Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UJIAN 12 jam itu berakhir dengan tepuk tangan. Setelah menjawab pertanyaan 32 anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso akhirnya diterima sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia. Ia diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggantikan Marsekal Djoko Suyanto, yang pensiun pada 5 Desember lalu.
Meski lolos uji, Jenderal Djoko Santoso masih menyisakan satu pekerjaan rumah: pembelian sistem senjata pertahanan udara oleh Angkatan Darat yang heboh belakangan ini. ”Kami meminta klarifikasi kepada calon Panglima TNI, apakah sistem senjata yang dibeli itu betul-betul baru?” kata Djoko Susilo, anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional.
Pengecekan ini penting karena salah-salah berakibat gawat. Parlemen bisa menolak pembayaran kredit ekspor meriam ini jika ternyata teknologi persenjataan yang berasal dari Cina tadi kedaluwarsa. ”Bagi kami, pesannya jelas, agar TNI selalu hati-hati dalam memanfaatkan kredit ekspor,” kata Djoko Susilo. Dewan juga memberikan enam catatan kepada panglima yang baru ini. Salah satunya, proses pengadaan barang harus dilakukan dengan prinsip yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Senjata dari Cina kedaluwarsa? Markas Besar Angkatan Darat akhir tahun lalu memutuskan pembelian pengganti Rapier, peluru kendali darat ke udara buatan Inggris, yang sudah uzur. Proyek US$ 35 juta atau Rp 330 miliar lebih ini dibiayai dengan fasilitas kredit ekspor tahun anggaran 2005. Berniat meninggalkan negara-negara Barat, Angkatan Darat memutuskan membeli senjata dari Cina.
Dalam suratnya kepada Panglima TNI, Asisten Logistik KSAD Mayor Jenderal Kardiyono menyebutkan hanya ada dua penawaran sistem persenjataan dari negara itu. Pertama, penawaran sistem persenjataan TD 2000 dari China National Precision Machinery I/E Corp. Berikutnya, sistem komposit meriam 23 mm dan peluru kendali TY-90 yang ditawarkan China North Industries Corporation (Norinco).
Kardiyono meminta izin Panglima TNI untuk menunjuk China National dengan agennya di Indonesia, PT Indadi Setia, sebagai pemenang. Menurut dia, TY-90 buatan Norinco tidak dipilih karena merupakan peluru kendali udara ke udara. ”Adapun China National dengan agennya PT Indadi Setia telah memenuhi persyaratan administrasi, teknis, dan harga, dan telah diperoleh kesepakatan dalam negosiasi harga,” tulis Kardiyono dalam surat tertanggal 25 Juli 2007.
Panitia pengadaan telah bertemu dengan perwakilan China National dan PT Indadi Setia untuk negosiasi harga, dua pekan sebelumnya. Perusahaan itu antara lain memberikan jaminan bahwa pemerintah Cina tidak akan mengembargo penggunaan senjata di belakang hari. Berita acara negosiasi harga ini ditandatangani 22 anggota panitia pengadaan, termasuk Kolonel Fuad Basya sebagai ketua.
Penunjukan langsung yang memenangkan China National ini mengundang protes Norinco. Apalagi, menurut perusahaan itu, meriam kaliber 57 mm yang dipakai sistem senjata buatan China National adalah produk mereka yang sudah kedaluwarsa. ”Meriam 57 mm adalah produk kami sejak akhir 1950-an dan kini sudah tidak kami produksi lagi,” tulis Luo Xiangdong, Deputi General Manager Asia Pasifik Norinco.
Dalam surat yang ditujukan ke Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Luo Xiangdong menulis meriam 57 mm memiliki banyak kelemahan. Di antaranya, kecepatan tembaknya rendah dan waktu yang dibutuhkan agar peluru siap ditembakkan juga cukup lama. Sistem peralatannya pun masih manual.
Saat dihubungi dari Jakarta, anggota staf departemen bisnis Norinco yang menangani urusan Indonesia dan Korea semula bersedia menjawab dan memberikan konfirmasi soal validitas surat tersebut. Tempo bahkan mengirim surat itu dengan faksimile ke kantor Norinco, Kamis pekan lalu. ”Baik, kami akan memberikan tanggapan resmi. Hubungi lagi besok,” kata anggota staf yang menolak disebut namanya itu.
Esok harinya, anggota staf yang menangani permintaan konfirmasi Tempo itu sama sekali tidak bisa dihubungi. ”Kolega saya yang menangani permintaan Anda saat ini sedang bertugas ke luar kantor,” kata anggota staf yang mengangkat telepon. Dia menolak menjawab pertanyaan dan hanya membenarkan bahwa Luo Xiangdong bekerja di sana. ”Namun dia sedang ke luar negeri,” katanya. PT Inti Sarana Bima Sakti, mitra Norinco di Indonesia, juga tidak bersedia dimintai keterangan.
Anggota staf departemen bisnis China National justru lebih terbuka. Ia mengatakan mengetahui informasi bahwa Norinco mengirim surat ke DPR dari Atase Pertahanan KBRI Kolonel Yayat Sudrajat. ”Saya sudah mendengar itu dari Atase Pertahanan Indonesia di sini (Beijing),” kata anggota staf yang juga menolak menyebut namanya ini.
Menurut sang anggota staf, Kolonel Yayat Sudrajat menghubungi China National untuk melakukan inspeksi langsung ke pabrik perusahaan itu di Beijing. ”Pekan lalu, permintaan itu kami penuhi. Kolonel Yayat sudah melihat langsung pabrik dan proses produksi kami,” katanya. Dia menegaskan bahwa Cannon-gun 57 mm adalah buatan perusahaannya. ”Tidak benar kalau itu buatan tahun 1950,” katanya. Berulang-ulang anggota staf bagian bisnis ini menegaskan, ”Kami profesional.”
Dari penelusuran Tempo, China National lebih dikenal sebagai pemasok peralatan militer di berbagai negara. Kliennya antara lain negara-negara ”musuh” Amerika Serikat, seperti Iran, Suriah, dan Libya. Perusahaan ini juga dituduh mengirimkan peluru kendali M-11 ke Pakistan dan bekerja sama dengan Libya membantu pengembangan peluru kendali untuk Al-Fatah di Palestina.
Karena aktivitasnya itu, Amerika Serikat beberapa kali memberikan sanksi kepada China National. Sanksi terakhir diberikan pada 17 April 2007. Perusahaan itu dituduh melanggar Undang-Undang Nonproliferasi Iran dan Suriah, yang melarang perusahaan asing menyediakan peralatan militer untuk kedua negara.
Sejauh ini, belum diketahui adanya kaitan antara PT Indadi Setia, mitra China National di Jakarta, dan para petinggi Angkatan Darat. Berdasarkan pemberitahuan perubahan direksi yang dikirim ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, perusahaan itu dikelola oleh keluarga. Di akta itu tertulis para pemegang saham, yaitu Adi Haryono, Indra Boedijono, Julia Poernomo, dan Robin Setyono, beralamat sama.
Jenderal Djoko Santoso berjanji mengecek tudingan bahwa teknologi China National kedaluwarsa. Menurut jenderal bintang empat ini, Armada Pertahanan Udara yang akan memakai persenjataan itu sebenarnya sudah mengecek. Ia mengatakan, ”Seperti mobil, kan, ada Mercy lama keluaran 1950-an, ada juga yang terbaru.”
Djoko Santoso menambahkan, Angkatan Darat memilih Cannon-gun 57 milimeter karena masih memiliki banyak peluru sisa dengan kaliber yang sama. Dengan begitu, ia menegaskan, peluru-peluru sisa itu bisa dipakai untuk latihan. ”Saya kira pengaduan Norinco ini bagian dari persaingan bisnis saja,” tuturnya.
Kepada Tempo, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto menduga hal yang sama. Ia pun menyesalkan persaingan bisnis dibawa ke parlemen. ”Seharusnya, jika ada masalah, cukup dilaporkan kepada Markas Besar TNI atau Departemen Pertahanan. Ngapain dibawa-bawa ke DPR?” ujarnya.
Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo