Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pulau Bidadari, Siapa Punya

Pembangunan kawasan wisata di Pulau Bidadari oleh warga negara Inggris diributkan. Dua kapal perang sempat diturunkan.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menggunakan perahu motor, enam lelaki berbadan te-gap tiba-tiba mendarat di Pulau Bidadari. Mereka lalu menyusuri pulau yang berada di ujung Kepulauan Flores itu. Wajah mereka menegang saat bertemu Ernest Lewandosky dan Kathleen Mitchi-nson, pasangan asal Inggris yang sedang memba-ngun sebagian kawasan di pulau tersebut. Seorang dari enam lelaki itu kemudi-an berteriak lantang, ”Ini b-ukan pulaumu. Ini Indonesia.”

Ernest Lewandosky me-ra-sa terusik. Ia berkalikali menjelaskan, diriny-a berhak membangun di pu-lau itu karena telah mendapat izin dari peme-rintah. Namun, keenam lelaki yang mengaku anggota Tentara Nasional Indonesia itu tak peduli. Me-reka buru-buru naik ke tempat yang lebih tinggi, lalu menancapkan bendera Merah Putih.

Insiden itu terjadi pada akhir Desem-ber lalu. Dua bulan kemudian, Koman-dan Korem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Noch Bola, mengumumkan kepada pers: Pulau Bidadari dikuasai warga negara Inggris. Ia mengkhawatir-kan, pulau yang bisa dikelilingi selama setengah jam dengan jalan kaki itu disa-lah-gunakan, misalnya untuk aktivitas intelijen.

Pangkalan Utama Tentara Angkatan Laut bahkan sempat mengerahkan Kapal Republik Indonesia (KRI) Wiratno dan KRI Katon. Dua kapal perang itu berpatroli mengelilingi Pulau Bidadari, yang berada di wilayah Labuan Bajo, Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf juga menggelar rapat dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Menteri Kebudaya-an dan Pariwisata Jero Wacik, Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Wino-to, serta Asisten Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Djidon Dehaan. Mereka sepakat membentuk tim guna menyelidiki masalah itu.

Kontras dengan hiruk-pikuk pernyataan para pe-jabat, suasana di Pulau Bidadari sen-diri amat tenang ketika Tempo mengunjunginya pekan lalu. Pulau yang bisa ditempuh dalam se-tengah jam dengan pera-hu motor dari Labuan Ba-jo ini dikelilingi pasir yang putih bersih. Pantai-nya dang-kal dan berair jer-nih. Ombaknya berdebur-debur, me-nyelusup di sela-sela ka-rang laut yang terlihat masih utuh. Sesekali terlihat lumba-lumba melompat ke udara, memamerkan kelincahannya.

Di pulau seluas 15,4 hektare itu hi-dup juga puluhan ekor bebek liar. Mereka bersarang di semak-semak bagian selatan. Di rerimbunan semak-semak, pohon perdu seperti lamtoro tumbuh subur. Di sana-sini juga terdapat pohon bidara, yang buahnya enak dimakan. Ada pula pohon meh, dahannya digelantungi sarang lebah. Menurut Ernest, lebah itu mampu menghasilkan madu setiap dua tahun sekali.

Saat Tempo menjelajahi pulau itu, belasan pekerja sedang menyelesaikan 10 bungalow yang sudah setengah jadi. Berdiri sekitar 200 meter dari bibir pantai, bungalow itu beratap ijuk dilapisi kayu. Ukurannya hampir sama dengan rumah tipe 36. Bungalow satu dengan lainnya berjarak sekitar 50 meter dan dikelilingi taman yang indah. Kelak, bangunan ini akan dilengkapi pendi-ngin udara, jaringan Internet, dan pelba-gai sarana hotel kelas bintang lima. Semua dikelola oleh Reefseekers, perusa-haan yang didirikan Ernest.

Ernest juga mengaku sedang merawat te-rumbu karang di Pulau Bidadari. Untuk keperluan itu, ia mendatangkan alat bernama biorock. Alat ini terdiri dari tiga kabel seukuran jari kelingking sepanjang 100 meter yang ditanam di bawah laut. Peranti inilah yang mungkin dicurigai sebagai alat komunikasi yang menghubungkan Ernest dengan negaranya.

Dengan alasan konservasi alam, Reefseekers melarang nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar Bidadari. Larangan itu tertulis pada kayu sebesar papan tulis: ”Dilarang masuk kawasan pribadi. Awas anjing berani.” Larangan inilah yang diprotes nelayan dari Labuan Bajo.

Sejak pertengahan tahun lalu Reefseekers juga ”menyewa” dua polisi anggota Kepolisian Resor Manggarai Barat untuk menjaga Pulau Bidadari. Komi-saris Butje Hello, Kepala Kepolisian Manggarai Barat, pun mengakuinya. Ia menjelaskan, dua anggotanya itu diminta secara resmi oleh Ernest untuk mengoptimalkan program konservasi. ”Mereka siang-malam berjaga di Pulau Bidadari, dan disediakan penginapan,” kata Butje.

Ernest mulai masuk ke Pulau Bidadari sejak 2003. Pria keturunan Polandia-Austria ini sebelumnya tinggal di Gili Air, yang berada di Kepulauan Lombok, sekitar 35 kilometer di sebelah barat Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Menggandeng mitra lokal, ia mendirikan PT Reefseekers Kathernest Lestari, per-usahaan wisata tirta. Perusahaan inilah yang mengelola Pulau Gili Air.

Meski sempat menerima penghargaan sebagai pengabdi lingkungan dari Gubernur Nusa Tenggara Barat Harun Al Rasyid pada 1999, Ernest tak bisa bertahan lama di sana. Pada awal 2000, kerusuhan melanda Kepulauan Lombok. Ia pun memutuskan hengkang.

Berbekal izin dari Kepala Badan Pena-naman Modal tertanggal 5 Juni 2000, Reefseekers mulai membuka kantor di Labuan Bajo. Ernest melihat Pulau Bidadari sebagai tempat usaha yang c-ocok. Ia pun mengajukan izin perluasan penanaman modal asing pada 30 Maret dan 5 April 2001.

Melalui surat yang ditandatangani Yus’an, Deputi Bidang Pelayanan dan Fasilitas Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, izin pun keluar. Bupati Manggarai, Antony Bagul Dagur, lalu memberikan izin untuk pembangunan resor perhotelan di Bidadari pada 12 Juni 2003.

Pada surat itu disebutkan, Reefseekers boleh membangun perhotelan di atas lahan seluas lima hektare di Pulau Bidadari. Perusahaan itu juga diminta melakukan konservasi pesisir se-luas 5,4 hektare dan penghijauan seluas tiga hektare. Dua hektare lainnya di Bidadari diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah Kabupaten Manggarai.

Setahun sebelumnya, Ernest telah meneken perjanjian pembebasan t-anah de-ngan Haji Yusuf Mahmud, si pemilik tanah. Haji Yusuf adalah tokoh suku Bajoe, Sulawesi Selatan. Orang tuanya dikenal sebagai punggawa Kerajaan Bone, dan ia punya pengaruh besar saat merantau di Labuan Bajo. Lahir pada 1932, Yusuf meninggal pertengahan Januari tahun ini.

Menurut I Gusti Putu Ekadana, pe-ng-acara Ernest, dalam perjanjian, tanah yang dibebaskan dihargai Rp 490 juta. Ia menyebutnya sebagai ”perjanjian ba-wah tangan” karena Pulau Bidadari adalah tanah negara. ”Ini semacam penghormatan saja untuk warga di Labuan Bajo,” tuturnya.

Namun, Uyung H. Yusuf, putra Haji Yusuf, membantahnya. Ia menyatakan, ayahnya tak pernah mengeluarkan surat pembebasan lahan Pulau Bidadari kepada Ernest. ”Bapak itu buta huruf, tak bisa baca-tulis,” katanya saat ditemui di rumah keluarganya, Kampung Tengah, Labuan Bajo.

Uyung menjelaskan, orang keturunan Kerajaan Bone memang banyak menguasai tanah di Labuan Bajo, termasuk pulau-pulau di kawasan Komodo. Namun, belakangan pemerintah melarang penguasaan dan kepemilikan pulau oleh warga. ”Bapak pernah berpesan agar tanah itu dilepas untuk negara, dan bukan untuk perorangan,” ujar Uyung.

Penjelasan telah diberikan oleh Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Nusa Tenggara Timur, Stanis Tefa. Menurut dia, Bidadari memang bukan milik Ernest. ”Ia hanya punya hak guna usaha,” katanya.

Pelaksana Harian Kepa-la Bidang Hak Tanah Ka-ntor Wilayah Pertanahan Nusa Teng-gara Timur, Johanes Veky Leba, pun mengaku memberi sertifikat hak tanah seluas 15,4 hektare untuk Ernest. Sertifikat itu hanya berlaku selama 35 tahun. ”Setelah itu dikembalikan ke negara,” tuturnya. Jadi, Pulau Bidadari yang diributkan sekarang sebenarnya tetap milik negara.

Budi Setyarso, Sujatmiko (Pulau Bidadari), Jems de Fortuna (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus