Dua kawasan di Provinsi Riau bergolak. Penyulutnya berbeda, tetapi topik utamanya sama saja: ketidakpuasan. Mungkin, muaranya nanti akan jadi satu, yakni akumulasi kekecewaan kepada pemerintah pusat yang melahirkan bibit-bibit disintegrasi. Apalagi, Sabtu dan Ahad kemarin, di Pekanbaru dilangsungkan apa yang disebut Kongres Rakyat Riau II, sebuah forum yang membicarakan masa depan wilayah itu, apakah merdeka atau menuntut otonomi seluas-luasnya.
Dua tempat yang bergolak di Bumi Lancang Kuning itu adalah Bintan dan Rumbai. Di Bintan aksi unjuk rasa dipicu oleh persoalan pembebasan tanah yang berharga sangat murah. Di Rumbai, aksi justru akibat ucapan Presiden Gus Dur ketika berkunjung ke Padang, awal Januari silam. Gus Dur, kabarnya, sempat nyeletuk, "Keinginan merdeka dari segelintir orang Riau itu tidak ada apa-apanya."
Mahasiswa Riau agaknya ingin menunjukkan "apa-apanya". Ratusan mahasiswa, 27 Januari silam, mendatangi kantor PT Caltex Pacific Indonesia di Rumbai. Mereka memaksa perusahaan raksasa di bidang perminyakan itu menghentikan operasinya. "Tiga hari saja, kami ingin tahu bagaimana reaksi pemerintah pusat," teriak salah satu demonstran. Aksi yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu sempat melumpuhkan Rumbai.
Keinginan mahasiswa itu ditolak Caltex. "Penghentian itu berbahaya karena minyak bisa beku dan meledak," ujar Tengku Amir Sulaiman, salah satu pimpinan Caltex. Tidak peduli dengan jawaban tersebut, mahasiswa tetap melakukan tuntutannya. Sebagian melakukan orasi, sebagian lain merangsek maju.
Melihat gelagat semakin buruk, satuan Brimob dan pasukan huru-hara yang jumlahnya ratusan diterjunkan. Kapolda Riau, Brigjen Moch. Arifin Rachim, mencoba mengajak mahasiswa berdialog. Mahasiswa tidak mau. Mereka kemudian diserang oleh aparat bersenjata pentung dan gas airmata. Terjadi bentrok. Menjelang sore kumpulan massa itu dapat dibubarkan. Hasilnya, "Tujuh mahasiswa luka memar dan dua orang luka robek di kepala," kata Tabrani Rab, tokoh yang pernah "memproklamasikan" Riau merdeka.
Gus Dur memang dinilai "keterlaluan" oleh mahasiswa Riau. Provinsi kaya itu selama ini mampu menyumbang satu juta barel minyak mentah per hari. Dari sini saja, tanah Riau bisa menyumbang negara US$ 5 juta per hari (asumsi harga US$ 5 per barel). Tidak hanya itu, produksi kayu bulat dari hutan mereka mencapai 2,5 juta meter kubik per tahun. Belum lagi, ada pabrik kertas dan pulp, dan itu memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi Jakarta.
Ironisnya, selama ini Bumi Lancang Kuning hanya diberi "jajanan" dari PBB (pajak bumi dan bangunan) dan retribusi air dari setiap usaha besar. Dari data yang ada, dana yang digelontorkan pusat ke Riau terkesan tidak berarti. Pada 1997-1998, misalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau hanya Rp 302 miliar. Di antara jumlah tersebut, bantuan murni dari Jakarta cuma Rp 56 miliar.
Jadi, wajar jika tuntutan Tanah Melayu itu tidak pernah beranjak dari soal bagi hasil yang fair antara pusat dan daerah. Aksi serupa pernah terjadi pada 21 April tahun lalu. Ribuan mahasiswa mendatangi markas PT Caltex, bahkan ketika itu lebih brutal: merusak kantor dan membakar mobil. Mereka minta agar pemerintah merealisasi janjinya untuk memberi hanya 10 persen hasil minyak Riau kepada rakyat di sana. Sampai Habibie lengser, janji itu tidak pernah terpenuhi. "Itu melukai hati masyarakat Riau," kata salah satu mahasiswa.
Lalu, apa pemicu ketegangan di Pulau Bintan? Tanah rakyat yang sudah didiami turun-temurun harus dilego dengan harga Rp 100 per meter persegi. Harga tidak normal itu membuat kawasan Lagoi dan Lobam membara dibakar unjuk rasa ribuan warganya. Jalan masuk ke kawasan wisata Lagoi diblokir warga. Pusat pembangkit listrik kawasan industri Lobam pun tidak luput dari sasaran amarah. Aktivitas 25 perusahaan di daerah itu nyaris lumpuh. Kawasan wisata pantai Bintan yang biasa ramai oleh "dansa" para turis itu sempat padam dan senyap.
Warga menuntut agar ganti rugi atas tanah mereka, yang sudah berlangsung delapan tahun silam, dinaikkan menjadi Rp 10 ribu per meter. Keinginan itu tidak ditanggapi PT Buana Mega Wisata (BMW), selaku pengelola kawasan. Itu yang membuat warga kesal dan marah. Aksi pada 24 Januari itu akhirnya bisa dibubarkan aparat keamanan.
Namun, sepuluh orang luka terkena tembakan peluru karet. Polisi menahan 43 warga, 7 di antaranya mahasiswa asal Bandung, yang dianggap sebagai penghasut. Kini mereka mendekam di sel Polres Kepulauan Riau Timur.
Hadirnya mahasiswa dari luar Bintan dengan label MR BOM (Mahasiswa Rakyat Berantas Otak Mandul) itu membuat polisi berkesimpulan: ada provokator. Apalagi, ditemukan sejumlah senjata seperti bom molotov, detanator, dan dinamit. Sayangnya, polisi tidak menyebut apa motif mereka memprovokasi warga yang sedang menuntut haknya itu. "Ini akan kami usut tuntas," kata Brigjen Moch. Arifin Rachim.
Menurut Ignatius Toka Sali—ia menyebut presiden MR BOM—ia ingin membantu rakyat Bintan. Pemuda kelahiran Nusatenggara Timur itu mengaku sejak 5 November 1999 berada di Bintan. Awalnya, ia ingin ke Malaysia. Namun, ketika mendengar cerita sedih bahwa tanah rakyat di Bintan dihargai seratus perak per meter, hatinya tersentuh.
"Saya hanya mengajak warga menuntut haknya," begitu kata Ignatius kepada polisi. Beberapa aksi sudah digelar Ignatius sebelum ini. Pertama, pada 16 November 1999 di depan kantor PT BMW. Tidak membuahkan hasil, aksi berlanjut ke kantor Bupati Kepulauan Riau Timur, pada 24 November 1999. Hasilnya sama.
Pria berusia 26 tahun itu tidak menyerah. Sasaran berlanjut ke institusi yang lebih tinggi: DPR RI di Jakarta. Bersama puluhan warga Bintan, mereka menghadap pimpinan dewan, pertengahan Desember 1999. Kali ini juga mengecewakan. Mungkin kesal, terjadilah aksi pendudukan dan pemblokiran jalan pekan lalu itu. Tapi, kok, membawa senjata dan bom segala? "Itu sebagai simbol perjuangan kami apabila ada kekerasan dari aparat keamanan," kata Ignatius.
Terlepas apakah Ignatius tergolong provokator atau tidak, harga tanah yang tidak semestinya itu memang mengusik perasaan. Kisah Rajulla bisa menjadi contoh. Pria gaek itu terpaksa "menggelandang" tanpa mata pencarian setelah kebunnya "dijual" ke investor Bintan. Lahan keluarga secara turun-temurun itu dilepas dengan harga seratus perak per meter karena tidak tahan menghadapi siksaan aparat ketika itu. "Hidup saya terlunta-lunta, anak satu per satu pergi meninggalkan Lagoi untuk mengadu untung ke rantau orang," katanya.
Kisah memilukan juga dialami Effendi. "Tanah kami 1.000 meter persegi dikali Rp 100, jadi dapat Rp 100 ribu. Terpaksa ganti rugi itu kami terima karena tengok ini…," katanya sambil menunjukkan bekas luka tembak di tubuhnya. Cerita lain datang dari Ridwan. "Saya diancam mau dibunuh sekeluarga jika tidak mau menyerahkan tanah kami," kata petani yang kini menarik ojek di Tanjungpinang itu.
Awal kisah sedih itu ketika persetujuan kerja sama ekonomi Provinsi Riau dengan Singapura ditandatangani, 28 Agustus 1990. Sebagai pemilik dan pengelola kawasan pariwisata itu, ditunjuk PT Bintan Resort Corporation (PT BRC), gabungan konsorsium Indonesia dan Singapura. Pengusaha Singapura memiliki 40 persen saham konsorsium, di antaranya dimiliki oleh Technologies Industrial Corporation Ltd., Straits Steamship Land Limited dan Tropical Resort Ltd.
Sedangkan perusahaan Indonesia diwakili PT Suakajaya Indowahana, yang 80 persen sahamnya dimiliki taipan Liem Sioe Liong, sisanya terbagi di Pemda Riau dan Yayasan Angkatan Laut RI. Kawasan wisata Pulau Bintan itu—peletakan batu pertamanya 1 Maret 1991—dibangun di atas lahan 23 ribu hektare. Tidak kurang dari 4.500 kepala keluarga terpaksa "pindah tempat" untuk merealisasi megaproyek itu. Saat ini, pelaksana dan pengelola kawasan wisata Bintan adalah PT Buana Mega Wisata—salah satu pemiliknya adalah Grup Salim.
Aksi pekan lalu itu mengundang perhatian Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong. Maklum, investasi yang ditanamkan pengusaha asal Negeri Singa cukup besar. Sedikitnya S$ 3,5 miliar (sekitar Rp 15 triliun). Goh minta agar pemerintah Indonesia segera mengatasi hal ini. Sebab, menurut Goh, seperti dikutip Sunday Times, ia baru saja membujuk investor masuk lebih banyak ke Indonesia.
Ketegangan di Pulau Bintan dan Pekanbaru bak api dalam sekam. Bisa redup, tapi kalau tidak ditangani dengan arif bisa membara kembali. Apalagi, agenda Kongres Rakyat Riau II, yang berlangsung 29-30 Januari lalu, seperti menangkap keresahan ini untuk menentukan sikap, apakah melepaskan diri dari Indonesia atau tetap dengan otonomi yang lebih luas. Jadi, tuntutan Riau merdeka memang bukan "tidak ada apa-apanya". Gus Dur sebaiknya lebih arif menyikapinya, jangan cepat-cepat menyepelekan keadaan di daerah kaya minyak itu.
Johan Budi S.P. dan Dapinto Janir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini