PERAIRAN timur Sumatera Utara, kini, keruh lagi. Korban manusia memang belum jatuh. Tetapi, 2 Juni lalu, sebuah kapal motor TNI-AL terpaksa berpatroli sehari penuh. Ini, setelah Acun mengadu ke Pos Kamla di Belawan. Ia sudah 20 tahun sebagai pengusaha jermal. Bermula 21 Mei lalu. Hari itu muncul 4 boat pukat teri mengusik jermal Acun di Kualalangkat - 19 mil utara Belawan. Di hari kedua, malah boat Tenaga Ganda dari Sei Serapuh, Langkat, mengocok air laut di seputar jermal, lima jam. Kelilingan air jadi berputar bagai gasing. Gara-gara "teror" itu, bukan saja pondok penangkap ikan tadi diguncang ombak buatan. Malah ikan-ikan di kolong jermal hubar-habir, setelah dikejutkan bunyi kaleng-kaleng kosong yang dipalu dua puluh anak buah kapal (ABK). Sembari memainkan golok, mereka juga mengancam akan membakar jermal. "Buruh yang bekerja di jermal saya sepuluh orang sekarang takut tidur di sana," kata Acun, 50. Setelah Keppres 39/1980 mengganyang pukat harimau yang ganas itu, banyak tauke ikan di Sum-Ut beralih ke pukat teri. Kalau jaring si harimau dilempar di belakang boat dan diseret di dasar laut, tetapi jaring teri diambangkan di sisi kiri-kanan kapal yang lego jangkar. Pada 1983, pukat halus ini dilarang beroperasi oleh E.W.P. Tambunan - yang waktu itu Gubernur Sum-Ut. Katanya, pukat ini meresahkan, menyulut konflik sesama nelayan dan mengganggu kelestarian sumber ikan. Tapi, setelah lima bulan, larangan tersebut cair lagi karena muncul "petuah" Dirjen Perikanan. Sejak pukat teri dibolehkan berlayar, dampak kerusuhan mulai menunjukkan giginya. Malah, di antara 300 jermal yang ada di perairan timur Sum-Ut, sudah 50 yang bangkrut. Padahal, harga sebuah jermal sampai Rp 80 juta. Kini pukat teri lebih 200 buah beroperasi di Sum-Ut. Jermal Acun, misalnya, sebelum sering diganggu pukat teri menghasilkan 5 ton ikan teri sebulan. Kini, produksinya merosot 60%. Keadaan begini, tentu, merisaukan banyak pemilik. Tetapi, di Asahan, dari 168 jermal masih bisa berproduksi sampai 25 ribu ton sebulan. Sedangkan dari 12 pukat teri menghasilkan 84 ton setahun. Didirikan 6 mil dari pantai, karena di sekitar inilah lubuk teri, jermal beda dengan bagan di pantai Laut Jawa. Rumah jermal 4,8 X 31,6 meter, beranjung depan 17,2 meter dan belakangnya 14,4 meter. Jermal adalah khas sarana penangkap ikan, terutama teri, di pantai Sum-Ut yang kehadirannya secara tradisional sudah hampir 1 abad. Biasanya dihuni 10 penjaga, siang malam, di bawah kolong jermal dipasang jaring halus seperti kelambu. Di depannya dipasang jajar kayu nibung sampai 300 meter, berbentuk kerucut. Kalau jajar ini digoyang ombak, teri dan ikan jadi "takut" keluar dari kolong. Lalu larilah mereka ke dalam jaring tadi, yang pada jam-jam tertentu siap ditarik ke lantai rumah, melalui kolong. "Akibat persaingan antara jermal yang pasif itu dan pukat teri, lahan menjadi sempit," kata M. Yahya M.S., anggota DPRD merangkap Ketua DPD HNSI Asahan. ABK makin serakah karena dipancing bagi hasil dengan si tauke, 40:60. Apalagi sekarang harga ikan teri mutu ekspor Rp 6 ribu sekilo, merupakan perburuan empuk setelah udang tiger yang Rp 12 ribu per kg. "Harga teri sekarang memang menggoda," ucap seorang pemilik pukat teri yang tak mau disebut namanya, di Tanjungbalai, Asahan. Khusus untuk teri nasi (disebut juga teri Medan), rata-rata 60 ton sebulan diekspor ke Malaysia dan Singapura. Itu baru dari Kabupaten Asahan saja. Sementara, awak jermal terus terlentok-lentok berpenghasilan Rp 40 ribu sampai Rp 100 ribu sebulan - sebagai nelayan buruh yang belum terangkat nasibnya, seperti dulu-dulu juga. Pukat teri, sejak muncul, diharamkan mendekati kawasan jermal sampai 200 meter dari dua sisi, plus 1 km dari depan dan belakangnya. Tapi, Thamrin Hasibuan, 44, Kepala Dinas Perikanan Asahan, menganggap bentrokan antara ABK pukat teri dan awak jermal, "Terlalu dibesar-besarkan." Zakaria M. Passe & Monaris S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini