Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROF. Dr. Moh. Mahfud M.D., S.H., S.U. mengaku bak disambar geledek saat diberi tahu oleh Presiden Abdurrahman Wahid akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Ia semula mengira salah dengar dan menyangka posisi yang diberikan kepadanya adalah Menteri Pertanahan. Wajar jika publik pun umumnya bertanya-tanya tentang pilihan Gus Dur untuk jabatan pemimpin puncak urusan pertahanan negara ini.
Maklum, nama doktor hukum tata negara lulusan Universitas Gadjah Mada ini memang nyaris tak pernah bersinggungan dengan dunia militer. "Melihat darah ayam saja saya ngeri," katanya polos. Selama ini, waktunya lebih banyak dihabiskan di lingkungan kampus dan menulis berbagai buku hukum. Terakhir, ia menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Islam Indonesiaperguruan tinggi yang juga didirikan Wahid Hasyim, ayah Abdurrahman Wahid. Ia cuma sempat mengecap sedikit pengalaman politik ketika sebentar menjabat Ketua Departemen Hukum dan Keadilan Partai Amanat Nasionalsaat baru dibentuk. Setelah itu, ia memilih balik ke kampus.
Toh, lelaki kelahiran Sampang, Madura, 13 Mei 1957, ini kalem saja menghadapi segala kecaman atas pengangkatannya. Berikut ini petikan wawancara Endah W.S. dari TEMPO tentang setumpuk persoalan pelik militer yang kini mesti dihadapinya.
Apa sebenarnya alasan Presiden Abdurrahman Wahid memilih Anda? Ada misi khusus, barangkali?
Itu ada kaitannya dengan keahlian saya di bidang hukum tata negara. Dia (Gus Dur) bilang begini, "Pak Mahfud, saya ingin Anda mempelajari perangkat hukum militer dan pertahanan. Lalu, letakkan militer itu dalam ketatanegaraan kita secara tepat. Tidak bisa kita hanya berdebat secara politik tanpa ada solusinya. Anda di situ tepat." Sewaktu saya tanya apa ada misi khusus selain soal hukum itu, dia menjawab, "Enggak ada misi-misian."
Kemampuan Anda banyak diragukan, termasuk oleh bekas guru Anda, Amien Rais?
Iya. Pak Amien benar. Pernyataan itu 100 persen obyektif jika dilihat dari konsep pertahanan yang selama ini ada. Tapi misi khusus Gus Dur menenangkan saya. Semula saya berpikir untuk mundur. Bahkan, ada tiga menteri, maaf, tidak bisa saya sebut namanya, menelepon saya. Mereka bertanya apa saya mau istikamah dan maju terus dengan komposisi kabinet seperti ini. Saya jawab, ya terus, tinggal bismillah saja. Sebenarnya, saya sangat ragu-ragu. Dalam kondisi begitu, karib saya, Malik Madani, dosen IAIN, membacakan doa untuk saya. Tiba-tiba datang telepon dari Gus Dur. Dia bilang, "Pak Mahfud jangan ragu. Saya percaya Anda bisa. Saya tahu, dalam satu-dua minggu ini, Anda akan digencet dari sana-sini." Singkat saja. Tapi, sesudah itu, saya mantap untuk tidak mundur.
Lalu, bagaimana Anda mempersiapkan diri masuk ke dunia baru ini?
Semua orang saya dengarkan, termasuk Agus Wirahadikusumah dan Saurip Kadi. Agus bahkan sudah dua kali menelepon dari Amerika. Saya bilang, oke, saya mau mendengarkan. Terus terang, saya belum akan memosisikan diri. Pokoknya, saya netral sajalah.
Boleh tahu apa yang Anda bicarakan dengan Agus?
Dia menelepon ingin sekali bertemu dengan saya. Tapi, karena sedang berada di Amerika, dia meminta Saurip menemui saya untuk memberikan berbagai masukan tentang perspektif TNI di masa depan. Saya juga sudah empat kali bertemu dengan Juwono. Pada kesempatan pertama, dia meyakinkan saya bahwa saya bisa. Dia bilang, ini soal manajemen saja. Untuk soal-soal khusus, sudah ada staf ahlinya. Mau bernegosiasi dengan Pentagon, ASEAN, dan lain-lain itu sudah ada orangnya. Pokoknya tinggal pakai. Dia juga bilang, saya punya power untuk mengambil keputusan.
Dari sisi tata negara, apa yang akan Anda benahi?
Gus Dur itu minta saya menyusun perangkat perundang-undangan. Sudah ada kesepakatan antara saya dan pejabat eselon satu Departemen Pertahanan serta Panglima TNI. Ada sikap saling mengerti untuk memosisikan TNI di bawah Menhan. TNI sudah setuju panglima di bawah Menhan. Semula, itu akan segera diatur dalam undang-undang. Problemnya, sekarang MPR malah mengeluarkan Ketetapan Nomor VII/2000 yang tetap menyejajarkan Panglima TNI dengan Menhan.
Bagaimana pendirian Anda soal dwifungsi TNI?
Meski kenyataannya masih ada, resminya kan sudah tidak ada. Memang sudah jauh berkurang. Kita harus berani mencari kompensasi yang tepat, tempat yang pas, dan fasilitas yang memadai. Kalau begitu saja digusur, ya, pasti marah. Sipil saja kan marah kalau digusur. Gus Dur ingin agar militer tidak terus dihujat. Kalau mereka satu jam saja mogok, hancur negara ini.
Sebagai "pendatang", bagaimana Anda mengatasi pertentangan tajam di internal militer?
Saya akan mencari titik temunya. Yang saya tangkap secara lahiriah, kedua kelompok menginginkan reformasi dan reposisi tentara. Cuma, ada yang mau secara radikal, ada yang gradual. Dalam ketatanegaraan, saya mau tentara tidak lagi ada di MPR. Konstruksi yang kita bangun menuntut itu.
Anda berani menuntaskan penyelidikan korupsi di tubuh militer?
Iya dong. Masalah KKN itu justru lebih mudah. Kasusnya konkret. Lebih gampang ketimbang mereposisi TNI. Untuk kasus KKN, saya jamin Anda tidak akan kecewa. Saya kan tidak punya beban apa pun dan kaitan dengan masa lalu. Saya tidak kenal para pelakunya. Ya, sudah, saya terus pura-pura tidak kenal saja.
Sekarang sudah kerasan?
Pokoknya, mula-mula saya sangat tersiksa. Makan saja sampai diawasi. Di hari ketiga, saya sudah sangat lelah dengan aturan protokoler itu. Terus, saya menelepon ke rumah seorang teman. Saya minta makan di sana. Saya kepingin makan santai, pakai tangan. Eh, sesampai saya di sana, sudah ada banyak polisi. Tetap saja saya dikawal, ha-ha-ha . Ini benar-benar pengalaman baru. Bayangkan, sewaktu kecil, baris-berbaris pun saya enggak lulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo