Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Radit tak tahan lagi melihat nasib adiknya, N, pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang menjadi korban pemerkosaan
Pelaku malah melenggang bebas dan mendapat beasiswa.
Korban mengajukan permohonan praperadilan agar SP3 dicabut dan penyidikan kasus bisa dilanjutkan.
JAKARTA – Radit, 31 tahun, sudah tak tahan lagi melihat nasib adiknya, N, perempuan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang menjadi korban pemerkosaan. Peristiwa nahas yang menimpa adik Radit terjadi pada akhir 2019. Namun, hingga hampir tiga tahun berselang, korban tak kunjung mendapatkan keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Radit bertambah kesal dan marah lantaran pelaku melenggang bebas. Instansi tempat adiknya bekerja pun tak memperlihatkan iktikad baik. Kekesalan memuncak, Radit semakin tersentak saat mengetahui polisi menghentikan penyidikan terhadap kasus adiknya. “Padahal korban tidak pernah mencabut laporan,” ujar Radit, Senin, 24 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga korban tengah berjuang agar proses hukum kasus tersebut dibuka kembali dan para pelaku diseret ke pengadilan. Keluarga juga meminta pendampingan lembaga bantuan hukum untuk memperjuangkan keadilan bagi korban.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat menyatakan akan berupaya memperjuangkan keadilan bagi korban. Direktur LBH APIK Jawa Barat, Ratna Batara Munti, mengatakan lembaganya akan mengajukan permohonan praperadilan atas surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan kepolisian. Adapun korban hingga kini masih mengalami trauma dan sudah dirujuk ke Yayasan Pulih untuk mendapatkan pendampingan psikologis serta pemulihan.
Kronologi Peristiwa
Radit bercerita, kasus yang menimpa adiknya ini bermula saat N mengikuti kegiatan dinas luar kota yang diselenggarakan pada 5-6 Desember 2019 di Hotel Permata, Bogor, Jawa Barat. Semua pegawai di bagian kepegawaian Kementerian Koperasi dan UKM hadir dalam acara tersebut.
Kantor Kementerian Koperasi dan UKM di Jakarta. Dok. Kementerian Koperasi
Pada 5 Desember malam, setelah kegiatan hari pertama selesai, N diajak oleh tujuh rekannya, yang semuanya bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM, ke luar hotel sekitar pukul 23.00 WIB untuk makan di sebuah restoran cepat saji. Setelah itu, mereka pergi ke sebuah bar di bilangan Cibubur.
“Korban dicekoki minuman. Mereka minum-minum. Pulang dari sana, mereka kembali ke hotel, lalu korban dipapah menuju sebuah kamar. Di kamar itu, korban diperkosa,” demikian penjelasan Radit, berdasarkan keterangan yang diperoleh dari adiknya.
Empat pelaku yang diduga memperkosa N adalah WH, Z, MF, dan NN. Adapun WH merupakan pegawai negeri golongan II-C dan Z merupakan CPNS golongan III-A. Sementara itu, MF merupakan tenaga honorer dan NN adalah tenaga outsourcing atau alih daya. Tiga orang lainnya, yakni EW, AS, dan MM, adalah aparatur sipil negara atau ASN dan tenaga honorer yang tidak ikut memperkosa korban. Namun dua orang turut berperan menjaga pintu dan satu orang pergi begitu saja tanpa menolong korban.
Pada 20 Desember 2019, korban didampingi keluarganya melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resor Kota Bogor. Pada 1 Januari 2020, Polresta Bogor menetapkan empat pelaku dugaan tindak asusila itu sebagai tersangka. Para tersangka juga ditahan.
Selama proses tersebut di kepolisian, keluarga pelaku terus mendatangi rumah orang tua korban dan meminta korban berdamai dengan pelaku. “Kepolisian Bogor pada saat itu juga terus mendorong keluarga kami agar menikahkan salah satu pelaku yang masih lajang bernama Z,” ujar Radit.
Menimbang beberapa hal, keluarga N luluh dan setuju menikahkan korban dengan salah satu pelaku. Setelah ada upaya perdamaian, polisi menangguhkan penahanan dan para tersangka dikenai wajib lapor dua kali seminggu.
Pada 13 Maret 2020, dilangsungkan pernikahan antara Z dan N. Setelah menikah, hampir tidak ada komunikasi lagi di antara kedua pihak. Z hanya sempat sekali datang ke rumah N. “Jadi, kami mempertanyakan, sepertinya menikahnya ini hanya pura-pura agar para pelaku lolos dari tahanan,” ujar Radit.
Dari pernikahan ini, ujar Radit, korban hanya dinafkahi uang Rp 300 ribu per bulan. Pada Desember 2021, keluarga korban melayangkan somasi kepada Z melalui pengacara mereka. “Namun pengacara Z justru dengan percaya diri memperlihatkan SP3 dari polisi,” ujar dia.
Radit dan keluargannya terkejut atas SP3 dari kepolisian tersebut. “Keluarga tidak tahu ada SP3 dan tidak pernah mencabut laporan. Kami baru tahu setelah melayangkan somasi,” ujar Radit.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, pihak kepolisian menerbitkan SP3 Nomor S.PPP/238/III/RES.1.24/2020 pada 18 Maret 2020 terhadap empat tersangka. Dalam warkat yang diteken Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Kota kala itu, Ajun Komisaris Firman Taufik, disebutkan bahwa penyidikan kasus tersebut telah dilakukan dengan maksimal. Namun penyidik selama proses penyidikan menyimpulkan bahwa kasus tersebut tidak cukup bukti sehingga penyidikannya dihentikan.
Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota, Komisaris Dhoni Erwanto, membenarkan adanya SP3 kasus yang dikeluarkan pendahulunya tersebut. Ia mengatakan salah satu pertimbangan penghentian penyidikan kasus tersebut adalah pernikahan antara korban dan pelaku serta perjanjian antara korban dan tersangka. “Serta ada lampiran surat permohonan pencabutan laporan polisi yang ditujukan kepada Kapolresta Bogor Kota Up. Kasat Reskrim pada 3 Maret 2020,” ujar Dhoni saat dimintai konfirmasi, kemarin.
Pihak keluarga korban yang bingung atas kasus yang mereka hadapi lantas meminta pendampingan dari LBH APIK Jawa Barat. Apalagi korban N pada pekan lalu juga digugat cerai oleh pelaku Z.
Ratna Batara Munti menyatakan polisi tidak bisa seenaknya menutup kasus dengan alasan korban dan pelaku sudah menikah sehingga terjadi perdamaian. “Ini sangat tidak tepat, merugikan hak-hak korban atas keadilan dan hak atas pemulihan,” ujarnya. Dia menegaskan, alasan restorative justice tidak bisa menjadi alasan keluarnya SP3. Dia menjelaskan, kasus ini delik biasa, bukan delik aduan. “Upaya damai boleh saja, tapi proses hukum harus lanjut terus.”
Demi kepastian dan keadilan kasus ini, LBH APIK Jawa Barat akan mengajukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan kepolisian. Mereka berharap putusan praperadilan nantinya bisa mencabut SP3 dan penyidikan kasus tersebut bisa dibuka kembali.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim (tengah) memberikan keterangan terkait kasus dugaan kekerasan seksual oleh PNS KemenKopUKM kepada pegawai honorer KemenKopUKM pada 2019 di Jakarta, 24 Oktober 2022. Dok. KemenKopUKM
Sanksi Ringan Para Pelaku
Sementara korban masih berjuang mengatasi trauma, para pelaku dugaan tindak asusila justru kini melenggang bebas. Dua pelaku dari tenaga honorer dan outsourcing dijatuhi sanksi berupa status non-job (pemberhentian pekerjaan) pada 14 Februari 2020. Sedangkan dua pelaku yang berstatus pegawai negeri di Kementerian Koperasi hanya dikenai sanksi disiplin berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun, dari kelas jabatan 7 (analis) menjadi kelas jabatan 3 (pengemudi). Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, penjatuhan sanksi kepada dua aparatur tersebut juga baru diteken pada 29 September 2022.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman, beralasan sanksi pemecatan belum diberikan kepada dua pelaku dari ASN karena Kementerian mengikuti proses hukum di kepolisian dan belum ada sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku.
Aktivis perempuan dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), Kustiah Hasim, menilai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku sangat jauh dari rasa keadilan. “Kementerian tidak menunjukkan perspektif terhadap korban,” ujarnya. Kustiah mengatakan Jaringan Pembela pada Selasa ini akan bertemu dan beraudiensi dengan Menteri Koperasi dan UKM untuk menanyakan penanganan kasus tersebut. Para aktivis juga menyatakan siap memberikan advokasi kepada korban dan mendampinginya secara non-litigasi. Salah satunya menuntut sanksi disiplin yang berat kepada para pelaku.
Menanggapi kasus ini, pakar hukum pidana Ninik Rahayu mengatakan Kementerian Koperasi harus ikut bertanggung jawab dalam kasus ini. Dia menegaskan, kasus ini tidak sekadar diselesaikan dengan menerapkan pelanggaran etik lalu menurunkan jabatan pelaku. “Ini adalah tindak pidana yang berarti harus diselesaikan melalui proses pidana, dituntut, dan disidangkan. Kementerian Koperasi harus mengawal agar proses bisa berjalan, meskipun pelakunya adalah aparatur di situ,” ujar Ninik.
Jika sanksi tegas tidak ditegakkan, ujar dia, hal tersebut berpotensi membuat kasus tersebut terulang di masa mendatang. “Harus ada sanksi berat. Bukan malah pelakunya diberi penghargaan, mendapat rekomendasi beasiswa,” tutur Ninik. “Kepolisian juga harus sungguh-sungguh menindaklanjuti pengusutan kasus tersebut.”
Adapun Arif Rahman menampik bahwa instansinya abai dalam kasus ini. Menurut dia, kementeriannya sudah melakukan pendampingan hukum sejak pertama kali korban mengadu. Kementerian juga mendampingi saat korban melapor ke kepolisian.
Ihwal beasiswa kepada pelaku Z, menurut Arif, beasiswa tersebut bukan berasal dari Kementerian, melainkan dari lembaga lain. Namun Arif mengakui Kementerian memberikan rekomendasi kepada Z beberapa bulan setelah terbit surat SP3 dari polisi atas kasus pemerkosaan tersebut. Z lulus seleksi untuk mengikuti program beasiswa S-2 dengan masa perkuliahan selama 18 bulan pada tahun akademik 2021/2022. Arif mengatakan bersikap terbuka dalam pengusutan kasus pemerkosaan ini. “Jika korban tidak puas dengan proses hukum saat ini karena adanya SP3 itu dan meminta kasus dibuka kembali, kami tentu akan melakukan pendampingan,” ujar Arif. “Kami tidak abai. Selama ini kami tidak mengungkap kasus ini ke publik demi menjaga korban juga.”
DEWI NURITA | SIDIK PERMANA (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo