Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSPEKTUR Jenderal Herman Surjadi Sumawiredja semestinya baru akan pensiun dari kepolisian Mei depan. Tapi, hanya beberapa hari setelah diberhentikan dari jabatan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, pertengahan Februari lalu, ia mengajukan surat pengunduran diri. ”Saya kini menunggu persetujuan atasan,” katanya di Jakarta, Jumat dua pekan lalu.
Herman mengatakan tak kecewa dengan penggantian dirinya. Apalagi ia sudah tiga setengah tahun memegang jabatan itu. Ia hanya mengaku tak mau menerima ”gaji buta” karena tak memiliki pekerjaan hingga masuk masa pensiun. Kepada Tempo, ia menyatakan hendak segera memperdalam bahasa Arab dan Inggris.
Bagi Khofifah Indar Parawansa, mantan calon Gubernur Jawa Timur, pergantian Herman berkaitan dengan pengusutan dugaan pelanggaran pemilihan ulang di Sampang dan Bangkalan, Januari lalu. Herman bersemangat mengusut kasus ini. Pada hari-hari terakhir sebagai Kepala Kepolisian Jawa Timur, ia bahkan menetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur Wahyudi Purnomo sebagai tersangka.
Semangat itu tampak di lantai dua Gedung Tribrata, Markas Kepolisian Jawa Timur, di Surabaya, Rabu tiga pekan lalu. Hingga menjelang subuh, belasan polisi keluar-masuk ruangan di ujung gedung. Mereka membawa tumpukan kertas, lalu menyusunnya di atas meja. Ruang kerja Herman itu seolah tak berpintu.
Tujuh jam kemudian, Herman keluar dari ruang kerjanya. Menenteng gepokan kertas yang sama, ia menuju aula di ruang sebelah. Wartawan sudah berkumpul di sana. Mereka awalnya diundang untuk acara pamitan sang Kepala Polda. Tapi mereka mendapat kejutan istimewa: Herman menggelar tumpukan kertas itu, yang ternyata ribuan dokumen dugaan pemalsuan daftar pemilih tetap di Bangkalan dan Sampang yang dimenangi pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Dua bundel rekapitulasi temuan kasus, masing-masing setebal 10 sentimeter, dibedah. ”Berdasarkan dokumen ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur resmi jadi tersangka manipulasi daftar pemilih tetap,” kata Herman ketika itu.
Menurut Herman, berkas itu diterima dari Panitia Pengawas Pemilihan Jawa Timur. Di situ antara lain disebutkan tujuh modus pemalsuan daftar: kesamaan nomor induk kependudukan; nomor induk dan nama sama; nomor, nama, dan tanggal lahir sama; nomor, nama, tanggal lahir, dan alamat sama; nomor induk tidak standar; usia pemilih di bawah 17 tahun dan belum menikah; serta usia tidak didaftar.
Sehari setelah menetapkan Wahyudi sebagai tersangka, Herman menyerahkan jabatan kepada Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam. Tiga hari kemudian, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Komisaris Jenderal Susno Duadji membatalkan penetapan Wahyudi sebagai tersangka. Anton pun menegaskan keputusan itu. ”Masih penyelidikan, belum ada tersangka,” katanya.
Kepada Tempo, Herman mengatakan— kecewa dengan keputusan itu. Ia yakin kasus ini sangat kuat. Ia pun menyebutkan adanya dugaan kerugian negara. Alasannya, sebelum penetapan daftar pemilih tetap, sudah dilakukan validasi dan pengecekan ulang oleh Komisi Pemilihan Umum. Setiap lembaga yang terlibat proses itu dibayar Rp 400 per pemilih.
Ia mengakui penetapan Wahyudi awalnya merupakan formalitas untuk meningkatkan tahap penyelidikan menjadi penyidikan. Pada waktu itu, Kejaksaan Jawa Timur mengembalikan surat perintah dimulainya penyidikan yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Komisaris Besar Edy Supriadi karena tidak mencantumkan nama tersangka. ”Peningkatan tahap penyelidikan ke penyidikan ini perlu untuk menggeledah dan memeriksa data,” kata Herman.
Wahyudi Purnomo lalu dijadikan tersangka karena dianggap tahu kekisruhan data tapi membiarkannya. Artinya, Wahyudi bisa dikenai pasal membantu kejahatan. Ketika dimintai konfirmasi, Mulyono, Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Jawa Timur, mengaku belum pernah menerima surat perintah dimulainya penyidikan itu.
Di luar soal prosedur hukum itu, pembatalan status tersangka Wahyudi dilakukan atas perintah Jakarta. Sehari sebelum mengumumkannya kepada pers, Susno bertemu dengan Komisaris Besar Edy Supriadi dan para penyidik lain di Hotel Shangri-La, Surabaya. ”Intinya, status tersangka Wahyudi harus dianulir agar tak membahayakan hasil pemilihan gubernur,” kata sumber Tempo.
Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan status tersangka yang ditetapkan Herman sangat prematur. Karena itu, ia memerintahkan Kepala Badan Reserse Kriminal ke Surabaya. ”Sampai hari ini, kami minta barang bukti yang dinyatakan palsu dan lain-lain, tapi belum kami dapat,” katanya Jumat pekan lalu.
Ia juga membantah penggantian Herman sebagai Kepala Kepolisian Jawa Timur berkaitan dengan kasus ini. Menurut dia, penggantian dilakukan terhadap semua kepala kepolisian daerah yang pensiun pada Mei nanti. ”Ini memang mekanismenya,” ia menegaskan. Perhitungan Bambang, penggantian kepala kepolisian daerah pada saat pemilu akan menyulitkan pengamanan pesta rakyat tersebut.
Susno membenarkan bertemu dengan Edy Supriadi di Surabaya. Namun ia membantah memerintahkan pembatalan status tersangka Wahyudi. Ia mengaku menginap di hotel untuk keperluan pribadi, tapi kemudian Edy dan anak buahnya datang menceritakan kasus daftar pemilih fiktif. ”Selaku pembina fungsi, saya memberikan arahan,” kata Susno. Arahan Susno: penyidikan tak bisa dilakukan karena Panitia Pengawas Pemilihan belum melaporkan dan menyerahkan barang bukti ke polisi. ”Jadi bagaimana bisa menghentikan sesuatu yang belum dimulai?” katanya.
Penjelasan Susno ternyata tak selaras dengan Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Sri Sugeng Pujiatmiko. Dia mengaku telah mengirimkan laporan dan barang bukti ke polisi. ”Kecurangan yang dilaporkan tim Khofifah-Mudjiono memenuhi unsur pidana. Penyelidikan polisi sama dengan penelitian kami,” katanya.
Komisaris Besar Edy Supriadi belum bisa dimintai konfirmasi. Tempo yang menunggu di kantornya tak pernah bisa menemui Edy. Ia datang dan pergi lewat pintu samping. Telepon selulernya juga tak bisa dihubungi.
Tinggal Khofifah tertinggal dalam kekecewaan. Rumahnya di Pengadegan Timur, Jakarta Selatan, Selasa malam dua pekan lalu senyap. Tak ada penjaga, bahkan lampu penerang. Menteri Pemberdayaan Perempuan kabinet Abdurrahman Wahid itu mengeluh, ”Pembatalan status tersangka itu merugikan saya.”
Dwidjo U. Maksum, Akbar Tri Kurniawan, Iqbal Muhtarom (Jakarta), Rohman Taufiq, Kukuh S.W. (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo