Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Tangan Ulama di Komisi Penyiaran  

Larangan tayangan bermuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender dianggap diskriminatif. Dipengaruhi pendapat Majelis Ulama Indonesia.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Ilustrasi seseorang menonton acara siaran televisi di Jakarta, Agustus 2015. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Perbesar
Ilustrasi seseorang menonton acara siaran televisi di Jakarta, Agustus 2015. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan aturan yang melarang tayangan mengandung LGBT.

  • Sejumlah lembaga penyiaran dan kelompok seniman menolak aturan tersebut.

  • Sejumlah lembaga, termasuk KPI di daerah, memprotes aturan tersebut.

SURAT edaran Komisi Penyiaran Indonesia yang terbit pada 17 Maret lalu membuat Pemimpin Redaksi JTV Abdul Rokhim cemas. Isi tiga lembar warkat itu salah satunya melarang lembaga penyiaran menayangkan siaran bermuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) selama Ramadan. Rokhim pun berniat menghentikan program ludruk. “Ketimbang kami dapat surat teguran dari KPI, lebih baik enggak usah ditampilkan,” ujar Rokhim pada Kamis, 1 April lalu.

JTV memiliki dua program pentas ludruk—drama khas Jawa Timur yang pemeran laki-lakinya kerap berpakaian seperti perempuan—bertajuk “Rujak Suroboyo” dan “Ndoro Bei”. Pada Ramadan tahun lalu, stasiun televisi itu masih menyuguhkan tayangan tersebut. Rokhim menyatakan kecewa atas sikap Komisi Penyiaran yang mengabaikan aspek kesenian dan kebudayaan dalam merumuskan surat edaran itu. Dia menilai larangan tersebut mengganggu kreativitas siaran televisi.

Di Malang, Jawa Timur, Ketua Komunitas Ludruk Kuwalisi Kendo Kenceng Sutak Wardiono juga khawatir surat edaran KPI akan menghalangi kelompok minoritas seperti waria untuk berekspresi. Padahal ludruk yang telah mengakar lama di Jawa Timur kerap disiarkan di televisi. Ada pula kesenian lain seperti reog Ponogoro yang kerap memunculkan gemblak, anak laki-laki penari yang bergerak lemah-gemulai. Jawa Timur juga memiliki kesenian tradisional gandrung yang dimainkan laki-laki dengan suara seperti perempuan.

Menurut Sutak, komunitasnya pun kerap menampilkan karakter perempuan yang diperankan oleh pria. Mereka kerap berpentas di Taman Budaya Surabaya serta pelosok desa dan perkampungan. Sutak khawatir aturan KPI terbit tanpa memperhatikan kearifan lokal. “Sudut pandang KPI kurang komprehensif,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus