Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaharuan Agraria meminta Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Rancangan Undang-undang Pertanahan atau RUU Pertanahan. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menilai RUU Pertanahan masih memuat sejumlah pasal bermasalah dan belum mampu menjawab persoalan struktural di bidang agraria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami meminta tolong ditunda karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Ini menyangkut banyak masalah struktural yang dari rezim ke rezim tidak kunjung diselesaikan," kata Dewi dalam diskusi di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi membeberkan, poin penting kritik terhadap RUU Pertanahan ialah belum adanya jaminan penghormatan dan pemenuhan terhadap hak petani, nelayan, masyarakat hukum adat, dan masyarakat miskin kota. Dia mengapresiasi sudah adanya satu bab khusus yang membahas ihwal reforma agraria, tetapi belum ada spirit Undang-undang Pokok Agraria dalam RUU Pertanahan ini.
Dewi juga menyoal belum spesifiknya siapa saja yang menjadi subyek reforma agraria. Saat ini, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Jika merujuk pada Perpres tersebut, Dewi mempersoalkan dimasukkannya pegawai negeri sipil dan Tentara Nasional Indonesia sebagai penerima manfaat.
"Kalau kembali ke Undang-undang Pokok Agraria, reforma agraria ditujukan kepada para petani miskin," kata dia.
Berikutnya, Dewi menyebut RUU Pertanahan belum menjawab dualisme antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia berujar, selama ini KLHK mengurus sekitar 65 persen tanah dalam bentuk kawasan hutan, sedangkan 35 persen sisanya menjadi kewenangan Kementerian ATR/BPN.
Kementerian Agraria pun menargetkan bahwa 35 persen tanah di bawah yurisdiksi mereka itu selesai didata melalui sistem Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada 2005. Menurut Dewi, pendaftaran tanah ini seharusnya dilakukan tanpa kecuali, termasuk terhadap tanah yang berada di bawah yurisdiksi Kementerian Kehutanan.
"Menurut kami semua harus dicatat dalam satu sistem," kata Dewi.
Dewi juga mempersoalkan masalah pengadilan pertanahan yang dicanangkan dalam RUU Pertanahan. Menurut dia, pengadilan pertanahan akan bermasalah jika tanah-tanah yang ada pun belum semuanya didaftarkan.
KPA juga menyoal ide bank tanah yang digagas di RUU Pertanahan. Dewi bercerita, ide bank tanah ini awalnya ialah keluhan sulitnya memperoleh tanah untuk pembangunan infrastruktur. Dewi menganggap bank tanah justru berpotensi bertentangan dengan semangat reforma agraria.
Bank tanah, kata dia, juga bisa menjadi lembaga profit lantaran sumber dananya tak hanya dari anggaran negara. Sumber dananya bisa dari pinjaman, penyertaan modal, dan pihak ketiga.
Dewi juga mengaku mendapat informasi bahwa bank tanah bakal mendapatkan suntikan dari Bank Dunia. "Jadi menurut saya tidak mungkin itu tidak ada kepentingan profit dan bisnis karena dananya bukan cuma APBN," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja RUU Pertanahan, Herman Khaeron mengatakan Dewan terbuka terhadap pelbagai masukan dari kelompok masyarakat sipil. Herman mengklaim RUU Pertanahan juga konsisten terhadap spirit Undang-Undang Pokok Agraria.
Herman juga membantah Bank Dunia bakal terlibat dalam bank tanah. "Tidak ada itu," kata dia di kantor KPA, Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.