Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toni Artaka sedang "berburu" di Gunung Semeru. Sesekali dia menunduk. Sering kali pula ia harus merangkak sambil mengarahkan senjatanya: sebuah kamera. Petugas pengendali ekosistem Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu sedang mendata populasi flora dan fauna yang terus menyusut.
Bersama rombongan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Toni merekam banyak gambar, di antaranya Corybas imperatorius, anggrek tanah berumbi, tanaman endemik gunung Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Rentan gangguan manusia karena tumbuh di tebing jalan setapak dari Watu Rejeng hingga tanjakan menuju Ranu Kumbolo," katanya pekan lalu.Â
Tapi Toni masih penasaran. Ia belum menemukan anggrek selop (Paphiopedilum glaucophyllum), yang masuk daftar Apendiks 1 Konvensi Perdagangan Internasional untuk Tumbuhan dan Satwa Liar. Sejak bekerja mulai 2000, ia belum pernah menjumpai bunga ini tumbuh di alam. Selain dilindungi secara internasional karena terancam punah, jenis ini masuk daftar 29 anggrek yang dilindungi pemerintah.
Sebaran anggrek selop atau anggrek kantong di wilayah selatan Gunung Semeru kini hanya bisa dijumpai di tebing-tebing tinggi yang sulit dijangkau pemburu anggrek. Walau laju pertumbuhannya lambat, anggrek jenis ini mudah dipelihara dan toleran hidup di dataran rendah. "Anggrek selop disukai kolektor di luar negeri sebagai indukan anggrek hibrida. Populer sebagai tanaman ornamental," ujar peneliti anggrek Kebun Raya Purwodadi, Destario Metusal.
Dalam literatur, ada banyak anggrek endemik di Taman Nasional Bromo. Pensiunan taksonom anggrek Kebun Raya Purwodadi, Tarmudji, mengatakan, pada 1993-1994, ada laporan banyak anggrek endemik Jawa Timur di kawasan Bromo terancam punah. "Bisa dibayangkan kondisinya sekarang," ucap tamatan sekolah menengah atas itu.
Inventarisasi anggrek di wilayah selatan Semeru yang dilakukan Balai Besar Taman Nasional Bromo pada 1993 mencatat 157 jenis anggrek yang tercakup dalam 55 genus (marga). Sebanyak 107 jenis merupakan anggrek epifit (menempel di pohon-pohon) dan 50 jenis anggrek tanah.
Dari jumlah itu, 40 di antaranya merupakan anggrek langka. Di antaranya 3 jenis anggrek endemik Jawa dan 15 endemik Jawa Timur, termasuk 3 spesies khas Semeru selatan, yakni Malaxis purpureonervosa, Maleola witteana, dan Liparis rhodocila.
Dari 40 jenis anggrek langka, kata Tarmudji, 34 jenis diduga sudah punah, termasuk Malaxis purpureonervosa, Maleola witteana, dan Liparis rhodocila. Tapi 34 anggrek tadi mungkin masih ada di luar habitat, termasuk di Kebun Raya Purwodadi.
Toni mengatakan anggrek makin sulit dijumpai karena banyak diburu untuk diperjualbelikan. Selain itu, masifnya pencurian kayu merusak habitatnya. Kolektor peminat anggrek selop, misalnya, bertebaran di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, dan Thailand. Di luar negeri harganya dari Rp 700 ribu hingga Rp 5 juta per tanaman. Bahkan harga anggrek selop asli, bukan hibrida, bisa mencapai Rp 12 juta.
Selain tangan manusia, anggrek punya "musuh alami". Anggrek terancam bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah akibat langsung aktivitas vulkanik Semeru berupa awan panas letusan, lontaran material vulkanik dari kawah, awan panas tipe guguran, dan aliran lava. Bahaya sekunder disebut juga bahaya basah karena hujan menghanyutkan endapan bahan-bahan vulkanik dan mengalir sebagai banjir lahar dingin.
Untuk menyelamatkan anggrek langka, Kebun Raya Purwodadi memprioritaskan pelestarian dengan perbanyakan secara alamiah tanpa rekayasa genetika sebagai sumber plasma nutfah. Tujuannya untuk menjaga kemurnian genetiknya.
Rio mengatakan perbanyakan anggrek di Purwodadi menggunakan teknik kultur in-vitro (kondisi steril). Teknik ini dibagi menjadi kultur jaringan dan kultur biji. Kecuali perbanyakan anggrek selop, kultur biji diterapkan ke anggrek-anggrek lain, dan relatif berhasil. Rio sedang menguji coba menggunakan kultur biji untuk memperbanyak anggrek selop.
Dengan metode kultur jaringan, planlet (calon bibit atau tanaman kecil dengan organ lengkap) baru bisa diperoleh dalam masa dua-tiga tahun, tergantung jenis anggreknya. Planlet anggrek berukuran besar, misalnya, lebih lambat lagi dihasilkan.
Dengan metode kultur biji, dalam 8 bulan-1,5 tahun bisa didapatkan ratusan bahkan sampai ribuan planlet. Namun metode kultur biji masih diujicobakan pada anggrek selop. Anggrek jenis ini diperbanyak dengan teknik andalan, yakni pembiakan vegetatif, dengan pemisahan rumpun (simpodial) agar didapat anakan anggrek yang baru. Dengan teknik ini, dalam 6-8 bulan sudah bisa diperoleh satu anakan anggrek.
Tiap kali anakan anggrek muncul dari satu rumpun langsung dipisahkan untuk diperbanyak lagi dan begitu seterusnya. Dengan teknik vegetatif, kemurnian genetik anggrek selop tetap terjaga.
Dua teknik perbanyakan ini dilakukan di tempat berbeda. Kultur biji dilakukan di laboratorium, sedangkan teknik perbanyakan vegetatif dikerjakan di kebun. Tarmudji menyebut teknik vegetatif sebagai teknik konvensional alias teknik manual.
Mayoritas tanaman yang dikoleksi Kebun Raya Purwodadi, termasuk anggrek, merupakan hasil penangkaran di luar habitat aslinya atau konservasi ex-situ. Anggrek endemik Jawa Timur dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, menurut Tarmudji, sudah banyak yang punah, tapi masih ada di Kebun Raya Purwodadi.
Bukan hanya Kebun Raya Purwodadi yang berupaya melestarikan anggrek langka dari kepunahan, pedagang anggrek pun mengklaim turut melestarikan anggrek spesies asli, meskipun mengaku mendapatkan bibit dari pemburu. Dede Setyo Santoso, pemilik Dede Orchid di Batu, misalnya. "Dari hunter (pemburu anggrek), saya dapat indukan, lalu saya budi dayakan. Dengan begitu, anggrek spesies bisa bertahan di luar habitatnya. Secara tidak langsung, saya juga melakukan konservasi terhadap anggrek-anggrek spesies," kata Dede kepada Tempo pada Senin pekan lalu. Sebagaimana Kebun Raya Purwodadi, Dede membudidayakan anggrek spesies dengan teknik kultur jaringan.
Ia mengatakan anggrek selop miliknya lebih banyak diperlakukan sebagai koleksi dan untuk kepentingan penelitian. Dede bekerja sama dengan Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.
Pemilik Simanis Orchids di Lawang, Kabupaten Malang, Harto Kolopaking, berpendapat senada. Menurut dia, kondisi anggrek spesies di alam sangat mengenaskan. Pemerintah melindunginya, tapi upaya konservasi melalui Kebun Raya tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. "Orang-orang seperti kami tidak melulu memikirkan bisnis, tapi juga sangat peduli konservasinya."
Endri Kurniawati, Abdi Purmono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo