Sebanyak 77 orang anggota GPK dibebaskan dari tahanan. Mereka mengaku kapok dan berikrar setia pada Pancasila dan UUD 45. SAAT umat Islam melaksanakan ibadah haji akbar di Mekah, Jumat pekan lalu, 60 warga Aceh dan 17 penduduk Sumatera Utara, di halaman Markas Kodam Bukit Barisan, Medan, juga mengenakan baju putih (warna pakaian ihram) dengan berbagai potongan- ada model kemeja biasa dan ada pula model teluk belanga. Separuh di antara mereka mengombinasikan baju putih itu dengan sarung, dan sisanya dengan celana biasa. Berkumpul di bawah tenda, ke-77 orang itu- semua memakai peci dan semua bersandal jepit- mengamini doa-doa yang dibacakan salah seorang di antara mereka. Prosesi apa pula ini? Ini bukan prosesi agama, sekalipun suasananya terasa agamis. Prosesi tersebut adalah prosesi politis. Pagi itu, ke-77 orang yang dinyatakan terlibat Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh tersebut diserahkan Pangdam Mayjen. H.R. Pramono kepada Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, untuk selanjutnya dibebaskan pulang ke rumah masing-masing. Hari pembebasan anggota GPK Aceh itu dipilih Jumat, menurut Pramono, karena Jumat merupakan hari turunnya perintah salat. Hari baik, ujarnya lebih lanjut, untuk membersihkan diri dari segala pikiran yang keliru. Seusai pidato penyerahan, Pramono, Gubernur Ibrahim Hasan, dan undangan, lalu menyalami mereka yang ditahan hampir setahun tersebut. Suasana jadi haru-biru tatkala Pangdam menyerahkan bingkisan berisi sarung, rokok, dan uang ala kadarnya untuk merayakan Idul Adha yang jatuh Minggu, kepada bekas tahanan tersebut. Apakah ke-77 tahanan itu dibebaskan karena petugas keamanan salah tangkap? Ternyata bukan. Mereka dibebaskan lantaran keterlibatan mereka dengan GPK tipis. "Mereka terpaksa ikut karena diancam pihak GPK," kata Panglima Pramono kepada TEMPO. Ia menambahkan, mereka itu masih bisa dibina menjadi warga negara yang baik. Keinginan untuk setia kepada Republik Indonesia memang mereka ikrarkan pagi itu- dipimpin Usmani Ibrahim, 45 tahun, penduduk Lhokseumawe yang ditahan sejak 5 Juni 1990. Adalah ikrar kesetiaan itu pula yang membuat Gubernur Ibrahim Hasan ter- haru. Dengan suara sendu ia mengimbau para bekas tahanan tersebut agar mau belajar dari sejarah. Pada awal kemerdekaan, kata Ibrahim, seluruh ulama Aceh bertekad untuk bergabung dengan Republik Indonesia, sekalipun Tengku Mansur dari Negara Sumatera Timur mengajak mereka untuk memisahkan diri. Maka, Gubernur Ibrahim juga minta agar mereka tidak mudah terpancing oleh bujuk rayu dan pelbagai isu busuk yang dilontarkan GPK, karena hal itu hanya akan memperbanyak kuburan dan janda di Aceh. "Mohon jumlah kuburan dan janda itu jangan lagi diperbanyak," katanya. Semua bekas tahanan itu memang mengaku kapok atas keterlibatan dengan GPK, dan merasa syukur kini dibebaskan. Begitu kapoknya mereka bahkan untuk membeberkan cerita keterlibatan mereka dengan GPK saja menolak. "Saya sudah mengubur kisah itu," kata Usmani, ayah dari enam anak. Ia cuma mau bercerita bahwa separuh di antara mereka terjangkit penyakit gatal-gatal. Bintik-bintik kecil penyebab gatal itu antara lain tampak di lengan, kaki, leher, dan tengkuk Asmadi, 25 tahun, asal Sibolga. Penyebabnya? Diduga faktor keber- sihan selama di tahanan. Tapi, menurut Kapendam Bukit Barisan, Letkol. Achmad Sudjai, penyakit itu bawaan bekas tahanan tersebut. "Ketika ditangkap dulu, mereka sudah begitu," katanya. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini