Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -- Amnesty Internasional Indonesia meminta pemerintah fokus menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat ketimbang menerima usulan gelar pahlawan bagi Soeharto. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, alih-alih menjalankan amanat reformasi, pemerintah justru berupaya mengkhianatinya dengan melanjutkan pembahasan usul gelar pahlawan bagi mantan Presiden di era Orde Baru itu. "Mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa dan memutarbalikkan sejarah," ujar Usman dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo pada Selasa, 22 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Usman menjelaskan, masih banyak keluarga korban pelanggaran HAM berat, terutama pada masa pemerintahan Soeharto, yang mendambakan keadilan. Ketimbang menerima usulan, dia mengatakan, bakal lebih baik jika pemerintah menunaikan komitmennya untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang diakui negara melalui tap MPR atau yang disampaikan mantan Presiden Joko Widodo pada 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Misalnya, kata Usman, peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Tanjung Priok 1984; Peristiwa Talangsari 1989; Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis 1989; atau Kerusuhan 27 Juli 1996.
Kemudian, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II pada 1998-1999, serta kejahatan kemanusiaan di Aceh, Timor-Timur, Papua, dan kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum diusut tuntas.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Sekretaris Prasetyo Hadi mengatakan, pemerintah tak mempermasalahkan usulan gelar pahlawan untuk Soeharto. Menurut dia, mantan Presiden sudah sewajarnya diberikan penghormatan dari bangsa dan negara. "Jangan selalu melihat kurangnya, kita lihat prestasinya," kata politikus Partai Gerindra itu, Senin, 21 April 2025.
Juru bicara Presiden Prabowo Subianto itu menilai, Soeharto sebagai manusia tidak memiliki kesempurnaan dalam kepemimpinan. "Tapi, semangatnya kita harus terus menghargai, memberikan penghormatan, apalagi kepada para presiden kita," ujar Prasetyo.
Usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto sebelumnya muncul pada periode kedua pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo. Usulan ini menguat setelah MPR pada 23 September 2024 menghapus nama Soeharto dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998. Tap MPR yang berisi pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme bagi pejabat atau keluarga dan kroninya, termasuk Soeharto merupakan amanat gerakan reformasi yang terjadi pada 1998 atau saat pemerintahan Orde Baru runtuh.
Beberapa pekan setelah pencabutan Tap MPR, Bambang Sadono Center mengusulkan nama Soeharto sebagai calon pahlawanb nasional kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Kepala Dinas Sosial Pemprov Jawa Tengah Imam Maskur membernarkan pengusul nama Soeharto adalah Bambang Sadono Center. Ia menyebut, usulan disampaikan pada Oktober 2024.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial Mira Riyati Kurniasih mengatakan, instansinya menerima sepuluh usulan calon penerima gelar pahlawan nasional yang salah satunya adalah Soeharto.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: