Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Pulau Artalyta</font><br />Penjaga Pantai Ratu Lobi

Wartawan Tempo dipaksa meninggalkan perahu saat meliput pulau milik Artalyta Suryani, tersangka skandal suap Rp 6,1 miliar. Marinir membantah jika disebut anggotanya terlibat.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA muncul bagai angin: dua orang berambut pendek, satu di antaranya menenteng bedil laras panjang, menderu dengan perahu motor entah dari mana. Kamis sore, 6 Maret 2008, Teluk Lampung kurang bersahabat. Gulungan ombak menggoyang perahu yang ditumpangi Nurochman Arrazie, wartawan Tempo yang sedang memutari Pulau Lelangga Kecil, satu di antara puluhan pulau kecil di kawasan tersebut.

Dua pria itu datang untuk menghentikan perahu Nurochman. Mereka menanyakan keperluan sang jurnalis berada di dekat pulau itu. Seorang yang mengenakan kaus hijau tua bertulisan ”Brigif 7” dengan celana loreng tiba-tiba menendang perahu Nurochman. Temannya, yang bersinglet biru muda dan celana loreng, menghardik, ”Buka jaket kamu!” Ia meminta Nurochman membuka baju dan celana. ”Saya turuti perintah itu,” katanya.

Pria bersinglet biru lalu melempar rompi dan ban pelampung bertulisan ”TNI AL” ke perahu Nurochman. Ini perahu sewaan dengan tempat duduk kayu, yang hanya cukup untuk enam orang dan dikemudikan warga lokal. Si rambut cepak meminta Nurochman mengenakan pelampung itu. ”Ia bilang, ’Pakai kalau kau mau selamat,’” ujar Nurochman, 33 tahun. ”Saya takut sekali, karena saya enggak bisa renang.”

Pria bersinglet biru menyuruh Nurochman terjun ke laut. Mengambang dengan pelampung di tubuh, ia menjejak-jejakkan kaki berusaha menuju tepian Lelangga Kecil, sekitar 50 meter dari tempatnya ”dilemparkan”. Dua puluh menit kemudian ia menggapai pulau itu.

Lulusan Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta itu rupanya menyembunyikan ”senjata”: telepon seluler berkamera. Ia sempatkan membungkus telepon itu dengan plastik tempat nasi bungkus bekal dari istrinya di rumah ketika dua pria berambut cepak ”menelanjanginya”. Telepon itu lalu diselipkan pada rompi pelampung di tubuhnya sebelum terjun ke laut. Sementara itu, celana, baju, jaket, kamera digital, kamera video, ransel, juga nasi bungkus harus ia tinggal di perahu.

Menunduk-nunduk Nurochman mengitari pulau seluas dua kali lapangan sepak bola itu. Ia memotret dengan kamera telepon, sambil menghindari para penjaga. Mengenakan rompi pelampung dan hanya bercelana kolor, ia arahkan kamera ke bangunan vila, gazebo, tenda, dan tempat perahu merapat ke pulau tersebut.

Tugas dari Jakarta memang membuatnya tak punya banyak pilihan. Ia diminta mereportasekan pulau itu. Tempat ini ramai disebut media massa setelah pemiliknya, Artalyta Suryani alias Ayin, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena dituduh menyuap jaksa Urip Tri Gunawan. Lelangga Kecil merupakan satu di antara timbunan aset orang dekat konglomerat Sjamsul Nursalim itu. Ke pulau inilah beberapa petinggi kejaksaan, menurut sumber Tempo, pernah berkunjung bersama Ayin, yang dikenal sebagai jago lobi.

Tiba-tiba terdengar tembakan dari bagian atas pulau itu. Dua orang berlari ke arah Nurochman. ”Saya langsung lari dan kembali terjun ke laut,” katanya. ”Saya kehilangan arah, lalu perahu yang mengantar saya ke pulau itu datang. Ternyata ia menunggu saya di kejauhan.”

Pengemudi cepat-cepat memacu perahu yang ditempeli mesin Yamaha itu ke dermaga Ketapang, tempat mereka pertama kali datang. Setengah jam kemudian, ketika magrib menjelang, perahu yang disewa Rp 500 ribu tersebut tiba di dermaga. Dua orang berambut cepak yang menghadang perahu itu ternyata sudah menunggu di sana, duduk di pos keamanan laut milik Marinir Brigif 7.

Menurut Nurochman, mereka senyum-senyum. Seorang di antaranya, yang bersinglet biru, lalu menggaet celana Nurochman. Ia membuka dompet di saku dan mengambil uang Rp 400 ribu di dalamnya. ”Mereka bilang itu uang sewa rompi dan pelampung yang saya pakai,” kata Nurochman. Jadilah pria berbadan gempal ini berutang kepada pengemudi perahu karena uang yang ia siapkan disikat para ”penjaga pantai”.

Siapa dua pria berambut pendek itu? Kolonel Laut Aguk Dwi Wahyu, Komandan Pangkalan Angkatan Laut Siabung, dan Kolonel Saut Sambatua, Komandan Brigif 7 Marinir, membantah jika dikatakan punya pos penjagaan di Lelangga Kecil. Mereka berjanji akan menurunkan personelnya untuk menyelidiki kasus ini. Pangkalan Angkatan Laut Siabung dan Brigif 7 Marinir bermarkas di sekitar gugusan pulau itu.

Lelangga Kecil berada di ujung gugusan pulau kecil di Teluk Lampung. Dari dermaga Ketapang, Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung, pulau ini bisa dicapai kurang dari setengah jam dengan perahu motor bermesin tempel tersebut. Dengan catatan, ombak tak sedang bersemangat. Dari Ketapang, terangkai antara lain Pulau Kelagian, Puhawang, dan Lelangga Besar.

Beberapa hari setelah penangkapan Urip, tak mudah mencari pengemudi perahu yang bersedia mengantar ke Lelangga Kecil. Itu sebabnya, Nurochman baru menyatakan tujuannya ketika perahu sudah di laut. ”Untuk masuk ke sana, harus ada izin,” kata seorang pengemudi perahu. Ketika dua pria menghentikan perahunya, menurut Nurochman, si pengemudi perahu pun berujar, ”Mati, Mas, kita ketahuan.”

Kamis pekan lalu, Tempo kembali mendatangi pulau itu. Tiba di dermaga–tembok di bibir pantai yang digantungi roda bekas truk untuk penahan perahu—empat orang menyambut. ”Ada keperluan apa, Pak?” ”Saya hanya ingin melihat-lihat.” ”Silakan, tapi hanya dari tempat ini.” Ada enam orang lainnya di tempat itu. Mereka mengaku penduduk pulau-pulau di sekitar situ yang ”bekerja serabutan”.

Bagian luar Lelangga Kecil dipagari batu buatan yang dibuat mirip karang. Jalan semen satu setengah meter dibuat melingkari sisi luar ini. Di samping dermaga, jala-jala dibuat untuk memelihara hiu putih. Di tempat yang sedikit tinggi, ada bangunan mirip pendapa. Ada juga gazebo di beberapa tempat. Para pekerja tampak sedang menyiapkan bangunan besar di satu sisi. ”Untuk mes,” kata seorang pekerja.

Tak sampai 10 menit Tempo di tempat itu, seorang pria datang dari arah atas. Dengan keras ia menghardik, ”Bapak-bapak, silakan keluar dari tempat ini! Siapa pun yang tidak kami kenal tidak diperbolehkan datang ke pulau ini.” Tak terlihat di sana orang yang menyandang senjata. Menurut beberapa penduduk setempat, hampir sepekan ini tak ada ”aparat” yang berperahu dari Ketapang ke sana.

Budi Setyarso (Bandar Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus