Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan aturan yang melarang tayangan mengandung LGBT.
Sejumlah lembaga penyiaran dan kelompok seniman menolak aturan tersebut.
Sejumlah lembaga, termasuk KPI di daerah, memprotes aturan tersebut.
SURAT edaran Komisi Penyiaran Indonesia yang terbit pada 17 Maret lalu membuat Pemimpin Redaksi JTV Abdul Rokhim cemas. Isi tiga lembar warkat itu salah satunya melarang lembaga penyiaran menayangkan siaran bermuatan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) selama Ramadan. Rokhim pun berniat menghentikan program ludruk. “Ketimbang kami dapat surat teguran dari KPI, lebih baik enggak usah ditampilkan,” ujar Rokhim pada Kamis, 1 April lalu.
JTV memiliki dua program pentas ludruk—drama khas Jawa Timur yang pemeran laki-lakinya kerap berpakaian seperti perempuan—bertajuk “Rujak Suroboyo” dan “Ndoro Bei”. Pada Ramadan tahun lalu, stasiun televisi itu masih menyuguhkan tayangan tersebut. Rokhim menyatakan kecewa atas sikap Komisi Penyiaran yang mengabaikan aspek kesenian dan kebudayaan dalam merumuskan surat edaran itu. Dia menilai larangan tersebut mengganggu kreativitas siaran televisi.
Di Malang, Jawa Timur, Ketua Komunitas Ludruk Kuwalisi Kendo Kenceng Sutak Wardiono juga khawatir surat edaran KPI akan menghalangi kelompok minoritas seperti waria untuk berekspresi. Padahal ludruk yang telah mengakar lama di Jawa Timur kerap disiarkan di televisi. Ada pula kesenian lain seperti reog Ponogoro yang kerap memunculkan gemblak, anak laki-laki penari yang bergerak lemah-gemulai. Jawa Timur juga memiliki kesenian tradisional gandrung yang dimainkan laki-laki dengan suara seperti perempuan.
Menurut Sutak, komunitasnya pun kerap menampilkan karakter perempuan yang diperankan oleh pria. Mereka kerap berpentas di Taman Budaya Surabaya serta pelosok desa dan perkampungan. Sutak khawatir aturan KPI terbit tanpa memperhatikan kearifan lokal. “Sudut pandang KPI kurang komprehensif,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program tayangan Ndoro Bei yang disiarkan oleh JTV. Dok. @Ndorobeijtv
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Yogyakarta, kelompok sandiwara berbahasa Jawa, Sedhut Senut, juga waswas terhadap surat edaran KPI. Salah satu pendiri kelompok tersebut, Elyandra Widharta, mengatakan Sedhut Senut juga beranggota seorang laki-laki yang suka berpakaian perempuan. Lakon waria itu justru menjadi magnet pengunjung setiap kali berpentas. Elyandra khawatir aturan tersebut menghambat Sedhut Senut untuk tampil di radio dan televisi. Dampaknya, menurut Elyandra, penghasilan seniman juga akan berkurang karena dilarang berpentas.
Elyandra berkaca pada pengalaman pelawak senior Kabul Basuki alias Tessy Srimulat yang sering berdandan seperti perempuan. Pada 2016, KPI melarang tayangan yang menunjukkan laki-laki berpenampilan seperti perempuan. Sejak itulah karier Tessy meredup.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Irsal Ambia mengatakan surat edaran itu bertujuan menjaga norma agama dan kesusilaan serta melindungi anak-anak. “Aturan ini juga bertujuan menjaga kekhusyukan umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa,” kata Irsal kepada Tempo pada Selasa, 31 Maret lalu. Irsal menjelaskan tayangan yang dilarang adalah yang mempromosikan LGBT serta bertujuan menganggap LGBT lumrah dan merupakan gaya hidup.
Irsal menyatakan, perilaku laki-laki berpenampilan perempuan juga tidak boleh ditayangkan. Namun Irsal menyatakan program seperti ludruk masih bisa ditayangkan. “Itu pertunjukan budaya.” Begitu pula dengan liputan demonstrasi pendukung LGBT atau perisakan terhadap kelompok tersebut.
Menurut Irsal, surat edaran tersebut merupakan kelanjutan dari aturan yang dikeluarkan lembaganya pada 2016. Saat itu KPI melarang tayangan konten pria yang bergaya, berdandan, dan bertingkah laku seperti perempuan. Sama seperti sebelumnya, kali ini KPI pun berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama untuk menyusun surat edaran. Draf surat tersebut dibahas intensif selama lima hari sebelum diteken Ketua KPI Agung Suprio. Irsal beralasan MUI diajak berkoordinasi karena punya otoritas untuk menentukan konten dakwah yang benar.
Ketua MUI Cholil Nafis membenarkan bahwa pihaknya memberi masukan kepada KPI dalam sejumlah rapat yang digelar secara daring. Salah satunya terkait dengan larangan mempromosikan LGBT. MUI pun menolak tayangan laki-laki berperan sebagai perempuan atau sebaliknya. “Tidak ada dalam ajaran Islam,” tutur Cholil.
Tak hanya MUI, Asosiasi Televisi Nasional Indonesia juga dilibatkan dalam penyusunan draf surat edaran KPI. Anggota asosiasi itu, Deddy Risnanto, mengatakan dalam pertemuan secara daring itu muncul juga larangan siaran yang menampilkan perempuan berpelukan atau berciuman dengan perempuan lain. Menurut Deddy, pembahasan aturan tentang LGBT itu telah muncul sejak tahun lalu dalam sejumlah diskusi terbatas. “Kami setuju terhadap larangan siaran bermuatan LGBT,” katanya.
Namun surat edaran itu menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Sasmito Madrim menilai aturan tersebut multitafsir dan berpotensi menghalangi media memberitakan hak-hak kelompok minoritas, seperti LGBT. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Pasal 15b aturan itu mewajibkan lembaga penyiaran memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan orang dan/atau kelompok dengan orientasi seks dan identitas gender tertentu. “Kami mendesak KPI menghapus poin tentang LGBT itu,” ujar Sasmito.
Mantan Ketua Bidang Pengkajian Majelis Ulama Indonesia, Siti Musdah Mulia, juga mempersoalkan surat edaran tersebut. Menurut dia, KPI sebagai lembaga negara seharusnya tak perlu merujuk kepada MUI dalam merumuskan kebijakan. MUI sebagai organisasi kemasyarakatan, menurut Musdah, tak mewakili seluruh umat Islam. Ketua Umum Yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace itu menilai KPI cukup membuat aturan sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran.
Suara sumbang pun datang dari lingkup internal KPI. Wakil Ketua KPI Daerah Provinsi Yogyakarta, Agnes Dwirusjiyati, mengatakan KPI Yogyakarta menolak mengedarkan surat KPI pusat ke lembaga-lembaga penyiaran di provinsi tersebut. Agnes mengaku mendapat sejumlah pertanyaan dari lembaga penyiaran di Yogyakarta. Mereka, kata Agnes, khawatir surat edaran itu menghalangi liputan kegiatan pesantren waria Al Fatah di Kotagede, Yogyakarta. Padahal pesantren yang diasuh oleh kiai berlatar belakang Nahdlatul Ulama dan peneliti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu rutin berkegiatan selama Ramadan.
Agnes pun telah menyampaikan keberatan dari lembaga penyiaran itu ke grup WhatsApp KPI yang berisi anggota KPI daerah seluruh Indonesia. Namun ada juga anggota KPI daerah dari wilayah lain yang malah menyarankan agar KPI pusat melarang siaran apa pun tentang pesantren waria. “Liputan tentang waria dalam kerangka jurnalistik, penghormatan waria dalam beragama, dan menghormati hak asasi manusia tetap diperlukan publik,” kata Agnes.
Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Bali I Wayan Sudiarsa juga mempertanyakan substansi surat edaran tersebut. Ia meminta KPI pusat memperhatikan protes dari AJI atau kelompok sipil terhadap isi surat edaran itu. “Ada alasan yang kuat di balik penolakan surat edaran tersebut,” ucap Sudiarsa.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Irsal Ambia mengaku telah menerima berbagai protes dari lembaga jurnalistik dan aktivis hak asasi manusia. Meskipun demikian, sepertinya KPI belum akan merevisi aturan tersebut. “Kami menampung masukan dan protes itu,” tuturnya.
SHINTA MAHARANI
Catatan Redaksi:
Artikel ini telah mengalami perubahan pada Senin, 5 April 2021, pukul 19.58. Perubahan terjadi dengan menambahkan keterangan Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Irsal Ambia bahwa perilaku laki-laki berpenampilan perempuan juga tidak boleh ditayangkan oleh lembaga penyiaran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo