Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Alissa Wahid mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 atau revisi UU TNI seharusnya untuk memperkuat profesionalitas prajurit. Namun dia menganggap revisi UU TNI justru mengembalikan esensi dwifungsi militer yang pernah terjadi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jangan sampai Indonesia kembali justru mengulang kesalahan yang sama, dulu 32 tahun harus berjuang untuk mewujudkan supremasi sipil dan supremasi hukum, bukan supremasi senjata," kata Alissa Wahid di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat, pada Selasa, 18 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, tentara aktif yang bertugas di lembaga sipil akan membahayakan warga Indonesia. Sebab, lanjut Alissa, anggota TNI akan menggunakan kewenangan bersenjata untuk mengancam masyarakat sipil.
"Kalau tentara aktif itu kemudian harus bertugas di lembaga-lembaga sipil, berarti dia masih punya jalur kepada angkatan bersenjata ini," kata dia.
Alissa Wahid memaparkan ancaman ini sudah terjadi sebelum pembahasan revisi UU TNI. Contohnya adalah saat pemerintah ingin menjalankan proyek strategis nasional yang harus melibatkan instansi militer. Ia mengatakan saat itu masyarakat sipil harus berhadapan langsung kepada TNI.
"Masyarakat yang terdampak langsung proyek strategis nasional. Kepada siapa mereka berhadapan? Dengan yang memegang senjata," tutur Alissa Wahid.
Dia berpandangan bila disahkan DPR, revisi UU TNI akan melegalkan jalur ancaman senjata kepada masyarakat sipil. "Ruang itu tidak akan dipakai sekarang, tapi pintunya sudah dibuka dan itu yang paling berbahaya," kata dia.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU TNI yang dinilai tertutup dan bermasalah. ICW menilai, revisi ini berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer serta menunjukkan pemborosan anggaran dalam proses legislasi.
ICW menyoroti cara DPR membahas RUU ini secara tertutup, termasuk menggelar rapat di Hotel Fairmont, Jakarta, pada akhir pekan lalu. “Ini bertentangan dengan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” tulis ICW dalam siaran pers Selasa.
Mereka memperkirakan biaya rapat di hotel mewah tersebut mencapai Rp 820 juta hingga Rp 1,2 miliar, yang dinilai sebagai bentuk pemborosan uang negara.
Adapun angka tersebut, lanjut ICW, diperoleh dari perhitungan harga sewa kamar yang berkisar Rp 2,2 juta untuk tipe deluxe room dan Rp 4,3 juta untuk tipe kamar suite room. Juga termasuk paket fullboard meeting sebesar Rp 1 juta 50 ribu/pax, serta biaya sewa ruangan yang berkisar Rp 14 juta hingga Rp130 juta untuk 2 hari meeting.
Intan Setiawanty berkontribusi dalam pembuatan artikel ini.
Pilihan editor: Bima Arya Sebut Partisipasi Perempuan di Pilkada 2024 Meningkat