Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Cerpen atau cerita pendek adalah karya sastra yang berbentuk prosa atau karangan fiksi. Cerpen biasanya mengisahkan alur hidup manusia dalam bentuk tulisan yang ringkas dan jelas dan memiliki isi pengisahan yang hanya berfokus pada sebatas satu permasalahan atau konflik. Berikut adalah contoh cerpen tentang kehidupan sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerpen adalah sastra kisahan pendek atau kurang dari 10 ribu kata yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singkatnya, cerpen adalah karya sastra yang memiliki jalan cerita pendek hanya berpusat pada satu konflik saja. Tokoh yang ditampilkan juga terbatas antara 3 sampai 5 orang.
Disamping itu, ada berbagai macam karakter tokoh baik antagonis maupun protagonis, dari karakter tersebut maka dapat dipelajari hal-hal yang benar dan salah dari nilai-nilai kehidupan dalam cerpen. Nah, berikut adalah contoh cerpen tentang kehidupan sehari-hari.
Cerpen tentang Kehidupan Sehari-hari
1. Contoh Cerpen Keajaiban di Balik Pintu Rumah
Pagi itu, mentari perlahan muncul di ufuk timur, memancarkan sinarnya yang lembut ke seluruh penjuru desa. Dina membuka jendela kamarnya, membiarkan angin sejuk menyapa wajahnya yang masih lelah.
Hari ini adalah hari liburnya setelah seminggu penuh bekerja di kantor. Ia berniat menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah, namun hatinya masih diliputi kegelisahan.
Dina adalah seorang wanita berusia 28 tahun yang bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil di kota.
Setiap hari, ia harus berangkat pagi-pagi buta dan baru pulang menjelang malam. Rutinitas yang melelahkan itu sering membuatnya merasa jenuh.
Kadang-kadang, ia merasa kehidupannya monoton dan membosankan, hanya diisi dengan pekerjaan yang tak pernah usai. Namun, ada sesuatu yang selalu membuatnya tetap bersemangat pulang ke rumah—keluarganya.
Setelah menyeduh secangkir kopi, Dina duduk di meja makan bersama ibunya. Ayah Dina sedang berada di kebun belakang, sementara adik-adiknya masih tidur.
Dina tersenyum melihat ibunya yang sibuk menyiapkan sarapan sederhana. Momen-momen seperti ini adalah yang paling ia rindukan setiap kali berada di kantor.
“Ibu, hari ini aku ingin bantu-bantu di rumah. Sudah lama rasanya aku tidak ikut masak atau bersih-bersih,” ujar Dina sambil menyeruput kopinya.
Ibunya tersenyum lembut, “Tentu saja, Dina. Ibu senang kamu ada di rumah. Kita bisa masak bersama nanti.”
Setelah sarapan, Dina mulai membersihkan rumah. Ia menyapu dan mengepel lantai, membersihkan debu yang menumpuk, dan merapikan kamar-kamar.
Sambil bekerja, pikirannya melayang ke berbagai hal yang sering ia abaikan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Betapa ia merindukan momen-momen sederhana seperti mendengarkan cerita ibunya, berbicara santai dengan ayahnya di kebun, atau bercanda dengan adik-adiknya di ruang keluarga.
Siang itu, setelah selesai bersih-bersih, Dina dan ibunya mulai memasak makan siang. Mereka berbagi tugas, Dina memotong sayuran sementara ibunya menggoreng ikan.
Sambil bekerja, mereka berbicara tentang banyak hal—mulai dari pekerjaan Dina di kantor, sampai kabar teman-temannya di kampung yang sudah menikah. Dina merasakan kehangatan yang lama tak ia rasakan, dan ia menyadari betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Setelah makan siang, Dina duduk di teras belakang rumah sambil menikmati pemandangan kebun kecil ayahnya. Suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi membuatnya merasa damai.
Tak lama kemudian, ayahnya datang dan duduk di sampingnya. Mereka berbicara tentang tanaman di kebun dan rencana ayahnya untuk memperluas kebun sayur mereka. Percakapan yang sederhana, namun penuh dengan kedekatan.
Di sore hari, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Dina, adik-adiknya, dan orang tuanya bermain permainan papan, seperti yang biasa mereka lakukan saat Dina masih kecil.
Tawa dan canda memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kebahagiaan. Dina merasa seperti kembali ke masa kecilnya, di mana segala sesuatunya begitu sederhana dan penuh kegembiraan.
Menjelang malam, Dina duduk di kamarnya, merenungi hari yang telah ia lalui. Ia menyadari bahwa meskipun kehidupan sehari-hari sering terasa monoton, ada kebahagiaan sederhana yang bisa ditemukan dalam hal-hal kecil—kehangatan keluarga, tawa bersama, dan cinta yang selalu ada di rumah. Dina tersenyum, merasa bersyukur atas keluarganya yang selalu mendukung dan mencintainya.
Malam itu, sebelum tidur, Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih menghargai momen-momen kecil dalam hidupnya. Ia sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar atau pencapaian luar biasa, tetapi dari momen sederhana yang sering kita abaikan.
Seperti keajaiban yang tersembunyi di balik pintu rumah, kebahagiaan sejati sering kali ditemukan di tempat-tempat yang paling dekat dengan kita.
Dina menutup matanya, dengan hati yang penuh rasa syukur dan damai. Hari esok mungkin akan kembali pada rutinitas yang sama, namun kini Dina memiliki cara pandang yang berbeda.
Ia tahu bahwa kebahagiaan bisa selalu ia temukan, selama ia bisa menghargai hal-hal kecil yang ada di sekitarnya.
2. Contoh Cerpen Kesibukan Raka di Hari Sekolah
Raka adalah seorang siswa kelas dua SMA yang hidupnya selalu dipenuhi dengan kesibukan sekolah. Pagi-pagi buta, ia sudah harus bangun, bahkan ketika matahari masih malu-malu untuk muncul di langit.
Alarm di ponselnya berbunyi tepat pukul 05.00, dan Raka, seperti kebanyakan remaja, selalu menekan tombol tunda. Lima menit tambahan tidur terasa begitu berharga.
Setelah beberapa kali menunda alarm, akhirnya Raka terpaksa bangun. Ia buru-buru menuju kamar mandi dengan mata setengah terbuka.
“Aduh, telat lagi,” gumamnya sambil cepat-cepat menyikat gigi. Pikirannya langsung tertuju pada tugas matematika yang belum sempat ia selesaikan semalam. Bukan karena malas, tapi karena ia harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler hingga sore dan malamnya masih disibukkan dengan les tambahan.
Setelah berpakaian seragam putih abu-abu, Raka langsung turun ke ruang makan. Di meja, ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana, namun penuh perhatian. “Kamu harus sarapan, Nak. Jangan lupa bawa bekalnya juga,” ujar ibunya sambil menyodorkan kotak bekal.
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Raka singkat, sambil menyuap nasi goreng yang masih hangat. Pikirannya tak lepas dari tugas yang harus segera diselesaikan di kelas nanti. Selesai sarapan, ia bergegas menuju sekolah dengan sepeda motornya.
Setibanya di sekolah, Raka langsung menuju kelas dan mendapati teman-temannya sudah berkumpul. Beberapa dari mereka tampak sibuk berdiskusi tentang tugas yang sama.
“Eh, Rak! Gimana tugas matematikanya? Udah kelar?” tanya Andi, teman sebangkunya, dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Belum, nih. Aku baru nyelesaiin setengah,” jawab Raka sambil buru-buru mengeluarkan buku dari tasnya.
Bel berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Pak Budi, guru matematika yang terkenal tegas, memasuki kelas. “Selamat pagi, anak-anak,” sapa Pak Budi.
“Selamat pagi, Pak,” jawab seluruh kelas serentak.
“Baik, hari ini kita akan membahas soal-soal yang kemarin saya berikan. Siapa yang belum selesai?” tanya Pak Budi sambil menatap murid-muridnya satu per satu. Raka hanya bisa menunduk. Bukan hanya dia, ternyata beberapa teman lainnya juga belum menyelesaikan tugas.
Pak Budi berjalan mendekati meja Raka dan berkata dengan nada serius, “Raka, kamu termasuk murid yang biasanya rajin. Ada apa? Kenapa belum selesai?”
“Maaf, Pak. Saya ada kegiatan ekstrakurikuler sampai sore kemarin, jadi tidak sempat menyelesaikan semuanya,” jawab Raka dengan nada menyesal.
Pak Budi mengangguk. “Baik, saya mengerti. Tapi ingat, manajemen waktu itu penting. Saya akan beri waktu sampai besok pagi untuk menyelesaikannya. Jangan sampai terlambat lagi, ya.”
Raka menghela napas lega. Ia bersyukur mendapat kesempatan tambahan waktu. Seharian penuh Raka mencoba fokus di kelas, walaupun terkadang pikirannya melayang pada kegiatan ekstrakurikuler yang juga tak kalah penting.
Sepulang sekolah, ia harus segera bersiap latihan basket untuk persiapan turnamen antar sekolah minggu depan.
Sore harinya, saat latihan basket, Raka menunjukkan semangatnya. Pelatih memberikan instruksi dengan tegas, dan tim Raka berusaha keras untuk mempraktikkannya.
Meski lelah, Raka merasa latihan ini adalah pelarian dari semua tugas sekolah. Di lapangan, ia bisa sejenak melupakan rumitnya soal-soal matematika dan tekanan ujian yang akan datang.
Setelah latihan usai, hari sudah menjelang malam. Raka pulang dengan tubuh yang lelah, namun hati tetap bersemangat. Setibanya di rumah, ia menyapa ibunya yang menunggunya di ruang tamu. “Capek, ya, Nak?” tanya ibunya sambil tersenyum.
“Iya, Bu. Tapi senang kok,” jawab Raka sambil tersenyum kembali.
Ia kemudian makan malam bersama keluarganya sebelum melanjutkan tugas-tugas yang belum selesai. Di kamarnya, Raka mencoba membagi waktu dengan bijak. Ia tahu, meski banyak hal yang harus ia lakukan, mengatur waktu dengan baik adalah kunci agar semua bisa berjalan lancar.
Malam itu, Raka menutup buku matematikanya dengan puas. Ia berhasil menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Sebelum tidur, ia merenungi hari-harinya. Meski hidup sebagai pelajar tidak mudah, dengan segala tugas dan kegiatan yang menumpuk, Raka merasa bahwa setiap tantangan yang dihadapi membantunya tumbuh dan belajar tentang tanggung jawab.
Dalam hati, ia berjanji akan terus berusaha mengatur waktu dengan lebih baik, agar bisa menjalani semuanya—sekolah, ekstrakurikuler, dan kehidupan pribadi—dengan seimbang.
3. Contoh Cerpen Hari Pertama di Sekolah Baru
Hari itu adalah hari pertama Aisyah di sekolah barunya. Ia merasa campur aduk antara senang dan cemas. Sejak pindah dari kota, Aisyah harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru. Ia mengenakan seragamnya dengan rapi dan membawa tas yang penuh dengan perlengkapan sekolah.
Sesampainya di sekolah, Aisyah langsung merasakan suasana yang berbeda. Di depan gerbang, anak-anak berlarian dan tertawa. Ia merasa sedikit terasing. "Semoga ada yang mau berteman," pikirnya dalam hati. Dengan langkah pelan, Aisyah memasuki kelas yang sudah ramai.
Ketika masuk, semua mata langsung tertuju padanya. "Hai, siapa namamu?" tanya seorang gadis berbaju merah yang duduk di depan. "Aku Aisyah," jawabnya pelan. "Selamat datang! Aku Sari. Mari duduk di sampingku," ajak Sari dengan ramah. Aisyah merasa lega dan langsung menuju ke bangku sebelah Sari.
Selama pelajaran, Aisyah mulai merasa lebih nyaman. Sari memperkenalkannya kepada teman-teman lainnya. Mereka berbagi cerita dan pengalaman, dan Aisyah mulai merasakan kehangatan pertemanan. Saat jam istirahat, mereka bermain di halaman sekolah. Aisyah bermain bola bersama Sari dan teman-teman baru lainnya. Tawa dan keceriaan mengisi udara.
Namun, ketika bel berbunyi, Aisyah menyadari bahwa ada satu anak, Rudi, yang tampak kesepian di sudut. Ia tidak bermain dengan siapa pun dan hanya duduk sendiri. Aisyah merasa tergerak untuk mendekatinya. "Hai, Rudi! Kenapa kamu tidak ikut bermain?" tanyanya. Rudi tersenyum kecil, "Aku tidak tahu cara bermain bola."
Aisyah tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa, ayo aku ajarkan!" Mereka berdua bergabung dengan permainan, dan Rudi tampak semakin ceria. Aisyah merasa senang bisa membuat teman baru dan membantu Rudi merasa diterima.
Hari pertama di sekolah baru itu berakhir dengan indah. Aisyah pulang dengan senyuman lebar. Ia tahu bahwa meskipun awalnya sulit, dengan sedikit keberanian dan kebaikan, ia bisa menemukan teman-teman dan membuat hari-harinya lebih berarti. "Aku tidak sabar untuk kembali besok!" pikirnya sambil melambaikan tangan kepada Sari dan Rudi yang juga pergi ke arah yang sama.