Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Barter, Penguasa Dan Pengusaha

Penduduk asli Mentawai buta huruf dan buta hitungan, menukarkan hasil hutan dan kebun dengan barang-barang yang diperlukan, dinas kehutanan Sumatera Barat mengusahakan agar penduduk menerima uang.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH di pedalaman gugusan Kepulauan Mentawai sekarang telah banyak dijumpai radio transistor, mesin jahit, lampu stromking. Bahkan dalam waktu tidak lama lagi mungkin telah ada yang punya televisi. Semua barang itu bukan dibeli dengan uang. Semuanya hasil penukaran (barter) kopra dan manau (sejenis rotan). Menurut keterangan ir Manas, Kepala Pemangkuan Hutan Kepulauan Mentawai pada tahun 1976 yang lalu tidak kurang dari 2,5 juta batang manau telah dikeluarkan dari Kepulauan Mentawai. Direktur CV Prima Sari Basril Jabar yang punya pabrik pengolahan manau dan rotan di Muara Siberut mencatat sebanyak 5.000 orang penduduk Mentawai yang terlibat dalam kegiatan memungut hasil hutan itu. Dan uang para pengusaha manau yang telah dikeluarkan untuk membeli manau itu lebih dari Rp 250 juta. Ini berarti pendapatan per capita seperenam penduduk Kepulauan Mentawai dari kegiatan mengambil manau saja tahun yang lalu Rp 50.000. Belum lagi dari kopra dan cengkeh yang mulai berbuah. Tetapi penduduk asli Mentawai tidak menerima uang kontan. Dari pedagang perantara yang bermukim di kampungkampung yang terletak di muara-muara sungai mereka menerima barang-barang sebagai tukaran dari manau yang mereka bawa. Sudah dapat diduga pelagang perantara ini seellaknya saja menetapkan nilai tukar dari barang-barang yang dibelinya di Padang. Dan penduduk asli Mentawai menerima sistim barter ini dengan sukarela, karena mereka rata-rata buta huruf dan buta hitungan. Belajar Kalkulasi Ir Manas sebagai pejabat Kehutanan yang bertanggmgjawab di Kepulauan Mentawai ini rupanya menyadari adanya ketak-beresan dalam sistim barter ini. Ia tahu penduduk asli Mentawai dipaksa secara halus untuk menerima barang-barang yang dibawa dari Padang dan tidak punya pilihan dalam memenuhi barang-barang yang mereka perlukan. Karena itu ir Manas ingin supaya penduduk asli Mentawai menerima uang kontan dari setiap penjualan manau yang mereka bawa. Keinginan ir Manas ini sama dengan cita-cita Camat Siberut Selatan Ali Hanafiah. Rakyat Mentawai harus mengerti peranan uang dan belajar melakukan "kalkulasi dalam kehidupan ekonomi," katanya. Karena itu cara yang ditempuh: setiap pemegang Hak Memungut Hasil Hutan Ikutan harus langsung beroperasi di daerah yang disediakan untuk mereka. Mereka harus langsung membeli manau dari penduduk asli dan mengolah manau tersebut di Mentawai. Manau yang dibawa ke Padang kelak harus siap untuk diekspor. Manau mentah yang masuk ke pelabuhan Muara Padang nanti dianggap sebagai manau yang dicuri dari hutanhutan yang dikuasai negara. Polisi Kehutanan akan menyita barang-barang curian itu dan kemudian melelangnya. Itu baru gambaran dari kemauan baik pihak Dinas Kehutanan Sumatera Barat. Semuanya bisa beres kalau penguasa-penguasa di Kepulauan Mentawai tidak jadi pengusaha. Tetapi selama ini semua orang yang pergi ke Mentawai tahu bahwa penguasa di sini adalah pengusaha. Kebanyakan mereka berfungsi sebagai kaki-tangan pedagang perantara atau mungkin pula merekalah pedagang perantara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus