ISMAIL bikin gebrakan baru lagi. Gubernur Jawa Tengah itu mengeluarkan surat edaran yang menganjurkan agar semua pegawai negeri dan badan usaha milik daerah di Jawa Tengah, terhitung awal Juni ini, memakai baju lurik setiap hari Sabtu. Langkah serupa ini bukan baru bagi Ismail. Tahun lalu, misalnya, ia juga mengimbau agar nama asing yang dipakai untuk toko, bioskop, atau restoran dianti dengan nama Indonesia. Ia juga mengimbau agar remaja di wilayahnya beralih dari bela diri asing, dan menggandrungi pencak silat sebagai seni bela diri domestik. Dan yang tak kurang menarik adalah ketika ia minta agar Rumah Sakit Prof. Margono Sukardjo di Purwokerto mengubah atap bagian depan gedung yang bergaya Yunani menjadi bergaya arsitektur Jawa alias joglo. Ismail memang berencana agar setiap bangunan pemerintah, seperti kantor kabupaten yang kelak dibangun di Jawa Tengah, akan dirancang berbentuk joglo. Ini dilakukan bukan karena ia antibangunan asing. "Tapi biar lebih tampak identitas Jawa Tengah yang membanggakan itu," katanya memberi alasan kepada TEMPO. Dan Ismail bukan tanpa alasan, kalau kini mempersoalkan lurik. Menyelamatkan warisan budaya leluhur, dan membuka kesempatan kerja, itulah alasan Gubernur Jawa Tengah itu. Dan gagasan penyelamatan itu bermula dari kunjungan-kunjungan kerjanya di dua kawasan penghasil utama lurik Jawa Tengah: Pedan, di Kabupaten Klaten dan Troso, di Kabupaten Jepara. "Para produsen lurik di sana selalu mengeluh soal pemasaran, dan terancam kebangkrutan," ujar Ismail, yang sejak beberapa bulan lalu gemar memakai baju safari lurik. Saat ini, produsen kain tradisional bermotif garis-garis vertikal itu sebagian besar memang sudah gulung tikar. Mereka, yang umumnya hanya memakai alat tenun bukan mesin (ATBM), jelas tak mampu bersaing melawan pabrik-pabrik tekstil modern yang mulai bermunculan sejak awal tahun 1970an. "Jadi, apa salahnya kalau saya ikut menghidupkan kembali produksi tradisional itu,"ujar Ismail. Di Jawa Tengah ada 280 ribu pegawai negeri. "Mereka tidak akan keberatan membeli lurik yang harganya sepotong berkisar antara Rp 3 ribu dan Rp 7 ribu," ujarnya. Gayung pun bersambut, terutama dari para pegawai rendahan. Seragam baru itu dianggap dapat mengatasi perbedaan penampilan di antara sesama warga Korpri. "Harganya hampir seragam, dan lebih murah dari batik," ujar Yayuk, penyiar RRI Solo. Karena itu, pegawai negeri golongan II B itu merasa tidak dibebani oleh anjuran gubernurnya. Tak pelak lagi, para produsen pun berlomba-lomba menggenjot produksinya. Di Pedan, misalnya, sudah tak ada lagi buruh lurik yang bekerja setengah hari. Dan kerja lembur sudah menjadi pemandangan rutin, sejak anjuran Ismail diumumkan, pertengahan bulan lalu. "Kalau dulu kamihanya sanggup mengantungi Rp 12 ribu per minggu, sekarang sudah tambah Rp 3 ribu lagi," ujar Achmadi, salah seorang penenun di Pedan. Tapi para produsen itu, yang umumnya mewarisi bisnisnya secara turun-temurun, masih juga kewalahan menerima pesanan yang bertubi-tubi. Padahal mereka sudah menaikkan produksinya sampai hampir dua kali lipat. "Kalau dulu dengan produksi 600 meter per hari sudah sulit laku, sekarang dengan 900 meter masih belum bisa memenuhi permintaan, ujar Atmadji, salah seorang pengusaha di Pedan. Kendati demikian, persaingan di bisnis lurik, tampaknya bakal tambah ramai. Karena tak mau ketinggalan berebut rezeki, para pengusaha lurik yang sudah bangkrut pun, dengan mengerahkan segala sisa tenaganya, sudah mulai mencoba bangkit kembali. Sementara itu, wajah-wajah baru juga mulai bermunculan. Incaran mereka adalah, Sentra Industri Sandang Troso di Jepara, yang memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi ledakan baru bisnis lurik. "Diperkirakan dalam waktu dekat, produsen lurik di kawasan ini akan bertambah jadi 200," ujar Jasir BK Teks, Kepala Bidang Industri Kecil Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Jawa Tengah. Di kawasan itu, kini, sudah aktif 30 produsen tekstil ATBM. Sayangnya, kekhawatiran baru sudah muncul di benak para produsen. Jangan-jangan para produsen tekstil bermesin ikut ambil bagian di pasar lurik. Tak mustahil nasib lurik tenunan mereka akan sama dengan batik tradisional (tulis), yang nyaris pupus terlindas batik cap. "Inilah yang harus terus diwaspadai," ujar Soedarjadi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Jawa Tengah. Praginanto Laporan Kastoyo Ramelan & Jusro M. Santoso (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini