Aksi mogok muncul pada dua perusahaan di kawasan Cibinong. Upah minimum buruh ternyata masih di bawah kebutuhan fisik minimum. BURUH Indonesia kini makin berani unjuk otot. Mereka tak lagi sekadar unjuk protes, tapi sudah berani mogok. Aksi berhenti kerja itu dilakukan oleh sekitar 2.000 dari 8.000 karyawan perusahaan pakaian jadi PT Great River Industries (GRI), Cibinong, Bogor, Selasa dan Rabu pekan lalu. Aksi mogok 2.000 pekerja itu kemudian seakan mengilhami buruh pabrik panci PT Bergar Sakti (BS), Cimanggis, yang berlokasi tak jauh dari GRI. Senin kemarin, sekitar 200 buruh perusahaan BS datang ke lokasi pabrik cuma untuk duduk-duduk di bawah pohon bambu. "Habis, tuntutan kami tak digubris pimpinan," kata Muhammad Nur, lulusan STM yang sudah dua tahun jadi operator mesin di pabrik BS. Apa sesungguhnya yang mereka inginkan? Apa lagi kalau bukan perbaikan upah. Lihat saja apa yang diterima Ika, buruh pabrik BS. Ia cuma mengantungi upah Rp 1.650 per hari- Rp 1.250 upah pokok harian dan sisanya merupakan premi tetap. "Jumlah itu tak memenuhi kebutuhan fisik minimum," kata Muhammad, yang mendapat upah sekitar Rp 2.400 per hari. Keberanian karyawan GRI dan BS melakukan mogok itu ternyata mendapat sambutan Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Imam Soedarwo. "Mogok itu kan hak pekerja. Saya senang juga, karena mereka makin memahami hak dan kewajiban mereka," katanya. Ia menambahkan, aksi mogok itu menunjukkan masih ada pengusaha yang belum melaksanakan ketentuan upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Ketentuan upah minimum baru yang ditetapkan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, dan berlaku sejak 1 Juli nanti, sebesar Rp 2.100 per hari- naik Rp 500 dari ketentuan lama yang berlaku di kawasan Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi). Toh kenaikan itu tetap tak membuat Cici Sutarsih, karyawati GRI, yang sejak Mei lalu mendapat bayaran Rp 2.110 per hari, puas dengan upah tersebut. GRI, kata Cici, masih belum mematuhi sepenuhnya ketentuan pemerintah mengenai upah minimum- yang menurut keputusan Menteri Cosmas adalah upah pokok ditambah tunjangan, dengan ketentuan, upah pokok serendah-rendahnya 75% dari upah minimum. Cici dan kawan-kawan menafsirkan masih ada hak mereka, berupa tunjangan sebesar 75% dari upah minimum, yang belum dibayarkan GRI. "Kami mogok supaya tuntutan kami dipenuhi perusahaan," ujarnya. Sekjen Serikat Buruh Merdeka Setiakawan, Saut Aritonang, yang dua pekan lalu ramai diberitakan diculik secara misterius, malah melihat angka yang dituntut Cici dan kawan-kawan masih terlalu kecil. GRI, menurut Saut, seharusnya memberi upah minimum sekitar Rp 6.000 per hari. Perhitungan itu diperoleh Saut dengan mengalkulasi produktivitas buruh GRI, yang rata-rata sehari menyelesaikan 10 potong pakaian dengan nilai jual Rp 400.000. Tidak demikian halnya perhitungan Direktur GRI, Safioen, tentang upah minimum. Menurut bos perusahaan pakaian jadi itu, angka 75% tersebut dari gaji pokok Rp 2.100 dan kemudian ditambah dengan tunjangan tetap yang totalnya kembali mencapai Rp 2.100. "Sesungguhnya apa yang mereka tuntut sudah kami penuhi," kata Safioen, yang pernah menjabat Dirjen Industri Tekstil Departemen Perindustrian pada 1970-an. Ia curiga, aksi mogok karyawan GRI ini "ada yang men-set-up". Upah minimum yang ditetapkan pemerintah, kata Cosmas, bukan keputusan sepihak. Perhitungan tersebut, menurut menteri yang kini sibuk sebagai Presiden Konferensi ILO ke-78 di Jenewa itu, diputuskan berdasarkan kesepakatan pengusaha, SPSI, dan Departemen Tenaga Kerja. Tapi Cosmas tak menutup mata bahwa upah minimum yang disepakati masih di bawah kebutuhan fisik minimum. "Sekarang ini rata-rata upah minimum secara nasional masih sekitar 63% dari kebutuhan fisik minimum," tulisnya kepada TEMPO melalui faksimile dari Jenewa. Siapa tahu, ketentuan upah minimum yang akan dilaksanakan Juli nanti berubah sesuai dengan tuntutan Cici Sutarsih dan Cici-Cici lain. Andi Reza Rohadian dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini