BANDUNG. Tiba-tiba saja nama kota ini mencuat tinggi, kembali menjadi buah bibir. Peringatan ke-30 Konperensi Asia Afrika 24 April pekan ini mengangkatnya kembali, dan menyorongkannya ke tengah panggung perhatian dunia internasional. Dan seiring dengan itu, apa yang disebut Semangat Bandung pun bergema lagi. Gema, bukan teriakan, seperti 30 tahun silam. Hampir semua perutusan yang tiba untuk menghadiri peringatan, menyebut lagi istilah yang dulu terasa bagai mantra itu. Menteri luar negeri Kongo, Ndinga-Oba begitu tiba di ruangan VIP bandar udara Cengkareng Minggu sore lalu, langsung menegaskan kepada pers, "Semangat Bandung tetap melekat di hati kami." M. Yazid, pimpinan delegasi Aljazair, yang pada 1950-an pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun sebagai pelarian politik, tatkala negaranya masih dijajah Prancis, juga menyatakan, "Dengan Semangat Bandung itulah perjuangan kemerdekaan Aljazair bisa dicapai." Bahkan menlu RRC Wu Xueqian juga tak lupa menyebutnya. Pemerintahnya, kata Wu, tidak mau mencampuri urusan dalam negeri negara lain. "Ini juga Semangat Bandung," ujarnya. Harus diakui, setelah 30 tahun istilah Semangat Bandung memang tak banyak lagi bergema di dunia internasional, kecuali mungkin di Indonesia. Kelompok Asia Afrika, yang kemudian tumbuh menjadi gerakan nonblok, kini terasa makin pudar dan terpencar. Lalu mengapa Konperensi Asia Afrika (KAA) perlu diperingati secara besar-besaran seperti sekarang ini? Dengan biaya yang konon mendekati Rp 1,5 milyar. Sekadar nostalgia, memutar film lama, ataukah untuk tujuan tertentu? Seorang pejabat tinggi menjelaskan, "Secara konsepsional, Semangat dan Dasasila Bandung bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah dunia. Kita masih memerlukan solidaritas Asia Afrika. Kalaubergerak sendiri, kita tidak akan mempunyai peluang. Karena itu, kita galang lagi solidaritas, tanpa perlu melakukan konfrontasi." Diakuinya, peringatan ini merupakan usaha membangkitkan lagi peranan Indonesia, dalam solidaritas Asia Afrika. Peringatan ke-30 KAA memang paling besar, dibanding yang sebelumnya pernah diadakan. Paling tidak 23 menlu, 3 deputi menlu, serta 15 menteri lainnya hadir dalam acara ini. Padahal, sebelumnya peringatan yang pernah dladakan cuma bersifat nasional. Yang diundang pun paling-paling para duta besar negara peserta KAA. Lima tahun silam, peringatan ke-25 KAA memang dirayakan secara "internasional". Namun, itu pun karena bersamaan waktunya dengan konperensi Badan Konsultatif Hukum Asia Afrika di Jakarta. Dilihat dari jumlah undangan yang hadir, peringatan ini cukup berhasil. Hingga Senin malam pekan ini, 80 negara telah mengirimkan utusannya. Selain itu, hadir juga delegasi dari tiga organisasi, tiga negara peninjau, dua utusan PBB, dan seorang undangan khusus: bekas menlu Filipina Carlos P. Romulo, yang pada KAA 1955 memimpin delegasi negaranya. Untuk menyambut ratusan tamu itu Bandung pun bersolek. Bendera, umbul-umbul, poster, dan berbagai hiasan membedaki wajah Bandung. Jalan-jalan tertentu dilulur dengan aspal hotmix yang mulus, dan menjelang peringatan, tiap pagi disemprot dengan air. Lampu-lampu model antik menghiasi jalan-jalan protokol. Shelter bis diganti bentuk joglo. Gedung Merdeka, yang 30 tahun lalu menjadi tempat KAA, dipoles rapi. Gedung antik berusia 80 tahun, yang pada zaman Belanda dulu bernama Sociteit Concordia, dan luasnya sekitar satu hektar itu sudah didandani. Cat krem lembut, dihiasi lampu-lampu yang disesuaikan dengan hiasan 30 tahun silam, karpet dan gorden. beledu merah, dan rumbairumbai merah putih di serambi. Daya listrik yan- semula 45 ribu watt ditingkatkan menjadi 160 ribu watt. Sistem blower (ruangan utama gedung ini tanpa AC) disempurnakan. "Peringatan KAA tahun ini diharapkan mempunyai sifat yang khidmat, murah, dan meriah," kata wakil gubernur Ja-Bar Suhud Warnaen, yang menjadi ketua Pelaksana Harian Peringatan ke-30 KAA. Untuk keperluan itu pemda Ja-Bar menyubsldl beberapa instansinya sebesar Rp 220 juta yang diambil dari APBD, sedangkan dana dari Deplu sebesar Rp 230 juta. Para delegasi, hampir semuanya berangkat dari Jakarta ke Bandung naik kereta api khusus. Mereka disambut taburan bunga melati, diiringi rampak sekar (paduan suara) dengan degung dalam laras pelog. Meniru Konperensi AA 1955, para delegasi pada 24 April pagi menuju Gedung Merdeka dengan berjalan kaki dari Hotel Homann. Sekitar 5.000 pelajar mengiringi mereka dengan nyanyian, antara lain BangsaBangsa Asia Afrika ciptaan N. Simanungkalit. Apakah semua hiasan, semboyan, dan nyanyian itu akan bisa menghidupkan kembali solidaritas Asia Afrika dan Semangat Bandung? Apakah gema tepuk tangan di Gedung Merdeka pekan ini bisa menggunncang jagat, seperti keplok para pe- mimpin Asia Afrika di ruang yang sama tiga dasawarsa yang lalu? Misalnya tepuk tangan panjang, tatkala Almarhum Presiden Sukarno pada pidato pembukaannya mengatakan, "Kolonialisme belum mati. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Di mana, bilamana, dan bagalmanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi." Menurut Roeslan Abdulgani, yang pada KAA itu menjabat sekjen, bagian pidato Bung Karno itulah yang kemudian melahirkan rumusan dalam Komunike Terakhir KAA "Kolonialisme dalam bentuk yang bagaimanapun adalah kejahatan yang harus segera diakhiri". Kolonialisme, pada tahun 1955, memang masih merupakan momok yang menjadi musuh utama. Sebagian yang hadir pada KAA 1955 merupakan wakil bangsa-bangsa yang belum merdeka. Aljazair masih dijajah Prancis. Malaysia dan Singapura masih koloni Inggris. Konperensi AA, yang dihadiri 29 negara Asia Afrika, waktu itu mewakili hampir 1,5 milyar manusia, yang merupakan 56% penduduk dunia. Ia merupakan pertemuan pertama bangsa-bangsa kulit berwarna. Bisa dimengerti bila keberhasilannya mengguncangkan dunia internasional. Solidaritas AA ternyata kemudian berhasil mendorong diterimanya 20 negara, dalam PBB, yang sebelumnya, akibat perang dingin Amerika-Rusia, selalu ditolak. Misalnya Sri Lanka, Kamboja, Laos, Jepang, dan Llbya. Akibatnya, dominasi negara adidaya AS dan Uni Soviet di PBB terpatahkan. Menurut Carlos Romulo, 86, bagi negara-negara yang ikut serta, Konperensi Asia Afrika "merupakan kebanggaan sejarah". "Saya gembira bisa hadir dalam peringatan ini," kata negarawan tua Filipina itu setibanya di Cengkareng Minggu malam lalu, di antara air mata. Apakah KAA memang tinggal menjadi kebanggaan sejarah? "Tidak," kata Roeslan Abdulgani tandas. Roeslan, 70, menganggap Semangat Bandung ataupun Dasasila Bandung masih relevan dan valid. "Dalam arti, semangat dan prinsip-prinsipnya masih berlaku dan dapat dijadikan pedoman untuk mendekati dan menyelesaikan masalah-masalah internasional dewasa ini," katanya dalarn diskusi panel memperingati KAA I Senin pagi pekan ini. Bagi Roeslan, KAA memang peristiwa yang sangat bersejarah, juga buat dirinya. Pada 1955, Roeslan, yang waktu itu berusia 40 tahun dan menjabat sekjen Deplu, memegang Jabatan penting sebagal sekjen konperensi. Banyak kenangannya, yang sebagian ditulisnya dalam bukunya The Bandung Connection. Salah satu di antaranya: kisah bendera Sudan. Sekretariat Bersama negara sponsor KAA, ternyata, sulit memperoleh bendera Sudan meski berkali-kali dikirim telegram. Sudan, waktu itu belum lama merdeka, tapi pengaruh Inggris masih kuat, dan belum punya bendera sendiri. Dalam rapat sekretariat, Pakistan mengusulkan agar dipasang saja bendera putih dengan tulisan Sudan berwarna hijau. Indonesia kemudian mengusulkan agar tulisan Sudan itu berwarna merah saja, sedangkan bendera tetap putih. Usul ini ternyata diterima. Keputusan kemudian dikawatkan ke Sudan. Tatkala dilapori, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo marah kepada Roeslan, karena Sudan bisa gusar akibat hal itu. "Bendera itu 'kan kehormatan suatu bangsa dan negara," kata Roeslan menirukan Ali. Tatkala PM Sudan Ismail Asyahari datang ke Indonesia dan disambut dengan bendera "ciptaan" sekretariat KAA, "Ternyata PM Ismail menghormat juga," cerita Roeslan pekan lalu sambil terkekeh-kekeh. Bukan cuma Roeslan yang punya kenangan indah tentang KAA. Pada 1955, untuk mengamankan KAA, Inspektur Polisi Sjahru'ddin yang menjadi kepala polisi wilayah Teblngtlnggi, Sum-Ut, dikirim ke Bandung. Sjahru'ddin, yang waktu itu berusia 35 tahun dan menguasai bahasa Inggris dan sedikit Prancis itu, bertugas mendampingi Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja sebagai ajudan. Sekali, setelah makan malam, Sihanouk mengatakan ingin menonton film. Dipilihlah bioskop Nusantara (kini sudah tak ada lagi), di dekat alun-alun Bandung. Ternyata, film sudah diputar dan kursi penuh. Tapi Sihanouk tetap ingin menonton. "Terpaksa dipasang bangku kayu panjang biasa untuk tempat duduk pangeran itu. Saya yang berpakaian dmas ikut duduk bersamanya." Sjahru'ddin, kini 65, menyenangi pangeran itu karena merakyat dan tidak suka hal-hal protokoler. "Ia bahkan tidak marah ketika tersesat sampai ke luar Kota Bandung gara-gara voorrjder, yang baru tiga mmggu dBandung, tak mengenal jalanan." Konperensi Asia Afrika, meski suksesnya kini diakui, waktu itu tak luput dari kecaman. Sistem demokrasi yang ada di Indonesia waktu itu memang memungkinkan kritik dan oposisi terbuka. Bahkan juga sindiran dari masyarakat. Akibat ditutupnya lalu lintas seputar Jalan Asia Afrika, banyak abang becak yang karena dilarang lewat menyindir AA menjadi Apa-Apaan. Lalu, karena harus membayar lebih, sebab becak harus mengambil jalan lebih jauh, para penumpang mengolok-olok AA menjadi Abis-Abisan. Sebagian pers waktu itu juga menuding adanya Hospitality Committee, yang konon menyediakan wanita untuk "menemani" delegasi asing. Ada koran yang malah memuat foto barisan wanita pendamping ini. Konon, kartu tawaran bagi pelayanan HC ini diletakkan di piring makan para anggota delegasl .... Semua ini telah 30 tahun lewat. Seperti 30 tahun yang lalu juga, dalam radius 2 km lalu lintas sekeliling Gedung Merdeka juga tertutup bagi umum. Orkes angklung kini juga menghibur para tamu, seperti tiga dasawarsa lalu. Banyak hal yang sama, tapi lebih banyak lagi yang berubah. Tidak ada lagi Nehru. Zhou Enlai, Bung Karno, Ali Sastroamidjojo, Nasser, Mohammad Ali, U Nu, atau John Kottelawala. (Lihat: Yang Pergi, yang Masih Ada). Hubungan internasional telah berubah banyak - bahkan antara negara Asia Afrika sendiri sering lebih banyak pertikaian ketimbang persahabatan. Indonesia, misalnya berhati-hati menghadapi RRC. Maka, di Bandung pekan ini, akan dilihat apakah kenangan lama bisa memecahkan soal-soal baru. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri, Erlina (Jakarta), dan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini