ORANG-ORANG berebutan menyalami dan mencium tangannya, setelah namanya diumumkan sebagai ketua umum Lajnah Tanfidziah (LT) Syarikat Islam. Harsono Tjokroaminoto, 72, tokoh itu, Senin lalu, tampak tampil amat berwibawa untuk menyelesaikan kemelut perpecahan yang melanda SI, bekas partai politik Islam tertua itu. "Semua keputusannya dijamin bisa dilaksanakan. Ia memiliki pengaruh kuat di luar dan di dalam SI," kata Drs. Ramly Nurhapi, anggota DPR dan tokoh SI Sumatera Selatan. Harsono, yang kini anggota Tim P7, adalah bekas menteri, dubes, dan anggota DPA. Tapi, yang lebih penting, dia adalah putra Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh pergerakan terkemuka dan pendiri SI. Majelis Tahkim (kongres) SI ke-34 di asrama haji Pondok Gede, Jakarta, 6 sampai 8 Juni lalu, boleh dikatakan cukup berhasil. Dibuka Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan ditutup Menteri Agama Munawir Sjadzali, majelis tahkim ini dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 451 cabang dan 20 wilayah organisasi itu. Artinya, cuma enam cabang dan enam wilayah yang absen, "Karena alasan finanslal," kata seorang panitia. Berbagai pihak yang selama ini bertikai, setelah Majelis Tahkim ke-33 di Majalaya, Jawa Barat, Juni 1972, tampaknya kini sepakat mengakhiri silang sengketa. Mereka adalah kelompok Syarifuddin Harahap, kelompok Mahdi Tjokroaminoto, dan kelompok M.A. Gani. Yang masih kukuh hatinya adalah kelompok H.M. Ch. Ibrahim. Menurut Syarifuddin Harahap, dia sudah dua kali menghubungi kelompok itu, tapi tak ada hasilnya. Malah, menjelang kongres ini, Ibrahim - yang mengaku pimpinan SI yang sah - menyurati Menteri Dalam Negeri dan berbagai lembaga tinggi negara, menyatakan bahwa majelis tahkim yang akan diadakan Harsono Tjokroaminoto sebagai tidak sah. Pada Majelis Tahkim Majalaya Ibrahim memang terpilih menjadi ketua umum Lajnah Tanfidziah (eksekutif), dan Bustamam sebagai ketua Dewan Pusat (legislatif). Setahun berselang, dengan tuduhan bahwa keduanya antifusi (PPP), Ibrahim dan Bustamam dikup kelompok T.M. Gobel. Kepemimpinan lalu beralih kepada Gobel dan M.A. Gani. Setelah itu, perbuatan kup seperti barang biasa, pengurus yang satu dikup dan dipecat pengurus yang lain (TEMPO, 5 Januari 1985). Pengaruh organisasi ini pun kian melorot. Pada Pemilu 1971, PSII (nama SI dulu) memperoleh 20 kursi DPR, dan pada pemilu berikutnya melorot menjadi 14 (setelah berfusi di dalam PPP), lalu melorot lagi tinggal 12 pada Pemilu 1982. Karena Ibrahim tetap membangkang, Syarifuddin Harahap menganggap, "Ibrahim sudah di luar sistem SI ataupun pemerintah." Selain karena antifusi tadi, tokoh ini rupanya terlibat menandatangani Petisi 50. "Karena itu, ia tidak diundang di majelis tahkim ini," kata Suryo Ahmad Modjo, salah seorang tokoh muda SI. Kendati begitu, perdamaian (islah) yang dicapai berbagai kelompok di SI ini tampak meyakinkan banyak pihak. Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, misalnya, percaya bahwa sesepuh dan pemimpin SI, "Akan berhasil menyelesaikan masalah intern itu tanpa meninggalkan bekas." Peranan tokoh tua, seperti disinggung Wapres, memang terlihat amat dominan dalam menyelenggarakan majelis tahkim kali ini. Ini dimulai pertengahan Januari lalu, ketika 32 tokoh tua SI berembuk selama dua hari di kantor SI di Jalan Taman Matraman, Jakarta. Yang hadir di situ, selain Harsono, adalah K.H. Udung Abdurrahman, ulama terkemuka SI dari Majalaya. Hasil rembukan ini adalah memberikan mandat kepada Harsono untuk menyelenggarakan majelis tahkim itu. Di dalam sidang-sidang Majelis Tahkim, peranan tetap pada para ulama, misalnya tujuh formatir yang terpilih adalah para sesepuh yang berumur di atas 70 tahun. Di antaranya adalah Nyonya Arudji Kartawinata, istri almarhum Arudji Kartawinata, tokoh SI 1950-an. Mirip Muktamar NU di Situbondo, semua pihak menerima saja hasil rembukan para sesepuh itu. Syarifuddin Harahap, misalnya, yang cuma didudukkan sebagai anggota Dewan Pusat, sebelumnya sudah berkata, "Karena ini keinginan ulama dan umat, saya akan mematuhinya." Bagi Syarifuddin, mungkin, bersatunya SI lebih penting. Sebab, ia akan memperoleh kembali basisnya yang hilang selama ini. Harsono Tjokroaminoto memang mengatakan bahwa Syarifuddin tidak didudukkan di Lajnah Tanfidziah, "karena dia telah menduduki jabatan top di PPP." Jadi, Syarifuddin memang disiapkan SI untuk PPP, rupanya. Selain itu, M.A. Gani, yang tampaknya menduduki jabatan penting sebagai wakil ketua umum, dan H. Johan Burhanuddin, sekjen, adalah tokoh-tokoh yang tak cocok dengan J. Naro di PPP. Mungkin, mereka nanti bisa bersuara lebih padu di PPP. Ada yang baru dari keputusan majelis tahkim ini - selain menyatakan Pancasila sebagai asas - yaitu peningkatan Majelis Syar'i, dari sebuah departemen di dalam Lajnah Tanfidziah, menjadi lembaga yang berdiri setara dengan Lajnah Tanfidziah dan Dewan Pusat. Dengan demikian, boleh disebut, Majelis Syar'i meniru Mustashar - lembaga penasihat di NU, yang dipimpin Kiai As'ad. Majelis Syar'i pun diisi oleh para sesepuh SI, dan dipimpin Kiai Udung Abdurrahman. "Hal ini untuk mengukuhkan bahwa ulama itu di SI jadi panutan," kata Mahdi Tjokroaminoto, anggota Dewan Pusat. Yang berbeda dengan NU ialah hubungannya dengan PPP. Setelah Muktamar Situbondo, akhir tahun lalu, NU menyatakan diri tak terikat pada kekuatan politik (termasuk PPP). Tapi, NU memberikan keleluasaan kepada anggotanya untuk memilih sendiri salah satu dari tiga kekuatan politik yang ada. Sedangkan SI, menurut Harsono Tjokroaminoto - yang otomatis menjadi ormas yang lepas dari kekuatan politik yang ada, sesuai dengan UU Keormasan - akan memilih salah satu parpol yang ada menjelang pemilu nanti. "Kami akan memilih yang programnya cocok dengan SI," katanya. Untuk sekarang, yang diprioritaskan adalah mempelajari berbagai pemecatan yang terjadi pada masa kup-kupan itu, untuk mengeluarkan sebuah rehabilitasi dan pengampunan umum. "Orang-orang dalam kelompok-kelompok itu akan kami giring dulu kembali ke rumahnya," kata Harsono. Amran Nasution Laporan Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini