Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Buya Hamka telah berpulang 40 tahun silam, tepatnya 24 Juli 1981, tapi pemikiran dan karya-karya tak lekang oleh waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama asli Buya Hamka adalah Prof DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah. Putra sulung pasangan Abdul Karim Amrullah dan Safiyah ini lahir di Tanah Sirah wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari fkip.umri.ac.id pada periode akhir tahun 1924, saat Buya Hamka berusia 16 tahun. Ia sudah merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar mengenai sejarah serta pergerakan Islam. Buya Hamka bersama H.O.S Tjokroaminoto, dan H. Fakhruddin pernah menjadi petinggi Partai Syarikat Islam sebelum akhirnya partai tersebut bubar karena mengalami konflik yang berkepanjangan. Pada akhirnya Buya Hamka beralih ke gerakan sosial Muhammadiyah untuk meneruskan langkah perjuangannya.
Buya Hamka pernah terjun di dunia politik lewat Partai Masyumi, sampai pada akhirnya partai tersebut dibubarkan di era Presiden Soekarno. Bahkan pernah dipenjara di masa itu. Kemudian, pada 1975 Buya Hamka ditunjuk oleh para ulama untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia atau MUI pertama kali.
Mengutip journal.unja.ac.id di akhir-akhir hidupnya Buya Hamka telah mengajak dan mempengaruhi generasi muda Islam untuk mengikuti jejaknya. Ia menyelesaikan pekerjaan besarnya yaitu menulis Tafsir Al-Azhar yang berjumlah 30 jilid.
Sosok ulama ini meninggal di usia 73 tahun itu, dengan meninggalkan tak kurang dari 94 karya buku yang beragam tema mulai dari sastra, agama, sejarah dan filsafat. Di antaranya Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck . Tidak heran bila masyarakat Indonesia mengenal Buya Hamka sebagai seorang sastrawan dan ulama terkemuka di Negeri Nusantara.
PRIMANDA ANDI AKBAR