Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Banyak ganjalan menuju beijing

Kehadiran menlu RRC Wu Xueqian pada peringatan ke-30 KAA menyemarakan suasana. Normalisasi hubungan Cina-Indonesia menjadi spekulasi menarik. (nas)

27 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 18.17 tamu yang ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul di ruang VIP bandar udara Cengkareng. Sekitar 40 wartawan dalam dan luar negeri segera menyerbu dan mengerubuti menlu RRC Wu Xueqian. Wu, yang kelihatan capek, dengan setelan jas biru muda, terhenyak di sofa diapit Dirjen Politik Deplu Nana Sutresna dan seorang anggota delegasinya. Seorang anggota delegasi RRC datang membawa setumpuk kertas. "Ini pernyataan Menteri," ujar penerjemah dalam bahasa Inggris. Tapi para wartawan tak peduli. Sebagian langsung bertanya pada Wu. Akhirnya diputuskan Wu membacakan dulu pernyataannya. Kedatangan menlu RRC Wu Xueqian Senin petang pekan ini memang yang paling dinantikan pers. Untuk pertama kalinya seorang menlu RRC mengunjungi Jakarta setelah hubungan diplomatik RI-RRC dibekukan pada 1967. Karena itu, bisa dimengerti bila Wu, oleh sebagian wartawan, dianggap sebagai bintang peringatan ke-30 Konperensi Asia Afrika (KAA) saat ini, seperti juga Menlu Zhou Enlai pada KAA tiga dasawarsa silam. Anggapan ini mungkin juga karena tidak adanya tokoh besar lain yang datang dalam peringatan KAA kali ini, misalnya Rajiv Gandhi, ketua barisan Non Blok, yang menggantikan peran mendiang bunya. Kedatangan Wu, dan masalah hubungan Indonesia-RRC, memang agak "memudarkan" peringatan KAA. Berbagai spekulasi pun timbul, semuanya berputar di sekitar kemungkinan pencairan kembali hubungan diplomatik kedua negara. Akan segera dimulainya hubungan resmi dagang langsung RI-RRC tambah menyulut obor spekulasi tersebut. Dan diplomasi Menlu Wu tampaknya cukup ulung, dengan pernyataannya yang rapi, pintar berkelit, dan "penuh pengertian". Misalnya, tatkala Wu dalam bahasa Cina yang diterjemahkan daiam bahasa Inggris, mengatakan, "Saya datang kemari untuk memperingati ulang tahun ke-30 Konperensi Asia Afrika. Jika saya mendapat kesempatan untuk bertemu Presiden Soeharto, saya akan merasa terhormat sekali dan merasa bahagia." Apa yang akan dibicarakannya? "Saya akan bergembira sekali untuk bertukar pandangan mengenai kepentingan bersama," jawab Wu. Selama bertahun-tahun normalisasi hubungan diplomatik RI-RRC selalu menjadi spekulasi menarik dalam pemberitaan pers. Delapan tahun lalu, pada akhir 1977, tatkala delegasi Kadin Pusat mengunjungi RRC, muncul isu bahwa sikap pemerintah Indonesia mulai melunak. Enam bulan kemudian, tatkala ketua Kadin Indonesia Suwoto Sukendar dengan delegasi 17 berkunjung ke Beijing, isu itu pun makin kuat. Suwoto malah telah berunding mengenai kemungkinan hubungan dagang langsung dengan wakil perdana menteri RRC serta menteri urusan perdagangan luar negeri. Ternyata, persetujuan lisan itu terpotong karena kemudian pemerintah memutuskan untuk tidak membuka hubungan dagang langsung itu. Alasan pembatalan itu tidak jelas. Ada yang mengatakan karena lobby Taiwan yang kuat di Jakarta, tapi ada juga yang mengatakan bahwa itu karena keberatan beberapa pihak, termasuk kalangan Islam dan ABRI, yang tetap curiga pada RRC. Bahwa di Indonesia ada perbedaan pandangan mengenai perlu segera tidaknya pencairan hubungan diplomatik dengan RRC memang bukan rahasia. Almarhum Adam Malik, misalnya, termasuk salah seorang penganjur pembukaan kembali hubungan diplomatik itu. "Sayalah yang akan terbang ke Beijing kalau hubungan normal kembali," kata Adam Malik semasih menjadi menlu RI. Enam bulan sebelum meninggal, misalnya, Adam Malik kembali menganjurkan pencairan hubungan itu. Ia beranggapan, dengan bekunya hubungan, kepentingan nasional kita dirugikan. "Kita memerlukan hubungan dengan RRC bukan untuk dagang atau politik. Kalau hubungan normal, banyak hal bisa diselesaikan. Misalnya soal Kamboja, atau soal Timor Timur di PBB," kata Adam Malik waktu itu. Jawaban pemerintah, yang diwakili Menlu Mochtar, waktu itu seperti yang berkali-kali diucapkannya, "Selama RRC belum mencabut dukungannya pada partai-partai komunis di Asia Tenggara, termasuk PKI, sulit bagi Indonesia untuk menormalisasikan hubungan. Banyak yang menganggap jawaban itu agak klise. Yang menjadi soal: Seandainya pemerintah RRC kemudian memberikan jaminan itu, benarkah Indonesia bersedia membuka kembali pintu diplomatik yang hampir 18 tahun ditutup itu? Jaminan tegas seperti yang diminta Indonesia memang belum pernah dijawab RRC, sekalipun pernyataan yang senada sering diberitakan. Yang terakhir kali, sekjen PKC Hu Yaobang, tatkala berada di Canberra pekan lalu menyatakan: tidak ada hubungan antara PKC dan PKI. "Tidak ada jalan untuk Partai Komunis Cina mengadakan hubungan itu, walaupun ada keinginan dari kami untuk itu," katanya. Sedang Menlu Wu, setibanya di Cengkareng, awal pekan ini juga menegaskan, "Cina melakukan hubungan dengan semua negara berdasarkan asas koeksistensi damai. Kami tidak akan mencampuri urusan dalam ncgeri negara lain." Pernyataan seperti itu sebetulnya lebih "maju". Sebab, sampai 1978 orang kuat Cina Deng Xiao-ping masih menegaskan, RRC akan tetap menyokong setiap perjuangan gerakan komunis di Asia Tenggara. Tiap tahun, PKC juga mengirim telegram ucapan selamat pada ulang tahun PKI. Sejumlah bekas pimpinan dan aktivis PKI, yang kebetulan ada di RRC sewaktu G-30-S/PKI meletus, juga diizinkan tinggal, meski dalam beberapa tahun terakhir scbagian mereka diperbolehkan pindah ke Eropa Barat. Pemerintah Indonesia sebenarnya masih mempunyai stok alasan: masalah sekitar 820 ribu warga negara RRC serta 80 ribu stateless, yang perlu didaftar dan diatur. Hingga kini soal ini belum selesai tuntas, hingga jika masalah ini tetap dijadikan dalih, pencairan hubungan itu akan tetap terkatung-katung. Semua itu memang mengisyaratkan bahwa pemerintah RI hingga kini belum bermaksud mencairkan hubungan yang lama beku itu. Tidak adanya bukti subversi dari RRC selama ini rupanya belum cukup bisa menggoyahkan kecurigaan terhadap raksasa di utara dengan penduduk lebih dari satu milyar itu. "Kita tidak perlu terburu-buru," Menlu Mochtar menegaskan. (Lihat: "Tak Perlu Terburu-Buru"). Itu tidak berarti tidak ada kemajuan. Sejak 1982 para atlet Cina boleh mengikuti pertandingan internasional di Jakarta, asal mendapat izin masuk dari Deplu dan Bakin. Delegasi pertama yang masuk tahun itu adalah atlet tenis meja yang mengikuti kejuaraan Tenis Meja Asia VI. Tahun-tahun berikutnya, para pemain bulu tangkis RRC, juga atlet menembak serta angkat besi, muncul di Jakarta. Sebaliknya, pada April 1985 ini, sejumlah atlet angkat besi Indonesia mengikuti kejuaraan angkat besi Asia ke-17 di Hangzhou. Syarat Bakin buat kedatangan atlet Cina: Mereka tidak boleh mengibarkan bendera serta memperdengarkan lagu nasional RRC. Bila di bidang politik masih banyak ganjalan, lain soalnya di bidang perdagangan. Selama bertahun-tahun, barang-barang produksi RRC membanjiri Indonesia lewat negara ketiga. Dalam jumlah lebih kecil, barang-barang Indonesla Juga masuk ke RRC, lewat negara ketiga pula. Produksi kayu lapis (plywood) Indonesia, juga sudah diekspor ke RRC. Pembaruan yang dilakukan Deng Xiaoping, serta terpukulnya pasaran minyak bumi Indonesia, membuat RRC menjadi incaran menarik buat ekspor nonmigas Indonesia. "Di pelupuk mata kita ada satu milyar orang. Dan itu orang lapar semua," kata ketua umum Kadin Indonesia Sukamdani Gitosardjono. Berbeda dengan 1977, kini tampaknya pemerintah mendorong perdagangan langsung dengan RRC, meski tak ingin melihat Kadin terlalu terburu-buru melakukannya. Dagang langsung yang dikehendaki pemerintah harus melewati beberapa tahapan. Tahap pertama: penjajakan. "Karena antara RI dan RRC tidak ada hubungan diplomatik, Kadin-lah yang melakukan penjajakan," kata Sukamdani. Usaha itu dimulai akhir 1984, dan pada 29 Januari lalu, di Hotel Mandarin Singapura, diadakan pertemuan tidak resmi Kadin dengan menlu RRC Wu Xueqian. Pembicaraan berikutnya membuahkan kesepakatan untuk menandatangani suatu memorandum of understanding sebelum hubungan dagang langsung bisa dimulai. Kortsluiting sempat terjadi di sini. Sukamdani ingin segera mengunjungi Beijing April ini guna menandatangani memorandum tersebut. Tapi rupanya pemerintah berkeberatan karena waktunya dianggap terlalu dekat dengan peringatan Konperensi Asia Afrika. Sebuah sumber TEMPO juga mengatakan, penandatanganan memorandum itu harus dilakukan di negara ketiga. "Bila setelah itu masing-masing negara mengirimkan delegasi, itu terserah," kata seorang pejabat. Sumber yang sama menjelaskan, perwakilan dagang negara masmg-masing kemudian bisa dibuka, bila hal itu dipandang perlu. Angka perdagangan RI-RRC selama ini masih menguntungkan RRC. Menurut Biro Pusat Statistik, impor kita dari RRC pada 1984 bernilai US$ 224 juta, sedang ekspor kita cuma .... Produksi RI yang diperlukan RRC antara lain karet, besi beton, pupuk, semen, kelapa sawit, dan kayu lapis. Sukamdani menganggap hubungan dagang langsung dengan RRC merupakan kegiatan yang terpisah dari kegiatan politik. "Politik itu urusan pemerintah, sedangkan dagang untuk cari duit," katanya. S.P. Laporan A. Luqman, Rudy Novrianto, dan Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus