juga pernah dianiaya dua kali oleh petugas lembaga pemasyarakatan. Pemukulan juga dialami tahanan politik Yusak Pakage.
Dalam laporan Human Rights Watch, terdapat lebih dari 20 tindakan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Di dalam penjara dengan kapasitas 230 orang itu kini terdapat sembilan tahanan politik. ”Mereka selalu diintimidasi,” kata Markus.
Yandi M.R. (Jakarta), Cunding Levi (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo