Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kajian perekrutan sumber daya manusia di Inggris menunjukkan, mempertahankan pekerjaan atau meyakinkan pemberi kerja adalah halangan terbesar penyandang disabilitas dalam karier mereka dibandingkan melakukan pekerjaan utama. Sementara bagi difabel yang mencari pekerjaan, ada banyak hambatan yang mereka hadapi, mulai dari kendala prosedural sampai sikap perusahaan atau pengusaha yang akan mempekerjakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendiri agen rekrutmen spesialis penyandang disabilitas Evenbreak, Jane Hatton mengatakan, terlepas dari upaya di seluruh dunia untuk meningkatkan keragaman di tempat kerja, ketika ditanya tentang memberikan kesempatan kerja kepada difabel, maka jawabannya jadi semacam glasir. Hatton memberikan ilustrasi karena isu ini tampak begitu indah di permukaan, namun amat keras atau mengalami benturan yang cukup berat untuk dipecahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu penyebab sulitnya penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan karena pemberi kerja cenderung fokus terhadap keterbatasan difabel ketimbang keterampilannya. "Jika Anda akan bekerja di call center atau bidang teknologi informasi, Anda sebenarnya tidak membutuhkan kaki. Jadi, perspektif itu tidak relevan," kata Hatton seperti dikutip dari Financial Today.
Menurut dia, beberapa kondisi penyandang disabilitas memiliki manfaat khusus. Contohnya, pekerjaan yang berulang atau terperinci sangat cocok dikerjakan oleh orang dengan autisme. "Sebab mereka berpikir dengan cara yang berbeda dan bisa sangat bagus dalam jenis pekerjaan ini," ujarnya.
Begitu pula dengan Tuli yang lebih banyak bekerja dalam diam. Mereka akan fokus dengan pekerjaannya tanpa banyak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pekerja lain selama jam kerja. Hattan juga menunjukkan bahwa pekerja Tuli atau Tunarungu dapat membaca bahasa tubuh seseorang dengan lebih baik.
Salah satu hambatan termudah yang dapat diatasi perusahaan adalah menghilangkan hambatan praktis, seperti tempat yang tidak dapat diakses atau situs rekrutmen yang sulit terakses. Pendiri Business Disability International, konsultan yang membantu perusahaan melayani staf penyandang disabilitas, Susan Scott-Parker mengatakan, umumnya model rekrutmen online sulit terakses dan diskriminatif.
Dia mencontohkan proses perekrutan yang dapat menyingkirkan kandidat pekerja penyandang disabilitas adalah tes yang tidak memungkinkan mereka untuk turut serta karena ragam disabilitas. Solusinya adalah memberikan waktu tambahan dalam mengerjakan tes atau menerapkan teknologi yang terakses untuk berbagai ragam disabilitas. "Jika perusahaan tidak memperhatikan aksesibilitas ini, maka tidak ada kesetaraan atau kesempatan yang sama bagi difabel dalam mendapatkan pekerjaan," ujarnya.
Hambatan lain yang lebih mendasar, menurut Parker, adalah kecenderungan memikirkan sarana pekerjaan daripada tujuan. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas tidak fleksibel ketika akan mengerjakan tugas secara berbeda. Proses wawancara juga kerap menjadi penghalang difabel mendapat pekerjaan. Dalam wawancara, pihak perusahaan kerap bertanya tentang seberapa baik calon pekerja menggambarkan pengalaman yang telah dilakukan, bukan dapat dilakukan.
Profesor Manajemen Sumber Daya Manusia di Cass Business School, London, Nick Bacon mengatakan, tes kompetensi formal adalah metode yang lebih baik dalam menilai kompetensi calon pekerja difabel. "Pelamar dengan disabilitas dapat dievaluasi secara lebih adil, setara, dan tidak memihak," katanya. Sementara wawancara kerja pada umumnya, Bacon melanjutkan, masih sarat dengan asumsi negatif atau stereotip yang dapat mempengaruhi objektivitas.
Baca juga:
Bappenas Buka Lowongan Kerja Bagi Kalangan Difabel dan Umum, Ini Syaratnya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.