Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bulan kalangan di atas rspad

Wawancara tempo dengan rachmawati soekarnoputri dan prof. dr. mahar mardjono mengenai saat-saat sakit bung karno di wisma yaso (sekarang museum abri mandala) 21 tahun lalu.

29 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang dilakukan Bung Karno di hari-hari pengucilannya selama sekitar empat tahun- dilewatinya di Istana Batu Tulis, Bogor, dan di Wisma Yaso, Jakarta- setelah pemberontakan G30S-PKI yang tak dikutuknya gagal? Tak banyak yang terungkap hingga sekarang- terutama saat-saat sakitnya di Wisma Yaso (sekarang Museum ABRI Satria Mandala), 21 tahun lampau. Pekan lalu, wartawan TEMPO Priyono B. Sumbogo mencoba mencari jawaban teka-teki itu lewat Rachmawati Soekarnoputri dan Prof.Dr. Mahar Mardjono. Rachma diwawancarai Priyono di rumahnya, di Jalan Fatmawati 5, Jakarta Selatan. Sedangkan Mahar, ketua tim dokter yang merawat Bung Karno- minggu lalu mengunjungi keluarga di Belanda dikontak Priyono lewat telepon. Berikut petikannya: Rachma, 41 tahun, ibu dua anak, pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno. Awal 1968, Bapak tak lagi di Istana Bogor. Bapak dipindahkan ke Puri Bima Sakti yang terletak di kompleks Istana Batu Tulis. Hampir tiap hari saya dan Bu Hartini pulang-pergi Jakarta-Bogor menengoknya. Soalnya, hanya anak-anak dan istri yang diizinkan menjenguk. Di Batu Tulis, penyakit ginjal Bapak makin kronis. Beberapa bagian tubuhnya membengkak, jalannya mulai sempoyongan. Bapak, sebagaimana yang saya lihat, hanya dirawat Kapten Soerojo. Ia setahu saya bukan dokter ahli. Akhir tahun, Bapak minta saya menyampaikan surat kepada Pak Harto. "Bapak ingin pindah ke Jakarta. Hawa di sini tidak cocok buat Bapak," katanya. Saya ke Cendana menemui Pak Harto untuk menyampaikan pesan Bapak. "Saya usahakan agar bapakmu segera dipindahkan ke Jakarta," jawab Pak Harto. Awal Januari 1969, Bapak dipindahkan ke Wisma Yaso, tempat tinggal Ibu Ratna Sari Dewi. Bapak ditempatkan di living room, yang menyatu dengan ruang makan dan kamar tidur. Perabotan lengkap. Tapi kami harus menyediakan makanan untuk Bapak. Di Wisma Yaso, seperti juga di Batu Tulis, tidak ada perpustakaan, televisi, radio, apalagi telepon. Koran dan majalah pun disortir. Saya menjenguk Bapak tiga kali seminggu. Pada periode tertentu, Bapak tidak boleh ditengok. Sehari-hari Bapak hanya tidur atau duduk-duduk di living room sambil membaca majalah atau koran. Bapak tidak lagi menulis. Bapak juga tidak boleh jalan-jalan, di halaman sekalipun. Maret 1969, penyakit Bapak makin parah. Bapak acap kali harus dipapah. Salat dilakukannya sambil tiduran di sofa atau di tempat tidur. Tubuhnya makin gemuk karena pembengkakan. Pada 6 Juni 1970, Bapak tidak bisa bangun. Kondisinya kritis. Bapak sebentar-sebentar menanyakan waktu. Pada 11 Juni sore, saya menerima kabar bahwa Bapak dirawat di RSPAD. "Ginjalnya tak berfungsi dan meracuni darah. Satu-satunya jalan harus cuci darah," kata Pak Mahar. Namun, Pak Mahar kelihatan hopeless karena alatnya nggak ada. "Harus dipesan ke London," tambahnya. Saya terpukul sekali. Sejak itu, Bapak tidak mampu lagi berkomunikasi. Kami menjenguknya tiap hari. Selain keluarga, seingat saya, hanya Bung Hatta yang pernah datang. Bu Dewi dan Karina baru tiba di Jakarta, 20 Juni. Semalam sebelum Bapak meninggal, kira-kira pukul 10, saya lihat awan melingkari bulan (orang Jawa bilang bulan kalangan, pertanda akan terjadi peristiwa luar biasa yang berkaitan dengan bencana atau kematian- Red.). Waktu itu, saya duduk di mobil, di halaman RSPAD. Perasaan saya tak enak. Sekitar pukul 5 pagi, 21 Juni, saya ditelepon dari RSPAD. Kami diminta secepatnya ke rumah sakit. Bapak koma. Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh, dan saya mengelilingi tempat tidur. Bapak mengenakan celana pendek putih. Badannya ditutupi selimut abu-abu. Napasnya tinggal satu-satu. Saya dan Mega membisikkan syahadat. Sekitar pukul 7, Bapak mengembuskan napas terakhir. Bu Hartini datang seperempat jam kemudian. Bu Dewi dan Karina juga terlambat. Tidak ada pesan khusus yang sempat kami terima. Mahar, 67 tahun, neurolog, dan pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Saya jadi ketua tim dokter yang merawat Bung Karno sejak 1968. Anggota timnya: Rubiono Kertopati (wakil ketua), Sukaman (kardiolog), Djaka Sutadiwiria (Sekjen Depkes), Oei Bing Tay (radiolog), Soerojo (dokter pribadi Bung Karno), dan Prof. Utama (urolog). Peralatan medis di Wisma Yaso cukup lengkap. Ada alat ronsen, peralatan rawat gigi, alat periksa darah, dan peralatan medis lainnya. Kami bertugas 24 jam, meski tidak selalu di situ. Tapi ada perawat yang selalu siap di sana. Kami melakukan pemeriksaan rutin terhadap Bung Karno tiap minggu- kadangkadang kami bawa ke RSPAD, kadang-kadang ke Rumah Sakit St. Carolus. Hasilnya, baik. Ginjal Bung Karno tidak mengalami pembengkakan. Tapi, karena terlalu banyak duduk dan kurang olahraga, Bung Karno jadi gemuk. Sehabis pemeriksaan, biasanya kami ngobrol-ngobrol dengan Bung Karno, tapi bukan masalah politik. Kadang-kadang kami non- ton film (di Wisma Yaso disediakan proyektor) kadang-kadang jalan-jalan di halaman Wisma Yaso. Adakalanya Bung Karno jalan-jalan sendiri, tapi tak boleh keluar halaman. Seperti saya tulis di buku 90 Tahun Bung Karno dalam kenangan, suatu malam, kira-kira pukul 12, Dokter Hasan, yang kebetulan piket, menyuruh saya ke Wisma Yaso. Bung Karno, katanya, sakit kepala dan muntah-muntah. Itu karena kekurangan darah. Cuma sekali itu saya dipanggil mendadak. Pada 6 Juni kesehatan Bung Karno menurun, dan 11 Juni kami bawa ke RSPAD. Berbagai usaha telah kami lakukan, namun akhirnya kami harus menyerah. Mengenai penyakitnya, saya tidak bisa memberi penjelasan, karena menyangkut etika kedokteran. Tulis saja seperti yang sudah diketahui umum bahwa Bung Karno sakit ginjal dan darah tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus