BUNGA bank itu halal," ucap Dr. Sjech Hadi Permono. Pendapat Wakil Khatib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur ini kontan mengundang reaksi. Saban muncul bantahan terhadap pernyataannya sering dibumbui keplok dan teriakan "hidup... hidup . . . " dari peserta Komisi Membahas Masalah Keagamaan, atau Bahtsul Masail Diniyah NU se-Jawa Timur. Acara ini diadakan akhir Juli lalu di Pondok Darussalam, Banyuwangi. Tapi hingga akhir sidang, Hadi Permono kalem saja menjelaskan argumentasinya. "Dan tidak ada ulama yang menyanggah pendapat saya," ujarnya. Jadi, secara ijmak sukuh komisi tersebut menghalalkan bunga bank. Artinya, kesepakatan itu lahir dengan berdiam diri para mujtahid terhadap pendapat mujtahid lain. Agaknya, juga melegakan warga NU yang sudah lama mengharapkan bunga bank halal. Apalagi bagi Abdurrahman Wahid. "Saya senang sekali," ujarnya. Rasa senang Ketua Umum PB NU ini berkaitan dengan bakal surutnya banjir kritik kepadanya. Sebelumnya, ia sudah menghalalkan bunga bank ketika meresmikan Bank Nilaiarta di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Februari silam itu, ia juga mengatakan tentang NU akan mendirikan dua ribu BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di pelosok Indonesia dalam masa 10 tahun mendatang. Langkah ini selain ada yang menyambut gembira, juga tak kurang yang menolaknya dengan alasan: riba. Di kalangan yang menyamakan bunga bank dengan riba ada pula dasarnya. Menurut Achmad Azhar Basyir, M.A., Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah, di Quran tertera dalil yang menguatkan bunga bank sama dengan riba. Yaitu, tambahan dalam mengembalikan kredit, bunga berlipat ganda, dan perbuatan si kaya yang mengisap si miskin. Rujukannya Surat Al Baqarah (ayat 279) dan Ali Imran (ayat 130). Kemudian dilengkapi keterangan dari hadis Nabi. Tapi menurut Abdurrahman Wahid, Quran hanya menyebut apa itu riba, dan hadislah yang menjabarkan bentuknya. Sedangkan artinya dari turunnya ayat (asbabun-nuzul), riba itu berupa pinjaman yang diberikan orang kaya kepada yang fakir untuk keperluan sehari-hari. Dan di saat utang harus ia lunasi, pengembaliannya macet. Kemudian, peminjam memperpanjang tempo pelunasan dengan syarat: si fakir menambah sejumlah uang di luar pinjaman pokok. Toh, selama ini kalangan NU, baik yang mengharamkan maupun yang menghalalkan, bukan berpedoman pada Quran tetapi pada dua hadis. Yang mengharamkan merujuk hadis: "utang yang menarik manfaat adalah riba". Dan mereka yang menghalalkan mengancik ke hadis: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang bisa membayar lebih" (Hadis Abu Rafiq, diriwayatkan Imam Muslim). Pertentangan dua kubu ini sudah sejak 1938, ketika Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten. Saat itu terjadi debat antara Rais Am K.H. Wahab Chasbullah dengan iparnya, K.H. Bisri Sjansuri. Lalu muktamar memutuskan: "bunga bank halal" seperti pendapat Wahab Chasbullah. Namun, pada muktamar berikutnya, warga NU diperingatkan agar "berhati-hati dengan bunga bank". Dalam Muktamar 1957, NU kembali mengharamkan bunga bank. Malah usaha bisnis yang berbendera NU dilarang meminjam uang dari bank. Fenomena inilah kemudian yang mengundang Hadi Permono meneliti dua hadis yang dipakai kedua kubu itu. Hasilnya, ia simpulkan bahwa hadis Kullu qordin jahro manfaatan fahuwa riba (utang yang menarik manfaat adalah haram) memang lemah. Hadis ini maukuf karena sahabat yang mengatakan, bukan Nabi. Sedangkan ulama salaf melarang hadis maukuf dijadikan hujah atau dasar hukum. Karena berpedoman pada hadis ini, kata Hadi, lalu para ulama menganggap bank sama dengan utang-piutang yang menarik manfaat. Padahal, kata qordin (beda dengan "qirot"), di situ adalah utang-piutang yang konsumtif. Ini riba. Sedangkan bank, menurut Hadi, melakukan pinjaman yang produktif alias qirot. Jadi, pengertian riba itu tidak masuk dalam hadis tersebut. Sedangkan hadis yang berbunyi "Yang lebih baik di antara kalian adalah yang bisa membayar lebih", menurut Hadi Permono, mengandung pertambahan nilai yang membawa manfaat kepada umat. Jelaslah, bukan riba. Dosen yang meraih doktor (1989) tentang zakat di IAIN Jakarta ini menemukan kesimpulan ini di antaranya setelah ia merujuk kitab Subulus Salam dan Sunan Baihaqi. Ternyata, keputusan ini belum final. Sikap warga NU belum semua menghalalkan bunga bank. Mereka masih ada yang mengharamkannya, atau menyebutnya "ya atau tidak" alias diragukan (syubhat). Tapi beda pendapat ini umum tercermin di dunia Islam. Sedangkan umat Islam, menurut Hadi Permono, hampir tidak terhindar dari bank. Ini terjadi di semua segi kehidupan. Bahkan, pelaksanaan ibadat haji menyentuh bank, yang menggunakan sistem bunga itu. Memang, sistem perbankan dalam ekonomi modern sulit ditampik. Buktinya, kata Dr. Nurcholish Madjid, umat Islam berlomba-lomba mendirikan bank Islam. Menurut peneliti dari LIPI ini, meskipun diberi nama IsIam, itu merupakan institusi modern (perbankan) yang diislamkan. Karena gejala ini tidak bisa dihindarkan, maka diambillah kategori lain: bunga bank termasuk mutasyabihat alias belum jelas hukumnya. Hadis menganjurkan menjauhkan hal ini, supaya tak terperosok ke yang haram. Sedangkan Azhar Basyir mengatakan, seseorang atau masyarakat yang bermaksud memenuhi kebutuhan hidupnya yang sesuai dengan ketetentuan agama, maka yang mutasyabihat dapat dilakukan. Tapi bila sudah jelas "haram" hukumnya, maka segera ditinggalkan. Makanya, sejak 1968 Muhammadiyah memasukkan bank ke dalam bab mutasyabihat. Meriahnya, hingga akhir Pelita ini Muhammadiyah akan mendirikan 100 BPR. Semua itu juga memakai alasan untuk kemaslahatan umat. Julizar Kasiri, Ardian Taufik G., Zet Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini