Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bara di Kota Air

Kerusuhan di Kualakapuas adalah rembetan dari yang terjadi di Sampit dan Palangkaraya.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


IKAN air tawar dan sayur-sayuran segar tidak lagi diperdagangkan di Pasar Danau Mare. Pasar di tepian Sungai Kapuas itu, yang biasanya merupakan pusat keramaian di Kualakapuas, Kalimantan Tengah, kini senyap. Muda-mudi yang setiap sore menikmati angin sepoi-sepoi di Pelabuhan KT 3, pelabuhan kapal-kapal kecil di Sungai Kapuas, tak lagi muncul di sana. Kota yang kerap disebut Kota Air itu ibarat kota mati selama sepekan terakhir. Dan deretan puing rumah-rumah kayu yang hangus terbakar membuat Kualakapuas seperti usai dilanda perang.

Martianus, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Petak Danum, Kualakapuas, melukiskan wajah kota di atas kepada TEMPO. Ia juga menuturkan betapa suasana mencekam masih membungkus kota itu sejak kerusuhan pecah di sana, Selasa pekan lalu. Penduduk berjaga-jaga di kawasan huniannya masing-masing. Mereka menumpuk benda-benda seperti drum, potongan-potongan kayu, atau batang pohon kelapa pada hampir setiap ujung jalan. "Mereka berjaga begitu karena mendengar ada kelompok orang yang melakukan penyisiran terhadap warga etnis Madura," kata Martianus.

Penduduk lokal memang khawatir akan terkena ekses aksi massa brutal. Hampir semua toko tutup. Memang ada pemilik toko yang masih berani bertransaksi. Tapi, itu pun cuma sampai tengah hari, dengan pintu toko yang seperempat terbuka. "Sudah seminggu lebih kami hanya makan mi instan dan ikan kering," kata Martianus. Setelah pukul enam petang, suasana semakin sunyi-senyap. Rasa aman belum pulang dan pembakaran rumah warga etnis Madura yang sudah ditinggalkan pemiliknya tetap berlangsung. Sekitar 3.500 orang tercatat mengungsi ke Banjarmasin, meninggalkan 18 korban yang tewas, yang umumnya berasal dari kecamatan-kecamatan di luar Kualakapuas.

Pengungsi mulai meninggalkan kampung halaman mereka setelah beredar kabar burung yang menyatakan bahwa tenggat warga Madura untuk meninggalkan kawasan itu adalah 20 Maret 2001. Menurut Mulyadi, Ketua LSM Petak Danum, berita itu memang hanya beredar dari mulut ke mulut. Tapi, pengaruhnya luar biasa. Pemerintah Daerah Kualakapuas menyarankan agar orang-orang Madura itu mengungsi ke Gelanggang Olahraga Kualakapuas. Dari situ, pemda akan memindahkan mereka ke Banjarmasin atau ke luar Kalimantan. Mulyadi menuturkan, sejak 16 Maret para pengungsi mulai mengalir ke Kualakapuas.

Lalu, terjadilah pembunuhan tiga orang Madura dan pembakaran beberapa rumah di Pulangpisau pada 19 Maret 2001—sebuah kota kecamatan yang terletak di antara Kualakapuas dan Palangkaraya. Menyusul peristiwa itu, pecah kerusuhan di Sungaipasah, yang memakan empat nyawa, pada Kamis silam. Masuk dalam wilayah Kualakapuas, Sungaipasah adalah daerah transmigrasi lama. Para pendatang Madura sudah beranak-pinak di sana—sehingga amat sulit meminta mereka mengungsi. Berdasarkan hasil investigasinya, Mulyadi menyatakan suasana di daerah-daerah transmigrasi lebih tegang, misalnya di Sungaipasah dan Anjirserapat. Polisi masih menjaga ketat dua lokasi itu sampai sekarang.

Apa yang memicu konflik berdarah di Kualakapuas? Mulyadi tak dapat memastikannya. Pengamatannya membawa Mulyadi kepada kesimpulan ini: pangkal onar ini adalah orang-orang Dayak dari Sampit dan Palangkaraya. "Mereka marah dan mengejar orang Madura hingga ke sini," kata Mulyadi. Polisi sudah menangkap empat orang tersangka—semuanya memang berasal dari Palangkaraya.

Pada pekan yang sama, sejumlah tokoh masyarakat Dayak dan Madura bertemu di Jakarta. Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri hadir dalam pertemuan dan memberikan pidato agar semua kerusuhan itu segera diakhiri dengan itikad baik. Tapi, gaungnya tak sampai ke kampung halaman, tempat bara tetap menyala dan darah terus mengalir.

Mering Ngo, antropolog Dayak dari Universitas Indonesia, menilai delegasi perunding dalam upaya rujuk itu kurang tepat sasaran. Seharusnya, mereka melibatkan balian (dukun Dayak yang dipercaya memberikan kekuatan magis) dan tokoh ulama karismatis Madura sekelas Kiai Alwi Muhammad. "Kalau hal itu tidak dilakukan, saya takut konflik ini meletus lagi di tempat lain," kata Mering.

Putra seorang bangsawan Dayak ini menekankan betapa pentingnya memahami akar persoalan untuk mencapai upaya rujuk yang tepat sasaran. Jika tidak, konflik akan mudah merembet ke titik-titik baru, seperti yang terjadi di Kualakapuas. Sebab, konflik Dayak-Madura, meminjam istilah Mering, "ibarat jerami yang mudah terbakar".

Bina Bektiati, Edy Budiyarso (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus