Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Suara Kecewa dari Maluku

Wakil Presiden berkunjung ke Maluku selama dua hari. "Saya hanya bertugas menampung informasi," katanya.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARUM parfum Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri masih membekas di tanah Ambon. Kunjungannya ke sebagian wilayah Maluku itu, Selasa dan Rabu pekan lalu, masih menjadi pergunjingan publik menyangkut efektivitasnya untuk memadamkan konflik berbau agama yang sudah berumur satu tahun itu.

Dalam hitungan jam setelah Megawati terbang kembali ke Jakarta, pertikaian pecah di Desa Soahuku, Kecamatan Amahe, Kabupaten Maluku Tengah. Pertempuran dua hari berturut-turut itu menewaskan 18 orang—satu di antaranya adalah Ahmad Rumatiga, 38 tahun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Maluku Tengah, yang berada di daerah konflik. Dengan begitu, spiral kekerasan ini telah menelan lebih dari 1.600 nyawa dalam setengah tahun terakhir.

Data Korban di Maluku Utara
(Agustus 1999-Januari 2000)
Korban tewas
Korban luka berat
Korban hilang tanpa kejelasan
Masjid rusak/terbakar
Gereja rusak/terbakar
Sarana pendidikan rusak/terbakar
Toko dan kios rusak/terbakar
Puskesmas rusak/terbakar
Kendaraan terbakar
1.655 orang
1.219 orang
2.315 orang
51 buah
45 buah
8 buah
6 buah
1 buah
57 buah
Sumber: Laporan Gubernur Maluku Utara Surasmin
Banyak orang Maluku, muslim ataupun Kristen, yang telah berbulan-bulan hidup bagai di neraka pembantaian manusia, sudah tidak sabar menunggu kerja serius pemerintah, terutama Megawati, untuk menghentikan banjir darah itu. Apalagi, Presiden Abdurrahman Wahid—banyak berkunjung ke luar negeri—telah mendelegasikan penyelesaian soal Maluku kepada sang Wakil.

Apa saja yang dilakukan Megawati selama di Maluku? Terbang dari Jakarta, Megawati dan sejumlah menteri mendarat di Kota Ambon, Selasa pagi. Di situ, dia mengunjungi Masjid Alfatah, markas umat Islam, lalu ke Gereja Maranatha, markas umat Kristen, dan ke tempat penampungan pengungsi. Sorenya, Megawati dan rombongan terbang melompati sejumlah pulau ke Ternate, Maluku Utara. Setelah meninjau pengungsi di Desa Dufadufa dan Jambula—masing-masing hanya memakan waktu 10 menit—Megawati mengadakan acara dialog dengan para tokoh agama dan masyarakat di kantor gubernur. Tatap muka berlangsung selama sejam lebih.

Malam hari, rombongan Megawati rehat dan menginap di Kapal Perang RI Arum, yang berlabuh di Dermaga Ahmad Yani, Pulau Hiri—tetangga Ternate. Keesokan hari, Rabu, Megawati terbang dengan helikopter ke Pulau Jailolo untuk meninjau para pengungsi. Rombongan meninggalkan Maluku dan terbang ke Jakarta tengah hari, setelah mereka rehat sebentar di Bandara Babullah, Ternate.

Kedatangan Megawati ke Maluku diwarnai ketegangan lokal. Tak hanya masyarakat yang panas-dingin, juga aparat keamanan. Megawati memperoleh pengawalan ekstraketat dari Tentara Nasional Indonesia. Beredar rumor bahwa masyarakat muslim di Kota Ambon menolak kedatangan Megawati karena posisinya sebagai pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—yang dianggap dekat ke kaum Kristen. Ketika rombongan Megawati masuk ke Kota Ambon, Pasukan Pengamanan Presiden sempat terpaksa melompat dari mobil secara tiba-tiba untuk menghadapi sekelompok massa yang menghampiri mobil rombongan. Entah apa yang ditakutkan. Sebab, sejurus kemudian, sekelompok massa dari Kampung Batumerah itu—mayoritas muslim—ternyata justru hendak menyambut kedatangan sang tamu, bahkan dengan sajian kesenian hadrah segala.

Ketegangan juga muncul di Kota Ternate. Sekitar 200 mahasiswa Universitas Hairun berunjuk rasa dengan bentangan spanduk di depan rombongan Megawati, yang melaju kencang di jalan. Mereka menuntut agar Wakil Presiden berkunjung ke beberapa daerah di Maluku Utara, tempat ratusan massa tewas beberapa pekan lalu. Suasana panas juga menyengat acara dialog di Kantor Gubernur Maluku Utara, yang disaksikan ribuan orang. Ketika Megawati berpidato, seorang tokoh dari Majelis Ulama Indonesia setempat menyela, "Kami tidak butuh penjelasan Ibu Mega yang berbelit. Yang kami butuhkan penyelesaian konkret," katanya. Megawati, yang duduk lesehan, hanya terpaku, diam.

Adakah solusi konkret? "Saya bertugas menampung, mencari masukan, memberi keterangan, dan menyampaikan hal-hal yang perlu dilakukan. Setelah itu, presidenlah yang memutuskan," kata Megawati kepada pers. Hanya itu.

Kelik M. Nugroho, Hani Pudjiarti, Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus