Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-hari ini Badan Koordinasi Penanaman Modal seperti kehilangan induk semang. Muhammad Luthfi, pemimpinnya, sudah undur diri. Tapi Gita Wirjawan, sang calon pengganti, belum juga dilantik. ”Padahal kami sudah siap-siap untuk acara serah-terima jabatan sekaligus pelepasan Pak Luthfi,” cerita seorang pegawai BKPM.
Gita, 44 tahun, pemilik Ancora Capital, alumnus Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang juga komisaris Pertamina itu telah diumumkan Presiden sebagai calon Kepala BKPM, Rabu malam dua pekan lalu. Ia dikabarkan akan dilantik esok harinya.
Gita pun datang pada hari pelantikan, ditemani istri dan anaknya. Nyatanya dia tak ikut dilantik. ”Saya tidak sekarang, nanti bersamaan dengan Sekretaris Kabinet,” katanya ketika ditanya wartawan seusai acara pelantikan.
Esoknya dia diundang ikut dalam sidang kabinet perdana. Posisi duduknya terletak di samping Kepala Badan Intelijen Negara, pensiunan jenderal polisi Sutanto. Di atasnya terletak papan nama Kepala BKPM. Gita datang. Tapi, beberapa saat sebelum sidang dimulai, Wakil Sekretaris Kabinet Lambok V. Nahattandas ”menggiring” dia keluar.
Apa yang terjadi? Menurut sumber Tempo, ada kebingungan tentang ”posisi” Gita di sekretariat Istana. Sebelumnya, sebagai lembaga pemerintah non-departemen, BKPM berada di bawah koordinasi Menteri Perdagangan. Dia tidak selevel menteri. Itu sebabnya, ketika posisi ini dijabat Luthfi pada 2005, yang melantik Aburizal Bakrie, yang ketika itu Menteri Koordinator Perekonomian, bukan Presiden.
Karena Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa Kepala BKPM diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, ada anggapan kedudukan Kepala BKPM otomatis harus setingkat menteri.
Tapi penafsiran dalam Perpres Nomor 90 Tahun 2007 tentang BKPM ternyata berbeda. Kepala BKPM disebut bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak lagi kepada Menteri Perdagangan. Namun, menurut peraturan itu, pimpinan badan ini setingkat pejabat eselon 1A—satu level dengan direktur jenderal, sekretaris jenderal, inspektur jenderal di departemen—dan bisa dilantik oleh menteri yang ditunjuk presiden.
”Ini yang membuat bingung,” kata sumber itu. Sayang, informasi ini tak sepenuhnya bisa dikonfirmasi. Staf khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana menolak berkomentar. ”Presiden mengumumkan nama Kepala BKPM bersama kabinet, jelas menandakan bahwa lembaga itu dianggap penting,” kata Denny. ”Tapi, seperti yang sudah-sudah, Kepala BKPM kan memang dilantik sendiri.”
Sebelumnya, kepada wartawan, Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi sudah menegaskan, Gita akan dilantik bersamaan dengan para wakil menteri. Mungkin karena itu, meski belum resmi menjadi Kepala BKPM, Gita sudah mulai menjalin komunikasi dengan calon mitra kerjanya. Rabu siang pekan lalu, misalnya, dia mengunjungi Menteri Perindustrian M.S. Hidayat di kantornya. Dalam pertemuan sekitar satu setengah jam itu, Hidayat memperkenalkan semua pejabat eselon satu di departemennya kepada Gita.
”Kami juga bertukar pikiran tentang pengembangan industri dan investasi,” kata Hidayat seusai pertemuan itu. ”Untuk mencapai target pertumbuhan tujuh persen kan perlu investasi yang besar.” Tapi Gita sendiri tak banyak bicara. ”Tanya Pak Hidayat saja,” katanya.
Tiga hari sebelumnya, Gita terlihat ikut mendampingi Presiden Yudhoyono pada hari terakhir Konferensi Tingkat Tinggi Asean di Thailand. Dia juga duduk di barisan depan bersama Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata Jero Wacik, dan Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, menemani Presiden Yudhoyono saat memberikan konferensi pers di Hotel Grand Pacific, Hua Hin, malam harinya.
Lepas dari simpang-siur soal ”posisi” Kepala BKPM, Wakil Kepala BKPM M. Yusan optimistis, paling lambat sebelum akhir pekan ini Gita sudah mulai berkantor. ”Mudah-mudahan ya,” katanya.
Yusan mengaku bertemu Gita pada Jumat sore pekan lalu. Mereka bicara tentang berbagai program utama seperti realisasi target untuk mengail investasi baru hingga Rp 210 triliun per tahun. ”Untuk mendukung target pertumbuhan,” katanya. ”Pemerintah kan cuma sanggup 15 persen, selebihnya dari dunia usaha. Ini yang akan diusahakan Pak Gita.”
Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika, Nieke Indrietta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo