KEHATI-HATIAN Presiden Megawati dalam merampungkan susunan kabinet telah menyiksa pasar dan menggelisahkan banyak orang. Tapi, di ujung penantian yang terasa panjang, Megawati menghadiahkan kado yang sungguh istimewa. Namanya Kabinet Gotong-Royong, dengan tim ekonomi yang nyaris bisa dijuluki sebagai tim juara. Di jajaran ini, Mega menempatkan para profesional tangguh yang integritas dan kredibilitasnya sudah tak perlu dipertanyakan lagi.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ekonom dari Universitas Indonesia dan terakhir menjabat sebagai Duta Besar RI di Washington, menempati posisi strategis sebagai Menko Perekonomian. Pilihan atas Dorodjatun diacungi jempol oleh berbagai pihak karena, selain mumpuni di bidangnya, ia memiliki lobi kuat dengan lembaga donor internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Posisi menko juga dipandang cocok dengan kepiawaiannya memotivasi orang.
Adapun Menteri Keuangan Boediono dikenal jujur, pandai, dan berpengalaman di birokrasi. Ia pernah menjadi Direktur Bank Indonesia (BI) dan Menteri Negara/Ketua Bappenas. Sedangkan Laksamana Sukardi, yang menjadi Menteri BUMN, dan Kwik Kian Gie, yang menempati pos Bappenas, telah lama dikenal sebagai ekonom PDI Perjuangan yang integritasnya tak perlu diragukan.
Yang sedikit di luar dugaan adalah munculnya Rini Soewandi sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Rini memang piawai di kedua bidang itu dan kemampuan manajerialnya tentu tak kalah dengan Menperindag Malaysia, Rafidah Aziz. Tapi, selepas meninggalkan PT Astra International—tempat ia pernah menjabat sebagai direktur keuangan dan terakhir direktur utama—Rini mengembangkan sejumlah bisnis. Bersama bekas Menkeu Fuad Bawazier, ia memiliki saham di perusahaan sekuritas, di samping bergerak di industri motor Cina. Kiprahnya di dunia usaha ini dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan kelak kemudian hari.
Namun, di saat kepentingan bangsa memanggil, Rini tentu siap membuat komitmen yang tepat. Dengan sedikit catatan seperti itu, tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong yang dipimpin Presiden Megawati harus diakui tidak sekadar menimbulkan optimisme, tapi benar-benar menjanjikan. Dengan demikian, harapan memperoleh tim ekonomi yang ramah pasar kini sudah terpenuhi. "Tim itu cukup bagus," kata analis perbankan dari W.I. Carr Securities, Mirza Adityaswara. Pasar pun bereaksi positif. Rupiah, misalnya, menguat hampir mencapai Rp 9.000 dari kisaran Rp 11.000 per dolar AS.
Dengan sense of crisis yang tinggi, tim ekonomi itu mengesankan akan bergerak cepat. Laksamana Sukardi telah menyatakan bahwa ia akan melakukan privatisasi terhadap BUMN telekomunikasi untuk memenuhi target pemasukan APBN yang Rp 6,5 triliun. Boediono menegaskan kesiapannya mengelola anggaran dan memelihara hubungan baik dengan lembaga donor internasional. Adapun Rini Soewandi akan segera memilih komoditi yang memiliki keunggulan kompetitif untuk mendongkrak ekspor. Pendeknya, mereka semua mengisyaratkan sudah sangat me-mahami masalah di lapangan dan segera akan melaksanakan program jangka pendek.
Dengan tim ekonomi yang andal dan berintegritas tinggi, toh kegembiraan tidak sepatutnya diumbar. Menyikapi masalah ekonomi yang begitu berat dan kompleks, tim ekonomi haruslah tangguh dengan dua kaki berpijak ke bumi. Anggaran 2001 diganduli defisit yang membengkak sampai Rp 87 triliun. Inflasi memanas, terlebih menjelang akhir tahun, tatkala harga barang-barang meningkat karena ada perayaan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru secara bersamaan. Selain itu, ada tantangan ekstra, yakni resesi yang melanda ekonomi dunia. Wajar bila nyaris tak ada rangsangan dari luar untuk menggairahkan ekonomi di dalam negeri.
Tumpukan utang luar negeri membuat kondisi kian parah. Jumlah cicilan dan bunga utang sedemikian besar sehingga Direktur Riset SocGen Indonesia, Lin Che Wei, menghitung, bila hasil sumber alam selama lima belas tahun dikumpulkan saat ini, nilai totalnya belum cukup untuk membayar tagihan itu. Yang jelas, saat ini saja 50 persen pengeluaran pemerintah habis untuk membayar cicilan utang berikut bunganya. Belum lagi soal pengangguran dan setengah pe-ngangguran, yang jumlahnya sudah mencapai 40 juta orang.
Masalah-masalah yang menakutkan tak dapat tidak harus dihadapi oleh tim ekonomi dengan kepala dingin, tekad baja, dan kerja keras. Dorodjatun mengaku, ia memprioritaskan penyelesaian masalah anggaran terlebih dahulu. Caranya? Dengan meningkatkan penerimaan dari pos-pos yang masih potensial. Ekspor dari sektor pertanian dan industri kecil-menengah, misalnya, belum digenjot habis. Kalau pos itu didorong, "Saya optimistis naiknya bisa tinggi sekali," kata Menteri Keuangan Boediono. Selanjutnya tim ekonomi harus segera menyiapkan rancangan untuk anggaran tahun depan.
Sementara itu, untuk urusan pengendalian inflasi dan stabilitas nilai tukar, pemerintah mesti bekerja sama erat dengan jajaran otoritas moneter Bank Indonesia (BI). Dalam hal ini, tampaknya tak ada kesulitan, terutama karena BI mengulurkan tangan terlebih dahulu. Pekan ini Gubernur BI mengundang tim ekonomi pemerintah untuk sebuah rapat koordinasi yang membahas kondisi ekonomi negara.
Bagaimana dengan penanganan utang? Kunci penyelesaiannya antara lain ada pada perbaikan hubungan dengan lembaga-lembaga donor, yang sempat menegang di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pekan ini tim IMF kembali datang untuk membicarakan naskah letter of intent (LOI). Naskah itu mesti segera disepakati karena menjadi prasyarat untuk pertemuan Paris Club, 8-10 September mendatang. Selanjutnya, kita juga perlu membicarakan pinjaman baru dengan negara-negara anggota Consultative Group on Indonesia (CGI) pada Oktober mendatang.
Dalam merundingkan masalah utang, salah satu sumber TEMPO mengungkapkan bahwa pihak donor sebetulnya tak keberatan Indonesia membayar sesuai dengan kemampuannya saja. "Boleh saja, asal kami jangan dibohongi," kata sumber itu, menirukan ucapan pejabat lembaga donor. Masalahnya, mereka tak percaya karena pemerintah Indonesia sering berbohong. Contohnya sepele, pemerintah mengatakan tak punya uang, tapi pejabatnya bepergian dengan pesawat eksekutif dan menginap di hotel-hotel mewah.
Agar utang tak terlalu membelit, Chief Executive Officer (CEO) Danareksa Research Institute, Rino Agung Effendi, menganjurkan sedapat mungkin pemerintah memperoleh penjadwalan utang dalam jangka panjang sekaligus. "Supaya kita tak perlu tiap tahun menghadiri Paris Club," katanya. Namun, untuk itu pemerintah mesti bisa menjelaskan cara pembayaran yang masuk akal. Misalnya, dari pos penerimaan mana saja kita bisa mendapat duit untuk membayar utang. Pendeknya, semua hal perlu dijelaskan dengan rinci, termasuk menerangkan mengapa rasio pajak kita paling rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Pemerintah sendiri kabarnya juga sudah menyiapkan sejumlah jurus untuk menangani utang, di antaranya penghapusan utang dan menukarnya dengan pengelolaan alam yang baik. Misalnya, dengan pelarangan penebangan liar atau penanaman hutan kembali (debt-to-nature swap dan debt-to-reforestation swap). Dengan cara itu, jumlah utang di-harapkan bisa berkurang hingga 30 persen. Cara itu bukannya isapan jempol karena pernah pula dilakukan di masa Menteri Koordinator Rizal Ramli. Hasilnya, kita memperoleh pengurangan utang hingga US$ 50 juta dari pemerintah Jerman.
Bila semua program tersebut berjalan baik, pemerintah bisa sedikit bernapas lega. Tinggallah kini menangani masalah yang tak kalah pelik, yaitu pengangguran. Soalnya, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 8 persen saja, jumlah pengangguran masih bertambah. Apalagi dalam kondisi sekarang, tatkala ekonomi diperkirakan cuma tumbuh 3,5 persen. Dalam kaitan dengan hal yang begitu mendesak dan mencemaskan ini, Menteri Dorodjatun telah bertekad akan menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong kemajuan industri rumahan yang mempekerjakan banyak orang (intensive labour). "Yang pasti, rakyat butuh kerja dan makan," katanya.
Keberhasilan menangani hal-hal yang mendesak dalam ekonomi secara tak langsung ikut ditentukan oleh keberhasilan dalam penegakan hukum. Contoh yang sangat baik telah ditunjukkan oleh Presiden Megawati, yang memanggil semua anggota keluarganya dan melarang mereka berbisnis dengan membawa-bawa namanya. Hal ini erat kaitannya dengan perilaku bangsa kita, yang masih kuat dipengaruhi oleh keteladanan para pemimpinnya. Bahkan kalau perlu, kata Rino, presiden meniru cara pemimpin-pemimpin Cina memerangi korupsi. Di sana pemimpinnya biasa berpidato dan menyatakan sudah menyiapkan 101 peti mati. "Seratus peti disediakan untuk para koruptor," ujar Rino, "satu peti lagi untuk dirinya sendiri kalau terbukti juga terlibat korupsi."
Andaikata semua program itu serius di-kerjakan, bukan mustahil pemulihan ekonomi bisa berlangsung lebih cepat. Bila perlu, untuk memotivasi rakyat dan para menterinya, Mega menetapkan target agar pada tahun 2004 Indonesia harus sudah bisa keluar dari perawatan IMF. Cita-cita itu bukan tak mungkin dicapai. Di awal Orde Baru, "Indonesia pernah membuktikan berhasil mengikuti program IMF dengan masuk tahun 1967 dan keluar empat tahun kemudian," kata Rino. Nah, kalau sekarang Mbak Mega bisa mengulangi prestasi itu, citranya akan semakin cemerlang dan peluang terpilih kembali sebagai presiden juga akan terbuka lebar.
Nugroho Dewanto, Rommy Fibri, IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini