Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Anies Baswedan Cerita Neneknya, Barkah Ganis dan Pejuang Perempuan Tegal Hadang Kereta Belanda

Anies Baswedan mengingat Barkah Ganis dan para aktivis perempuan Tegal yang berani hadang kereta Belanda, yang menolak bawa mereka ke Yogyakarta.

24 Desember 2022 | 07.52 WIB

Potret Anies Baswedan bersama neneknya. Facebook/Anies Baswedan
Perbesar
Potret Anies Baswedan bersama neneknya. Facebook/Anies Baswedan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 1928 menjadi tonggak kelahiran peringatan Hari Ibu Nasional. Tujuannya diselenggarakan ialah untuk menyatukan perempuan-perempuan Indonesia dalam satu Perhimpunan Perempuan Indonesia. Ternyata salah satu wanita yang turut andil dalam kegiatan tersebut ialah nenek Anies Baswedan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diceritakan Anies melalui media sosialnya miliknya, sang nenek yang bernama Barkah Ganis kelahiran Tegal, Jawa Tengah itu merupakan seorang pegiat pergerakan perempuan sejak pra-kemerdekaan. Ia menjadi salah satu peserta Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada 22 Desember 1928.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Saat itu menjelang Kongres, neneknya berangkat sebagai utusan dari Tegal bersama para pegiat perempuan lainnya. Mereka sudah siap dengan tiket kereta ke Jogja.

Namun di Stasiun Tegal, mereka sempat dihalau dan dilarang naik kereta oleh petugas-petugas Belanda. Petugas Belanda sempat mencegah para perempuan utusan untuk bisa berangkat ke Kongres Perempuan.

Tentunya perempuan-perempuan tangguh itu tidak menyerah dan tidak pulang ke rumah. Mereka melawan, mereka menantang. Setelah berdebat dan tak juga tembus, para perempuan itu menuju ke depan lokomotif kereta yang sudah siap jalan. Mereka semua berbaring di atas rel kereta, berjejer para perempuan itu memaparkan badan. Dibawah terik matahari, di depan moncong lokomotif mereka pasang badan, mereka tawarkan nyawa: berangkatkan kami atau matikan kami. Itulah harga mati yang senyatanya.

Digambarkannya, saat itu Stasiun Tegal gempar, aksi tersebut membuat Belanda gentar. Akhirnya mereka diizinkan naik kereta. Berangkatlah mereka ke Yogyakarta. Berkongres dan ikut membangun pondasi perjuangan perempuan dan perjuangan kemerdekaan.

"Semua itu dituturkan Nenek saat itu dengan penuh semangat. Tiap Hari Ibu diperingati, Beliau selalu teringat masa-masa perjuangan itu," tulis Anies dalam unggahnnya di Facebook.

Nenek Barkah dikaruniai umur panjang. Meski di masa tuanya harus duduk di kursi roda, Nenek tetap baca koran tiap hari, mengikuti perkembangan dan tetap ajak diskusi siapapun yang berkunjung hingga menjelang wafatnya di usia 93 tahun. Badannya memang telah menua tapi pikiran dan semangatnya selalu muda.

Anies mengaku bersyukur menjadi cucu neneknya yang tinggal serumah sejak bayi. Sehari-hari mereka bersama di Jogja, hingga akhirnya Anies harus berangkat melanjutkan kuliah ke Amerika.

"Sejak masa kecil, nenek sering ajak ikut hadir berbagai pertemuan organisasi perempuan. Selama bersama di Jogja itu pula, berderet kisah perjuangan dan hikmah hidup yg diceritakannya, termasuk kisahnya tentang keberangkatan ke Kongres Perempuan itu," kenang Anies.

Di akhir ceritanya tersebut, Anies Baswedan mengingat Hari Ibu di Indonesia tiap 22 Desember bukan hanya mengingat ibu yang melahirkan dan membesarkan, tapi juga mengingat pergerakan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan kemajuan bangsa. 

ANNISA FIRDAUSI 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus