MENINGGALNYA Kiai As'ad Syamsul Arifin tidak hanya meninggalkan Nahdlatul Ulama, yang sedang bersiap-siap menghalalkan bunga bank. Tapi juga meninggalkan beban Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Situbondo, Jawa Timur kepada "putra mahkotanya", Lora Ahmad Fawaid. Berbeda dengan Fawaid, sang ayah ketika diangkat menjadi pemimpin pesantren yang memiliki 7.000 santri ini, pada 1950-an, sudah dalam usia 56 tahun -- diakui kematangan intelektual, usia, ilmu, dan kepribadiannya. Dan pada akhir hayatnya Sang Kiai memang sesepuh ulama NU yang memiliki karisma dan wibawa besar. Sementara itu, sang putra, Ahmad Fawaid, 22 tahun, kini masih dalam asuhan Afifuddin Muhajir, salah seorang staf Kiai As'ad di bidang hukum Islam. Bukan berarti orang muda mesti kalah ilmu dengan orang tua. Tapi dalam hal pesantren, apalagi yang masih tradisional, figur pemimpin, "tidak hanya dituntut mumpuni ilmunya, tapi juga matang beragamanya," kata Kiai Wahid Zaini, Ketua Robithoh al Ma'ahid al Islamiyah (Ikatan Pesantren Seluruh Indonesia). Dengan kata lain, pemimpin itu diharapkan seorang yang saleh, yang sudah makan asam garam kehidupan. Sebab, kata Kiai Wahid kepada Kelik Nugroho dari TEMPO, ada anggapan di pesantren-pesantren tradisional bahwa kiai adalah pewaris Nabi. "Maka, ia harus diikuti, ia jadi figur sentral yang tak bisa dibantah," kata Wahid pula. Dalam hal seperti ini demokrasi memang tak diperlukan, melainkan karisma atau kewibawaan seorang pemimpin yang diyakini itikad baiknya oleh umum. Pondok atau pesantren jenis "tanpa demokrasi" ini, menurut Wahid, di Indonesia berjumlah lebih dari 1.000. Soal karisma dan mendapat kepercayaan umum itulah yang sulit diperoleh dalam usia muda. Biasanya, kewibawaan seorang anak kiai diperoleh karena bapaknya. Dan itu diterima karena masyarakat sekitarnya memang menyetujui sistem itu, kata Kiai Wahid pula. Tak akan jadi persoalan bila putra sang kiai pada saat harus menggantikan bapaknya sudah cukup matang. Bagaimana dengan Ahmad Fawaid? "Memang secara keilmuan dia masih dalam proses. Tapi ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh setiap orang," kata Hasan Basri L.C., staf Kiai As'ad dalam bidang pendidikan. Hasan Basri tak menjelaskan kelebihan itu. Mungkin, yang dia maksudkan itu apalagi bila bukan "warisan" kewibawaan dari orangtua. Ini juga terjadi di Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Kiai Ali Maksum, tokoh yang memiliki kedalam ilmu agama dan disegani di kalangan NU itu, pada November tahun lalu wafat, dan H. Atabik Ali, 43 tahun, putranya, menggantikan kedudukannya. Menurut Dindin Wahyudi, salah seorang santri di pesantren Krapyak, "Pamor, kedalaman ilmu, dan segala-galanya, Mbah Kiai Maksum jelas lebih tinggi dari Pak Atabik." Toh Atabik naik juga. Di Pesantren Asy-Syafiiah, Jakarta, putra K.H. Abdullah Syafi'i (almarhum) mengakui sendiri kekurangannya. "Saya belum sekuat ayahanda dalam mengasuh anak pondok. Umur, ilmu, dan pengalaman terlalu jauh dibandingkan dengan almarhum," kata H. Abdul Hakim, putra Kiai Syafi'i itu. Ayahandanya, tuturnya, selalu bisa memecahkan persoalan pesantren yang sulit. Misalnya, "Beliau mencari jawaban dengan melakukan salat tahajud." Maka, haruskah pesantren-pesantren yang dipimpin oleh orang muda itu memudar pamornya? Tampaknya masalahnya kini sudah bergeser, sesuai dengan perubahan zaman itu sendiri. Masyarakat sudah cenderung berpikir realistis, kata Masdar F. Mas'udi, 36 tahun, dalam buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Dulu, kata Koordinator Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat di Jakarta itu, orang tua atau anak memilih pesantren lebih karena karisma yang dimiliki oleh kiai pengasuhnya. Sekarang, tuturnya lagi, seorang calon santri lebih melihat pada sistem pendidikan pada kualitas alumninya. Tak berarti kewibawaan tidak lagi penting. Di antara jemaah pondok, misalnya di Salafiyah di Situbondo itu, tentu banyak yang usianya jauh melebihi Fawaid. Mungkin, di antara mereka banyak yang belum bisa menerima putra Kiai As'ad itu, meski hanya dalam hati. Mungkin tak enak bagi mereka bila harus mencium tangan Fawaid, umpamanya. Maka, "prestasi" kepemimpinan sehari-hari para pemimpin muda itu akan menentukan, adakah akan diperolehnya kewibawaan itu atau tidak. Misalnya di Pondok Krapyak Yogyakarta, itu ada kesempatan ceramah di masjid Pondok -- dalam salat Jumat, atau salat Ied, atau dalam pengajian-pengajian. Di situlah Kiai Atabik Ali punya kesempatan membuktikan kepemimpinannya. Risikonya memang, seperti dikatakan Masdar Mas'udi, bila upaya membentuk wibawa itu terjadi di pesantren tradisional, dan hal itu tak kunjung juga diperoleh, "prestasi" pemimpinnya akan mempengaruhi karisma pesantrennya pula. Maka, bijaksanalah jalan yang diambil oleh Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di pesantren modern ini, setelah wafatnya Kiai Imam Zakarsyi -- salah seorang pendiri pesantren -- lima tahun lalu, dibentuk Yayasan Waqaf. Yakni semacam lembaga legislatif yang beranggotakan 15 kiai - 9 kiai alumni dan 6 kiai pengurus pondok. Lembaga inilah yang memilih "kiai" pemimpin pesantren tiap lima tahun. Mungkin pola Pesantren Gontor inilah yang cocok untuk masa mendatang. Selain masyarakat sudah berubah -- orang tak lagi memandang siapa kiainya, tapi bagaimana sistem pendidikannya -- tokoh-tokoh karismatis pun sekarang sulit ditemukan. Dan secara kultural memang semakin kurang dibutuhkan, kata Masdar pula. Perubahan itulah yang secara tak langsung membantu Fawaid dan para kiai muda yang lain, untuk tak dituntut sepenuhnya punya karisma sebagaimana bapaknya. Kata-kata Fawaid jadinya bukan sekadar basa-basi: "Insya Allah, saya akan meneruskan perjuangan Kiai As'ad." Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini