Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2>Impor mobil</font><br />Kisah Ambulans Balik Kanan

TNI Angkatan Darat akhirnya mengakui ada kesalahan prosedur dalam proyek impor ambulans. Kini rekanan yang dituding.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH besar di Jalan Imam Bonjol 16 itu tampak hiruk-pikuk. Beberapa pekerja bangunan sibuk mengangkut kayu dan pasir, merenovasi sisi kiri rumah berlantai dua yang megah itu. Enam mobil diparkir berderet di halaman depan yang luas—satu di antaranya sedan perak metalik keluaran terbaru. Ketika Tempo bertandang ke sana akhir pekan lalu, sang empunya rumah sedang keluar kota. ”Maaf, Pak Fauzi sedang tidak di rumah,” kata seorang satpam dari balik pagar besi.

Pemilik rumah jembar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, itu adalah Fauzi Abubakar, pemilik PT Merial Esa, rekanan lama TNI Angkatan Darat. Namanya belakangan ramai disebut-sebut dalam pusaran kontroversi seputar pengadaan 35 unit ambulans militer untuk korps baju hijau.

Semua bermula pada awal November lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Direktorat Bea Cukai mengadakan inspeksi mendadak di Pelabuhan Tanjung Priok dan menemukan beberapa indikasi penyelundupan. Satu di antaranya adalah kontainer berisi 35 unit mobil pick-up merek Isuzu pesanan TNI Angkatan Darat. Yang membuat para petugas pabean mengernyitkan dahi adalah banyaknya kejanggalan dalam dokumen impor mobil itu. ”Kalau mengacu pada dokumennya, seharusnya yang dikirim adalah ambulans, bukan mobil pick-up,” kata sumber Tempo di Departemen Keuangan.

Bea Cukai bergerak. Semua mobil itu disegel dan dikirim ke gudang. Di balik pagar besi yang terkunci rapat, puluhan pick-up itu kini diselimuti debu. Sebuah surat permintaan klarifikasi pun dilayangkan kantor Bea Cukai Tanjung Priok ke Markas Besar TNI Angkatan Darat. ”Kami meminta klarifikasi tentang dokumen impor mobil ini,” kata Agung Kuswandono, Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok.

Namun kejanggalan tidak berhenti sampai di situ. Sehari setelah temuan Direktorat Bea Cukai diumumkan, ada usaha dari pihak tertentu untuk mengubah klausul dokumen impor pesanan TNI-AD itu, dari ambulans menjadi pick-up. ”Tekanannya luar biasa,” kata seorang sumber Tempo. Taruhannya memang besar: jika ambulans pesanan TNI Angkatan Darat terbukti masuk pelabuhan dengan dokumen palsu, pelakunya bisa masuk bui.

Karena itulah, rapat kerja Komisi Pertahanan, Senin pekan lalu, diwarnai hujan pertanyaan tentang kasus impor ambulans ini. Dicecar kanan-kiri, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso kukuh berpendapat bahwa tidak ada yang salah dalam proyek ambulans itu. ”Ini proyek resmi yang dibiayai anggaran negara,” katanya ketika itu.

Didampingi Asisten Logistik Kepala Staf TNI-AD Mayor Jenderal Kardiyono, Djoko lalu menjelaskan panjang-lebar soal isi kontrak antara militer dan rekanannya dalam proyek ini, PT Merial Esa.

Dalam kontrak yang ditandatangani pada September 2006 itu, menurut Djoko, memang ada klausul khusus yang menyatakan karoseri ambulans pesanan militer akan dilakukan di dalam negeri. ”Setelah keluar dari Bea Cukai, akan dilakukan proses karoseri di dalam negeri selama tiga bulan,” katanya.

Penjelasan itu tidak memuaskan anggota parlemen. Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar mengingatkan Djoko Santoso bahwa perubahan dokumen impor harus diajukan dalam klausul kontrak terpisah. Happy Bone Zulkarnaen dari Partai Beringin berpendapat senada. ”Dalam nomenklatur anggaran, nama barang tidak boleh berubah, kecuali ada klausul perubahan,” katanya.

Karena tidak puas, pada Selasa pekan lalu sejumlah anggota parlemen mempertimbangkan untuk menunda pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan untuk Djoko Santoso. Djoko memang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi satu-satunya calon Panglima TNI, menggantikan Marsekal Djoko Suyanto yang pensiun pada awal Desember ini. ”Kami rapat sampai tengah malam,” kata Wakil Ketua Komisi Pertahanan, Yusron Ihza Mahendra. Namun usul itu kandas. Uji kelayakan tetap digelar pada Rabu pekan lalu, sesuai dengan jadwal.

Keesokan harinya Djoko Santoso membuat kejutan. Dia mengaku sudah memerintahkan semua mobil itu dire-ekspor ke negara asalnya, Singapura. ”Kalau judul dokumennya ambulans, ya harus masuk ke sini berupa ambulans,” katanya. Keputusan ini tentu sesuai dengan tuntutan Komisi Pertahanan DPR.

Mengapa Djoko berubah? ”Saya waktu itu tidak informed, karena baru datang dari luar negeri dan sempat sakit,” katanya. Dia membantah perubahan itu disebabkan tekanan dari parlemen. ”Penjelasan sebelumnya berdasarkan masukan dari staf. Namun, setelah rapat kemarin, Panglima TNI (Marsekal Djoko Suyanto) memberikan petunjuk agar semua mobil itu dire-ekspor,” katanya. Dia juga pasrah jika skandal ambulans ini diperiksa aparat hukum. ”Mau diperiksa polisi, silakan. Diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, juga silakan.” Secara internal, menurut Djoko, kasus ini juga akan ditelusuri lebih jauh. ”Kita akan memprosesnya,” katanya.

Ditemui terpisah, Asisten Logistik KSAD, Mayjen Kardiyono menolak berkomentar tentang sikap atasannya yang berubah itu. ”Semua sudah dijelaskan oleh KSAD,” katanya pendek, pekan lalu. Sejumlah pejabat TNI-AD yang ditemui Tempo menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada kesalahan substansial dalam kontrak kerja sama TNI dengan PT Merial Esa. ”Yang salah adalah yang menerjemahkan kontrak itu,” kata satu pejabat yang tidak mau disebut namanya.

Siapa sebenarnya di balik kisruh ini? Djoko pagi-pagi sudah cuci tangan. ”Itu tanggung jawab rekanan,” katanya. Pernyataan keras Djoko itu membuat semua perhatian kini tertuju pada PT Merial Esa dan Fauzi Abubakar, sang pemilik.

Sempat santer beredar rumor bahwa Fauzi bekerja sama dengan Eko Judianto Darmawan, kakak ipar Djoko Santoso, dalam proyek ambulans Isuzu ini. Eko sendiri sempat menjadi berita ketika perusahaannya, PT Juang Lestari, menjadi agen untuk pengadaan helikopter Sokol dari Polandia, awal tahun ini. Namun kepada Tempo Eko menjelaskan dia sudah mundur dari semua kegiatan bisnis di lingkungan militer sejak Djoko Santoso naik menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat. ”Pak Djoko yang meminta saya mundur,” katanya ketika itu.

Meski begitu, soal ini tetap muncul dalam daftar pertanyaan sejumlah anggota DPR dalam uji kelayakan dan kepatutan Panglima TNI pekan lalu. ”Kami dengar ada nama seperti Eko, Fauzi, yang kabarnya masih kerabat Anda, aktif berbisnis di lingkungan Angkatan Darat,” kata Pupung Suharis dari Fraksi PDI Perjuangan.

Penelusuran Tempo menemukan bahwa PT Merial Esa dibentuk pada Juli 1986 untuk bergerak di bidang ekspor-impor dan konstruksi. Pendirinya antara lain Fadjri Setiawan dan Abubakar Ibrahim.

Nama Fauzi Abubakar baru masuk dua tahun lalu. Namun dia bukanlah pemegang saham mayoritas di Merial Esa. Selain Fauzi, ada nama Syukri Gunawan, Fadjri Setiawan, dan Fahmi Darmawansyah. Yang menarik, mereka semua bertempat tinggal di Jalan Imam Bonjol 16. Menurut staf di rumah itu, Fauzi, Fahmi, Fadjri, dan Syukri memang empat bersaudara. Dalam semua dokumen PT Merial Esa, tidak ada nama Eko Judianto Darmawan.

”Saya sudah menjelaskan sejak setahun lalu, saya minta semua kerabat saya tidak berbisnis di TNI,” kata Djoko Santoso di hadapan Komisi Pertahanan DPR. Dia mengaku berusaha menerapkan administrasi yang tertib di lingkungan TNI Angkatan Darat. ”Saya tidak berurusan dengan pengadaan. Itu ada panitianya sendiri,” katanya.

Soal Fauzi? ”Dia itu rekanan lama,” kata Djoko. Dalam tiga tahun terakhir, PT Merial Esa memang mendapat sedikitnya tiga proyek pengadaan barang di lingkungan TNI. Sebagian besar adalah pengadaan kendaraan taktis militer. Tatkala Wakil Asisten Logistik KSAD Brigadir Jenderal Kusmayadi meninggal tahun lalu, PT Merial Esa ikut mengirim karangan bunga besar.

Empat kali Tempo mendatanginya —tiga kali ke rumah di Imam Bonjol 16, sekali ke rumah lainnya di Tebet, Jakarta Selatan— Fauzi tak di tempat. Satpam di rumahnya hanya mengatakan bahwa tuan rumahnya pergi dan tak menjelaskan kapan kembali.

Adapun calon Panglima TNI Djoko Santoso hanya berkomentar pendek, ”Kalau harganya murah dan produknya bagus, apakah rekanan lama tidak boleh ikut tender?”

Wahyu Dhyatmika dan Budi Setyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus