Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

<font size=1 color=#FF9900>NAHDLATUL ULAMA</font><br />Tabayun Kiai Sampai ke Taiwan

Menjelang muktamar, para kandidat ketua tanfiziah mulai bergerilya. Menggaet simpati kiai dari Pesantren Lirboyo hingga Langitan.

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font size=1 color=#FF9900>NAHDLATUL ULAMA</font><br />Tabayun Kiai Sampai ke Taiwan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOYOTA Innova merah melesat dari pelataran Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, Jumat pagi pekan lalu. Dari pondok asuhan Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus itu, mobil tadi menuju Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. ”Saya mau sowan Kiai Abdullah Faqih,” kata Ulil Abshar-Abdalla, menantu Gus Mus, yang bakal maju ke gelanggang muktamar. ”Banyak kesimpangsiuran tentang saya yang harus diklarifikasi ke para ulama.” Kiai Faqih adalah ulama terkemuka di Nahdlatul Ulama.

Geliat para kandidat mulai terasa denyutnya setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memutuskan menggelar muktamar ke-32 di Makassar pada 25-31 Januari 2010. Kota Anging Mamiri ini dinilai layak menjadi tuan rumah perhelatan yang selama ini digelar di Jawa itu. Selain fasilitasnya dinilai memadai, akses transportasi lebih mudah. Juga NU berkembang pesat di luar Jawa. ”Pengurus pusat sudah menyampaikan hal ini kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla,” kata Ketua NU Said Aqil Siradj.

Said adalah sosok yang juga siap ”bertarung” seperti Ulil. Niat itu ia sampaikan di Pesantren Raudlatut Thullab, Wonosari, Magelang, Jawa Tengah. ”Saat menghadiri khataman Al-Quran akhir Agustus lalu, Kang Said menyatakan akan maju,” kata Moechammad Nabiel Haroen, pemimpin pesantren itu. Menurut Nabiel, yang pernah nyantri di Pesantren Lirboyo, Kediri, sejumlah kiai di pesantren terkemuka itu siap mendukung Said.

Namun Kiai Idris Marzuki, sesepuh Lirboyo, belum mengutarakan dukungannya karena sedang sakit. ”Ulama berharap Kang Said mampu membawa NU menjauhi kancah politik,” kata Nabiel, yang sedang bersiap terbang ke Taiwan bersama Said. Keduanya akan terbang ke negara itu akhir September ini untuk meresmikan shelter tenaga kerja Indonesia yang dibangun kaum nahdliyin setempat. ”Saya tak bisa menolak kepedulian beliau membela umat Islam di Taiwan,” kata Nabiel.

Dukungan Lirboyo sangat penting. Hampir semua ulama yang memimpin pondok pesantren berpengaruh di seluruh Tanah Air merupakan alumni pondok yang terkenal dengan kajian fikih dan kaligrafinya itu. Komunikasi dalam organisasi Himpunan Alumni dan Santri Lirboyo sangat terjaga. ”Alumni Lirboyo tak akan mengambil jalan sendiri,” kata Nabiel. Artinya, mereka kompak mendukung kandidat yang disepakati bersama, apalagi didukung figur sentral semacam Kiai Idris Marzuki.

Gelagat menguatnya gerilya Said tak menyurutkan langkah Ulil. Lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967 itu merasa NU bukan planet asing. Pendidikan dasar hingga menengah dia selesaikan di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, asuhan Kiai Sahal Mahfudz, Rais Am NU 1994-1999. Lalu dia mondok di Pesantren Mansajul ’Ulum, Pati, dan Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Meraih gelar sarjana di Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, Jakarta, kemudian lulus pascasarjana di Universitas Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, kini dia sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Ulil bukan tanpa masalah. Ia pernah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama gara-gara aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal, kelompok diskusi yang getol memperjuangkan kebebasan tafsir Islam yang kontekstual. Karena itu, dia akan sowan ke ulama. ”Untuk menjelaskan kesimpangsiuran pandangan pemikiran saya,” kata Ulil. ”Tak semata-mata tabayun (melakukan klarifikasi), semuanya biar berjalan alamiah.” Ia sudah menemui Kiai Maimun Zubair dari Rembang, akan sowan ke Kiai Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri), Kiai Ahmad Subadar (Pasuruan), dan diundang Kiai Agoes Ali Masyhuri dari Sidoarjo. Gus Ali juga akan mengundang ulama terkemuka se-Jawa Timur.

Dukungan yang sudah di tangan diberikan Gus Mus, sang mertua. Gus Mus selalu menolak dicalonkan menjadi Ketua Pengurus Besar NU dalam tiga muktamar terakhir. ”Saya menghormati sikap mertua yang ingin berkonsentrasi mengurus pondok,” kata Ulil. Ia berharap NU bukan milik muslim tradisional di pedesaan, melainkan organisasi yang siap dipimpin kaum muda. ”Dan yang terpenting, NU harus jauh dari pergolakan politik,” katanya.

Soal tegaknya khitah NU yang nonpolitis juga menjadi keprihatinan Masdar Farid Mas’udi, salah satu Ketua Pengurus Besar NU. Intelektual muslim itu siap maju sebagai kandidat. ”Akan saya kembalikan peran NU sebagai lembaga sosial keagamaan,” kata Masdar kepada Tempo. Di mata Masdar, keresahan umat nahdliyin bermula dari masuknya kalangan elite NU ke kancah politik praktis. Perilaku NU kini mengarah seperti partai. ”Makanya harus kembali ke khitah,” kata Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat itu.

Masdar sudah bersilaturahmi ke para ulama. Soal dukungan, dia menyerahkan sepenuhnya kepada muktamirin. Sebagai pemimpin LSM peduli pesantren, dia dikenal akrab dengan dunia pondok pesantren. Keberadaan sekitar 21 ribu pondok pesantren di seluruh Indonesia dengan hampir 4 juta santri adalah fondasi kuat NU. ”Kekuatan itu harus kita sinergikan membenahi NU ke depan,” kata Masdar.

Dwidjo U. Maksum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus