Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

2 Pemilu yang Dianggap Paling Demokratis di Indonesia

Pemilu di Indonesia telah dilakukan 12 kali. kapan Pemilu di Indonesia yang dianggap paling demokratis?

18 Desember 2023 | 15.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Republik Indonesia ketiga, Prof. Ing. B.J. Habibie menerima penghargaan dari Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik (kanan) didampingi Komisioner KPU, HadarNafis Gumay (kiri) di kediamannya, di Jakarta, 29 Desember 2014. Habibie menerima penghargaan Lifetime Achievement atas jasanya memastikan adanya percepatan Pemilu 1999. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Umum (Pemilu) pada Februari 2024 akan menjadi pemilu ke-13 di Indonesia. Sepanjang sejarah negara ini, telah diselenggarakan 12 kali pemilu. Pemilu 2019 tercatat sebagai pemilu paling pilu. Saat itu lebih dari 500 petugas KPPS meninggal dan ribuan petugas sakit. Beban kerja yang berat disebut-sebut menjadi penyebabnya.

Pemilu 2019 juga berujung kerusuhan. Pada 20 hingga 21 Mei 2019, setelah hasil pemilu mulai nampak, terjadi unjuk rasa yang memprotes hasil pemilihan presiden. Saat itu, massa bentrok dengan aparat. Lebih dari 400 orang ditangkap di Jakarta.

Namun pernah juga pemilu berjalan dengan tertib dan dianggap ideal. Bahkan ada dua pemilu yang dianggap paling demokratis di Indonesia. Dilansir dari berbagai sumber, inilah dua Pemilu paling demokratis di Indonesia:

1. Pemilu pertama tahun 1955

Pada 1955, diadakan Pemilu nasional pertama di Indonesia. Sesuai dengan UU No.7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilaksanakan dua kali. Pemilu pertama diadakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan Pemilu kedua diadakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.

Pemilu 1955 diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus kelompok dan calon perseorangan. Muncul pandangan bahwa Pemilu 1955 adalah pemilu yang paling demokratis dan transparan dalam sejarah Indonesia.

Sistem yang diterapkan dalam Pemilu 1955 yakni sistem perwakilan proporsional tertutup atau perwakilan berimbang. Pada sistem ini, kursi yang tersedia didistribusikan kepada partai politik (organisasi peserta pemilu) sesuai dengan perolehan suara yang mereka dapatkan. Dalam sistem ini wilayah negara adalah daerah pemilihan. Akan tetapi, karena terlalu luas maka dibagikan berdasarkan daerah pemilihan dengan membagi sejumlah kursi dengan perbandingan jumlah penduduk.

Dilansir dari laman Teras.id, pemilu saat itu dinilai sebagai pemilu paling demokratis, karena berlangsung aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif. Tahun 1955 Indonesia sedang mengalami kekacauan, salah satunya di Madiun. Hal tersebut karena saat itu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Polisi dan tentara saat itu turut serta dalam Pemilu. Mereka yang bertugas di daerah rawan, secara bergilir menuju ke tempat pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante pada saat itu berjalan aman. Kursi yang direbutkan sebanyak 794 kursi, terdiri dari 260 untuk DPR dan 520 untuk konstituante atau dua kali lipat anggota DPR. Jumlah kursi masih ditambah 14 lagi untuk wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.  

Saat itu, total pemilih sebanyak 37.785.299 orang. Meski ini adalah pemilihan umum pertama, dengan ratusan partai peserta, dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan tertib.  Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22.3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dan 39 kursi.

2. Pemilu tahun 1999

Pemilu selanjutnya yang dianggap paling demokratis yakni tahun 1999. Pemilihan Umum 1999 dinilai sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu terbaik sejak era reformasi 1998. Hal tersebut menjadi kulminasi politik pasca-Orde Baru dengan keikutsertaan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terepresi. Saat itu, sejumlah partai baru kian eksis hingga mengalahkan parpol lama yang sudah lama merintis kekuatan massa di sejumlah wilayah di Indonesia. 

Perolehan suara saat itu pun mirip hasil Pemilu 1955, yakni parpol pemenang hanya unggul tipis. Ajang Pemilu 1999 tersebut hanya disiapkan selama 13 bulan oleh pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Pemilu yang diikuti 48 partai politik ini pun berlangsung tepat waktu.

Pada Pemilu 1999 dimenangkan partai politik baru yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Sebagai imbas dari Konflik 27 Juli 1999, PDIP berhasil menarik simpati masyarakat dengan mendominasi perolehan suara di 11 provinsi pada 7 Juni 1999. Perolehan suara terbesar tersebut PDIP diperoleh di Bali sebesar 79 persen dan angka yang terkecil di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 6,6 persen. Walaupun hanya 11 provinsi, PDIP berhasil menguasai 33,7 persen suara secara nasional.

MUTIARA ROUDHATUL JANNAH | Teras.id | RIZKI DEWI AYU

Pilihan Editor: Tak Puas dengan Capres, Warga Jakarta Berharap Debat Cawapres Lebih Baik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus