PERISTIWANYA terasa mendadak. Setidaknya begitulah menurut para saksi mata. Sabtu pagi dua pekan lalu kompleks Kantor Pusat Huria Kristen Batak Protestan, Gereja terbesar di Indonesia, di Pearaja, Tarutung, Sumatera Utara, kedatangan tamu. Ada polisi, Brimob, dan tentara. Kurang jelas tujuan tamu-tamu itu, sampai Kapolres Tapanuli Utara Letkol Tommy Yakobus, yang ternyata hadir pagi itu, memperdengarkan suaranya lewat megafon. Diumumkannya agar mereka yang bukan penghuni kompleks segera meninggalkan tempat itu. Segera saja yang tinggal di kompleks terletak kurang lebih 3 km dari Tarutung, Tapanuli Utara, itu hanya beberapa staf dan karyawan Kantor Pusat HKBP. Mereka semua berkumpul di pekarangan kantor. Jemaat lain, yang sejak beberapa hari sebelum peristiwa Sabtu pagi itu memang ditugaskan berjaga di Pearaja, meninggalkan kompleks. Setelah keadaan tampak tenang kembali, tentara pun balik kanan meninggalkan kompleks, tinggal sejumlah polisi. Itulah salah satu rangkaian peristiwa akibat kemelut HKBP sejak Sinode Godang November 1992 yang gagal itu. Kegagalan memilih ephorus (pemimpin tertinggi HKBP) yang mengakibatkan Bakors- tanasda (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah) Sumatera Bagian Utara terpaksa menunjuk penjabat ephorus 23 Desember lalu (lihat Mereka Sendiri yang Minta). Penunjukan itu ternyata menimbulkan berbagai protes. Pendeta J.A.U. Doloksaribu dan jemaatnya dari Gereja HKBP Sudirman, Medan, misalnya, melayangkan surat kepada DPRD Sumatera Utara akhir Desember lalu. ''HKBP adalah lembaga keagamaan yang sangat sakral bagi kami... Untuk memilih dan menetapkan pucuk pimpinan HKBP harus lebih dulu melalui upacara gereja, dan upacara demikian tidak ada di lembaga kemasyarakatan lainnya,'' begitu antara lain isi surat itu. Bahkan kemudian Pendeta S.A.E. Nababan, ephorus yang habis masa jabatannya pada November lalu, di akhir Desember itu juga mengadukan Surat Keputusan Bakorstanasda itu ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Medan. Keputusan PTUN, yang diketuai oleh Hakim Lintong Oloan Siahaan, menangguhkan untuk sementara pelaksanaan Surat Keputusan tersebut. Alasan Hakim, itu untuk menjaga keutuhan umat HKBP. Selain itu ada hal-hal yang kepengurusannya memerlukan penyerahan wewenang ephorus, misalnya soal rekening bank HKBP, gedung-gedung gereja, yayasan-yayasan, tanah, dan berbagi benda bergerak ataupun tidak bergerak. Tanpa persetujuan HKBP, itu bisa menjadi kacau. Tapi itu belum keputusan final. Karena kemudian pihak tergugat melakukan perlawanan hukum, antara lain menganggap putusan PTUN Medan tak sah karena Hakim Lintong anggota HKBP. Menurut ketentuan hukum, ia mestinya mengundurkan diri bila harus memutuskan perkara yang memungkinkannya berbuat tidak adil. Adapun Lintong mengakui, sampai kini masih anggota HKBP, malah pernah menjadi penatua (pembantu pendeta) di pertengahan 1980-an selama dua tahun. Tapi keanggotaanya dalam HKBP, seperti juga statusnya sebagai pegawai negeri. Ia bisa saja menjadi hakim yang menyidangkan wali kota umpamanya, yang sesama pegawai negeri, sejauh ia tak aktif terlibat dengan tugas wali kota. Jadi, ''Kecuali jika saya aktivis HKBP, maka saya harus mundur dari hakim yang mengadili perkara itu,'' katanya kepada Irwan A. Siregar dari TEMPO. Di samping itu, ''Keputusan yang saya keluarkan itu bukanlah keputusan saya pribadi, tapi sebagai salah satu anggota majelis.'' Dalam kasus ini Lintong didampingi dua anggota majelis yang beragama Islam. Memang masalah HKBP ini sudah ber kembang, bukan lagi soal pro dan kontra pemilihan ephorus dalam sidang Sinode Godang November lalu itu. Tapi lebih me rupakan rasa ketersinggungan umat bahwa ada pihak di luar HKBP menentukan epho rus (meskipun atas ''permintaan Majelis Pusat HKBP'' dan ephorus itu hanya ber status penjabat dengan tugas terbatas). Yang kemudian membuat kasus ini tampak rame, karena ketersinggungan umat diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa. Dan adanya penahanan oleh yang berwajib bukan saja pada mereka yang turun di jalan-jalan. Pendeta J.A.U. Doloksaribu, yang menulis surat kepada DPRD Sumatera Utara itu umpamanya, ditahan seusai memberkati sepasang pengantin di Gereja HKBP Medan Sabtu dua pekan lalu. Mungkin semua itu untuk mencegah hal- hal yang tak diinginkan. Misalnya, ibadah Minggu pagi di gereja HKBP di Pearaja, 17 Januari, sehari setelah aparat keamanan bertamu, terpaksa terlambat diadakan. Sebab polisi yang masih berjaga-jaga minta agar jemaat menunjukkan KTP-nya. Untunglah, setelah Pendeta Amintas Siahaan yang memimpin peribadahan Minggu itu, bersama Pendeta U. Sitompul, berbicara dengan Kapolres, ibadah Minggu pun berjalan seperti biasanya. Tapi telanjur aksi unjuk rasa terjadi. Dan apa boleh buat, penangkapan terhadap mereka -- karena dianggap mengganggu ketertiban -- pun terjadi. Menurut data di LBH Jakarta, sekitar 70-an orang yang ditangkap, dianggap menghasut dan merongrong Pemerintah. Umumnya mereka itu mahasiswa dan pemuda. Mereka yang konon dimintai keterangan itu banyak yang kemudian dibebaskan. Tapi semua itu telanjur mengaburkan masalah utamanya. Ada yang menganggap, aksi protes kurang terfokus. Bukan Bakorstanasda yang mesti jadi sasaran, tapi mengapa Pendeta Siahaan menerima penunjukan sebagai penjabat ephorus. Di sisi lain, aparat keamanan mestinya tidak perlu melakukan penangkapan terlalu jauh, seperti yang terjadi pada Pendeta Doloksaribu itu. Cukup, mereka yang memang mengganggu keamanan umum yang ditahan. Tapi mengapa Siahaan menerima penunjukan itu? Sountilon Mangasi Siahaan, 57 tahun, mengaku menerima tugas ini karena ia merasa Tuhan menggunakan Pemerintah untuk membantu menyelesaikan kemelut di HKBP. Dengan kata lain, campur tangan Pemerintah ini bagi Siahaan, yang pernah menjadi kepala perpustakaan di Pertamina, dan kepala dokumentasi dan perpustakaan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, adalah wajar. Ia pun tak merasa menjadi ephorus, seperti yang diproteskan oleh para penentangnya. Lihat, peresmian Siahaan sebagai penjabat dilakukan di Seminari Sipoholon, 11 km dari Tarutung, 31 Desember lalu. Sedangkan ephorus definitif dilantik di Pusat HKBP di Pearaja. Memang waktu itu, 31 Desember, sulit seandainya Siahaan minta dilantik di Pearaja. Kabarnya pusat HKBP itu dipenuhi ratusan jemaat yang tak setuju pada Siahaan. Alasan lain kelompok penentang Siahaan, mereka keberatan pada pribadi Siahaan, yang menurut beberapa pihak pernah dihukum oleh Gereja. Doktor theologi dari Universitas Hamburg, Jerman, itu sendiri menanggapi tuduhan itu dengan santai. ''Kalau saya memang pernah dihukum pengadilan, mana mungkin saya dipilih jadi rektor, jadi ketua majelis pendeta, atau anggota Majelis Pusat HKBP,'' kata Siahaan kepada wartawan TEMPO Munawar Chalil dan Bersihar Lubis. Siahaan mengaku bahwa ia memang pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Pematangsiantar dengan tuduhan korupsi. ''Namun oleh Mahkamah Agung saya dibebaskan dari segala tuntutan, '' kata Siahaan sambil memperlihatkan fotokopi keputusan Mahkamah Agung. Di pihak Siahaan dan Bakorstanasda, meski melakukan perlawanan hukum seperti sudah disebutkan, mereka tetap mematuhi keputusan PTUN. Menurut Mayjen Pramono, setelah keputusan PTUN yang menangguhkan pelaksanaan surat keputusannya, Siahaan tak melakukan pekerjaan penjabat ephorus, tapi hanya sebagai pendeta biasa. ''Kalau hanya melakukan pemberkatan kan boleh-boleh saja,'' kata Pramono. Ada yang bilang, mengatasi kemelut HKBP ini sebenarnya gampang: Siahaan mengundurkan diri. Dengan demikian ia tak akan menjadi masalah. Yang diperlukan dalam hal ini mungkin yang disebut sebagai kebesaran jiwa. Atau, inisiatif datang dari Majelis Pusat HKBP seperti dikatakan oleh Mayjen Pramono. Majelis mencabut kembali penyerahan masalah pada Bakorstanasda. Ini pun memang membutuhkan kebesaran jiwa. Jadi, jika memang masalah kemelut HKBP ini adalah kesakralan keagamaan, kebesaran jiwa dari pihak-pihak yang telanjur terlibat itulah jawabnya. Julizar Kasiri (Jakarta), Affan Hutasuhut, Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini