Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta atau BEM UNY Farras Raihan mengadu ke Kantor Ombudsman RI Perwakilan Yogyakarta pada Senin, 20 Mei 2024 pasca mengaku mendapatkan ancaman dari pihak kampusnya akibat mengkritik kebijakan tentang penetapan uang kuliah tunggal (UKT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa Fakultas Vokasi angkatan 2021 itu mengadukan mendapat intimidasi berupa pencabutan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK). “Sejak April lalu saya dan teman dari BEM mendapat ancaman pencabutan KIPK itu saat menghadap kampus, kami diminta tidak lagi mengkritik soal UKT kalau masih mau mendapat beasiswa itu,” kata Farras, Selasa, 21 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEM UNY gencar mengkritik kebijakan kampus setelah rektorat menerbitkan surat keputusan penetapan besaran UKT pada 7 April 2024. Farras dan wakilnya di BEM UNY, Ammar Raihan, sempat pula menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR RI di Jakarta pada 16 Mei 2024.
“Setidaknya tiga kali kami mendapat ancaman itu, mulai dari dicabut KIPK nya, dinaikkan UKT-nya lebih tinggi, sampai yang saya dengar dikeluarkan dari UNY,” kata Farras.
Farras mengakui ia dan rekan-rekannya cukup khawatir jika pencabutan KIPK oleh pihak kampus benar benar dilakukan. Sebab, beasiswa itu sangat dibutuhkannya yang berlatar dari keluarga tak mampu.
“Ayah saya meninggal saat Covid-19 lalu, ibu saya guru SD honorer di Yogya yang masing menanggung tiga anak, dua adik saya masih sekolah SMP dan SMA,” kata Farras.
Farras menuturkan, dari KIPK yang ia peroleh, beban UKT setiap semester yang besarannya Rp 4,2-4,3 juta telah tertutupi. Dari KIPK itu, ia juga mendapatkan bantuan biaya hidup atau living cost sebesar Rp 1,1 juta per bulan atau Rp 6,6 juta per 6 bulan.
“Bantuan living cost itu langsung diterima ibu saya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari keluarga, karena ayah saya sudah meninggal dan tak ada dana pensiun karena bukan PNS (pegawai negeri sipil),” kata Farras.
Saat ancaman pencabutan KIPK itu diterimanya, Farras ditantang seorang pejabat kampus agar menyerahkan kartu beasiswa itu jika bersikeras menggelar aksi mengkritik kebijakan UKT. Meski berani jika harus mengambil keputusan itu, namun Farras pada akhirnya memilih mengurungkan niatnya dan mengadukan kepada Ombudsman soal nasib yang ia alami bersama rekan BEM-nya.
Ancaman verbal yang diterima Farras justru terjadi ketika ia menghadap kampus untuk berkonsultasi tentang kegiatan BEM. Tiba-tiba di tengah konsultasi ia ditanya soal beasiswa yang ia terima.
“Saya dibilangin, ‘Kalau kamu menerima beasiswa pemerintah, jangan banyak mengkritik pemerintah, kalau tidak mau menerima beasiswa lagi langsung kami hapus datamu sebagai penerima’,” kata Farras menirukan.
Aksi BEM UNY yang menggelar aksi seperti membuat kajian tentang UKT, menggelar survei mahasiswa, diskusi, dan lainnya juga dipersoalkan menyertai ancaman itu.
“Ya kami juga dibilang, ‘Awas saja, jangan aneh-aneh atau tak sikat,” kata Farras.
Menanggapi ancaman itu, Farras memilih diam mendengar karena menghindari perdebatan. Termasuk saat dirinya dipanggil Dekanat karena menghadiri rapat dengar pendapat di DPR RI karena diduga tak izin kampus terlebih dahulu.
"Padahal kami di DPR hanya menyampaikan kondisi kenaikan UKT yang ada, kami tetap menghormati kampus, kami ke DPR agar mendapatkan jawaban soal UKT ini," kata Farras.
Sekretaris Direktorat Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni UNY Guntur sebelumnya telah membantah jika pihak kampus melakukan ancaman kepada mahasiswanya. "Tidak ada yang ngomong dicabut beasiswanya," kata dia.
Guntur menuturkan, kampus hanya memiliki kewajiban mengingatkan dan memonitor para mahasiswa penerima beasiswa KIPK itu. Terutama jika para penerima beasiswa itu jarang masuk kampus atau memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) di bawah standar.
“Prinsipnya kami hanya wajib mengawal penerima beasiswa ini tepat sasaran,” kata Guntur.
Guntur mengakui, dekanat memang sempat memanggil Ketua BEM UNY karena mengikuti rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR RI di Jakarta karena aksi itu dilakukan tanpa sepengetahuan kampus. “Pemanggilan itu untuk klarifikasi karena kampus tak pernah memberikan izin atau surat tugas untuk berbicara di DPR RI,” kata dia.