Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah menjadi rahasia umum jika ada banyak aktivis di masa Orde Baru yang keberadaannya tidak diketahui, dan diduga memang sengaja dilenyapkan, salah satunya adalah Wiji Thukul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiji Thukul adalah seorang aktivis sekaligus penyair yang cukup keras dalam menentang rezim Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman resmi Ensiklopedia Kemdikbud, Wiji Thukul memiliki nama lahir Widji Widodo yang lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Tahun ini berarti genap 60 tahun.
Wiji adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang berasal dari keluarga tukang becak. Ia pernah bersekolah di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, namun harus di-dropout pada tahun 1982. Setelahnya, Widji memutuskan untuk berjualan Koran hingga bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur.
Wiji Thukul mulai menulis puisi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan mulai tertarik pada dunia teater ketika di sekolah menengah pertama (SMP). Melalui teman sekolahnya, ia ikut sebuah kelompok teater, yaitu Teater Jagalan Tengah (Jagat).
Tahun 1988 Wiji Thukul menjadi wartawan Masa Kini selama tiga bulan, dan disana puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain menulis sajak, Wiji Thukul juga menulis cerpen, esai, dan resensi puisi. Melalui karya-karyanya ini, pada 1991 ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda.
Wiji Thukul menujukkan perlawanannya melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Dia telah berhasil menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan melalui kalimat-kalimat yang menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme.
Dua Puisi Wiji Thukul
1. Peringatan
Puisi ini merupakan tonggak lahirnya perlawanan pada masa rezim otoritarianisme. Puisi tersebut berbunyi sebagai berikut;
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa bicara
Kita harus hati-hati untuk mereka asa
Kalau rakyat mendengar dan berbisik
ketika membicarakan masalah itu sendiri
harus waspada dan mendengar
Bila rakyat berani menunjukkan
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
Jika usul ditolak tanpa pertimbangan
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa
alasan Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
2. Istirahatlah Kata-kata
Puisi Istirahatlah Kata-kata ini dimaknai sebagai simbol kritik terhadap suatu rezim yang terwujud dalam gerakan demonstrasi. Adapun puisi ini berbunyi:
Istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang meringis
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
tidurlah, kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapka
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan
Solo Sorogenen, 12 Agustus 1988
FANI RAMADHANI | FATHUR RACHMAN
Pilihan editor: Adik Wiji Thukul Sebut Sipon Bukan Sekadar Istri Aktivis