Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

60 Tahun Wiji Thukul, Aktivis dan Penyair yang Tak Tentu Rimbanya

Wiji Thukul menemukan api bagi simbol perlawanan melalui kalimat-kalimat yang menjadi roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa melawan rezim otoritarianisme.

27 Agustus 2023 | 09.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sudah menjadi rahasia umum jika ada banyak aktivis di masa Orde Baru yang keberadaannya tidak diketahui, dan diduga memang sengaja dilenyapkan, salah satunya adalah Wiji Thukul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiji Thukul adalah seorang aktivis sekaligus penyair yang cukup keras dalam menentang rezim Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari laman resmi Ensiklopedia Kemdikbud, Wiji Thukul memiliki nama lahir Widji Widodo yang lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Tahun ini berarti genap 60 tahun.

Wiji adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang berasal dari keluarga tukang becak. Ia pernah bersekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, namun harus di-dropout pada tahun 1982. Setelahnya, Widji memutuskan untuk berjualan Koran hingga bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur.

Wiji Thukul mulai menulis puisi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan mulai tertarik pada dunia teater ketika di sekolah menengah pertama (SMP). Melalui teman sekolahnya, ia ikut sebuah kelompok teater, yaitu Teater Jagalan Tengah (Jagat).

Tahun 1988 Wiji Thukul menjadi wartawan Masa Kini selama tiga bulan, dan disana puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain menulis sajak, Wiji Thukul juga menulis cerpen, esai, dan resensi puisi. Melalui karya-karyanya ini, pada 1991 ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda.

Wiji Thukul menujukkan perlawanannya melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Dia telah berhasil menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan melalui kalimat-kalimat yang menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme.

Dua Puisi Wiji Thukul

1.       Peringatan

Puisi ini merupakan tonggak lahirnya perlawanan pada masa rezim otoritarianisme. Puisi tersebut berbunyi sebagai berikut;

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa bicara

Kita harus hati-hati untuk mereka asa

Kalau rakyat mendengar dan berbisik 

ketika membicarakan masalah itu sendiri

harus waspada dan mendengar

Bila rakyat berani menunjukkan

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

kebenaran pasti terancam

Jika usul ditolak tanpa pertimbangan

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa

alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

2.        Istirahatlah Kata-kata

Puisi Istirahatlah Kata-kata ini dimaknai sebagai simbol kritik terhadap suatu rezim yang terwujud dalam gerakan demonstrasi. Adapun puisi ini berbunyi:

Istirahatlah kata-kata

jangan menyembur-nyembur

orang-orang bisu

kembalilah ke dalam rahim

segala tangis dan kebusukan

dalam sunyi yang meringis

tempat orang-orang mengingkari

menahan ucapannya sendiri

tidurlah, kata-kata

kita bangkit nanti

menghimpun tuntutan-tuntutan

yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapka

bersama tindakan

bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan

Solo Sorogenen, 12 Agustus 1988

FANI RAMADHANI | FATHUR RACHMAN
Pilihan editor: Adik Wiji Thukul Sebut Sipon Bukan Sekadar Istri Aktivis

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus