Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cara baru mencetak doktor

Untuk melahirkan doktor epigrafi, fakultas sastra ui menerobos aturan yang lazim: menguji kumpulan artikel sebagai disertasi. yang dipromosikan yakni drs. boechari, ka lembaga arkeologi fs-ui.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI mirip lingkaran setan. Untuk mempromosikan doktor dalam bidang efigrafi, diperlukan adanya guru besar. Sarjana yang layak diangkat menjadi guru besar atau profesor itu menolak diangkat bila ia belum meraih doktor. "Saya tak mau jadi uru besar kalau tidak jadi doktor dulu. Nanti orang mengira saya ini profesor tabib, sebab tak ada gelarnya," kata Drs. Boechari, ahli efigrafi yang hendak diprofesorkan itu. Efigrafi, disiplin ilmu tentang prasasti, tulisan kuno dan semacamnya memang belum mempunyai ahli setingkat doktor. Sementara itu, makin terasa dibutuhkan adanya ahli untuk penelitian peninggalan-peninggalan kuno di Indonesia. Maka, setelah tawaran kepada Boechari, 60 tahun, Kepala Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra UI pada 1974 itu ditolak, pihak Senat Guru Besar UI terus mencari cara melahirkan doktor epigrafi. Baru tahun inilah, cara menembus lingkaran setan itu ditemukan. Dan tetap Boechari yang mendapat kehormatan untuk jadi doktor epigrafi pertama. Pertengahan Maret lalu Dekan FS UI Dr. Nurhadi Magetsari menyampaikan hal itu kepada efigraf kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu. Nurhadi, ditemani Prof. Dr. Koentjaraningrat, tokoh arkeologi, menjelaskan, yang akan dijadikan disertasi adalah kumpulan tulisan Boechari yang pernah dipublikasikan. Tulisan-tulisan itu telah dipilih oleh Koentjaraningrat - profesor ini juga menawarkan diri menjadi promotor berjumlah 15 judul. Boechari hanya diminta menulis pengantar dan penutup karangan. Boechari akhirnya menerima tawaran itu, walau ia mengaku kurang sreg dengan cara promosi seperti ini. "Habis, bagaimana lagi? Dan saya didesak oleh Koentjaraningrat, bekas guru saya di SMA." Maka, untuk pertama kalinya di perguruan tlnggi Indonesia akan diadakan promosi doktor yang disertasinya merupakan kumpulan karangan. Tapi, sebenarnya, bila ditilik latar belakang karangan-karangan itu, promosi ini tak terlalu menyalahi prinsip. Begitu Boechari lulus dari Jurusan Arkeologi bidang Epigrafi FS UI, 1958, ia langsung menghubungi Prof. Louis Damais dan Prof. Poerbatjaraka, untuk mendapat bimbingan guna menulis disertasi Boechari tak lama kemudian melakukan penelitian pula. Namun, ketika disertasi hampir rampung, 1965, kedua pembimbingnya itu meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan. "Untuk merampungkan disertasi itu tak ada gunanya lagi. Tak ada orang yang berkompeten untuk dijadikan promotor," kata Boechari. Lalu ia merasa betapa pentingnya hasil penelitiannya itu dipublikasikan. Ia pun menulis artikel di media massa umum. Sejak itu, setiap melakukan penelitian, Boechari lalu menuliskan hasilnya di koran atau majalah. Penelitiannya yang penting, misalnya, tentang asal-usul Dinasti Cylendra berdasarkan prasasti di Desa Sodjomerto, Pekalongan, 1965. Penelitian ini menggugurkan teori lama yang menyebutkan asal-usul dinasti ini dari luar Indonesia. Sebelum itu, pada 1962, Boechari menggali prasasti di Desa Banjar Arum, Bojonegoro. "Saya menemukan data otentik tentang pembagian kerajaan Erlangga pada abad ke-11. Prabu Erlangga membagi dua kerajaannya, menjadi Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu, karena kedua anaknya berselisih sampai terjadi perang saudara. Dari kenyataan itulah, Menteri P & K Fuad Hassan, yang semula kaget, akhirnya menyetujui "potong kompas" gaya UI ini. Sebab, bila toh kasus ini jadi preseden, "Tak sembarang artikel bisa jadi disertasi," kata Nurhadi, Dekan FS UI itu. Ditemui di rumah kontrakannya di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, Boechari, ayah dua anak, sampai pekan lalu belum Juga menulis introduksi dan penutup untuk kumpulan karya ilmiahnya. "Saya belum tahu pasti kapan pengujiannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus