Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdebatan hangat mewarnai rapat panitia khusus Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dalam beberapa pekan terakhir. Beberapa fraksi mengusulkan perubahan mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Pada periode sebelumnya, partai pemenang pemilihan umum otomatis berhak atas kursi ketua, sesuai dengan pasal 82 undang-undang itu. Namun, sekitar sebulan lalu, ada usul agar pimpinan DPR ditentukan melalui pemilihan yang melibatkan semua anggota Dewan.
"Usul ini muncul setelah keluar hasil pemilu legislatif April lalu," kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Undang-undang ini mengatur soal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau MD3. Arif mengatakan revisi peraturan itu sebetulnya dirancang untuk memperkuat fungsi Dewan, terutama di bidang legislasi. Para legislator ingin institusi ini lebih produktif menghasilkan undang-undang prorakyat yang tak mudah digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengatakan pengusung usul ini antara lain Benny K. Harman dari Fraksi Demokrat dan Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Benny saat ini menjabat ketua pansus, sedangkan Fahri menjadi wakilnya. Eva sempat menjadi anggota pansus sebelum mundur karena sibuk berkampanye.
Anggota Dewan yang mengetahui proses pembahasan revisi peraturan itu mengatakan usul tersebut muncul karena petinggi Partai Golkar ingin memimpin parlemen. Seorang politikus Golkar sekaligus anggota pansus sempat dua kali melobi tim PDI Perjuangan agar menyetujui usul itu. Pendekatan dilakukan di sela pertemuan formal setelah pembahasan revisi undang-undang di Hotel Ritz-Carlton di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.
Upaya melobi PDI Perjuangan dilakukan sejak dua pekan lalu setelah partai ini memprotes usul itu. PDI Perjuangan tak setuju dengan usul baru itu karena model pemilihan dipastikan menambah biaya politik. Sebab, setiap calon bakal mengucurkan dana yang tak kecil untuk melobi partai-partai agar memenangkan dirinya. "Ini juga tidak adil," kata Arif. Sebab, seharusnya PDI Perjuangan mendapat jatah memimpin DPR periode 2014-2019.
Benny K. Harman berdalih usul itu sejalan dengan gagasan demokratisasi di tubuh lembaga wakil rakyat. Apalagi ide ini didukung oleh undang-undang. Benny merujuk pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang menyebutkan setiap anggota Dewan memiliki hak memilih dan dipilih. Ia menambahkan, pimpinan Dewan pada periode lalu ditunjuk oleh partai karena konsensus antarpartai menyepakati demikian. Padahal pasal 82 undang-undang itu jelas-jelas menyebutkan Ketua DPR adalah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak. Adapun Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Pertimbangan lain, menurut Benny, adalah tidak adanya partai yang menjadi pemenang mayoritas dalam pemilihan umum legislatif lalu. "Jika koalisi PDI Perjuangan (Joko Widodo-Jusuf Kalla) menang, mayoritasnya oposisi. Kerja Dewan jadi tidak produktif. Karena itu, kita perlu pimpinan yang mempunyai legitimasi," ujarnya.
Ada tiga opsi pemilihan pimpinan Dewan yang mengemuka selama pembahasan revisi. Pertama, menggunakan sistem pemilihan terbuka. Dengan model ini, setiap partai dapat mengajukan calon pimpinan. Calon-calon tersebut kemudian dipilih oleh anggota Dewan. Cara kedua adalah semi-tertutup: calon diajukan oleh setiap fraksi dalam format ketua sekaligus wakil. Sedangkan opsi terakhir adalah model tertutup, yakni partai pemenang pemilu mengajukan dua calon pemimpin untuk dipilih anggota Dewan. "Tapi ini semua masih wacana," tutur Benny.
Menurut Fahri Hamzah, usul ini muncul lantaran ada kritik atas dominasi partai-partai besar. Tapi ia mengakui pada saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut soal rencana usul itu. Fahri membantah kabar bahwa dia yang mengajukan klausul pemilihan pimpinan Dewan itu. "Saya justru yang tidak terlalu mempersoalkan," katanya.
Fraksi Gerindra termasuk yang sepakat dengan ide pemilihan pimpinan DPR. Anggota pansus dari fraksi ini, Desmond Junaidi Mahesa, mengatakan usul itu bukan barang baru. Usul sudah diwacanakan sejak lima tahun lalu. "Hampir semua fraksi menyepakati, kecuali Fraksi PDI Perjuangan," ujarnya.
Desmond mengatakan aturan baru ini diniatkan untuk memberi keadilan bagi partai-partai yang menempati urutan terbawah perolehan kursi di DPR. Gerindra, misalnya, pada periode lalu tak bisa menempatkan wakilnya di kursi pimpinan dan tak punya wakil di Badan Kehormatan karena hanya berada di urutan kedelapan, baik perolehan suara maupun kursi. Jika masih mengacu pada undang-undang lama, Partai NasDem dan Partai Hanura akan bernasib sama pada periode mendatang. "Artinya, ini kan akal-akalan saja. Tidak ada proses demokrasi," katanya.
PDI Perjuangan menempati posisi teratas pada pemilihan umum legislatif 9 April lalu dengan perolehan 18,95 persen suara atau setara dengan 109 kursi di DPR. Partai Golkar menyusul di posisi kedua dengan 14,75 persen suara atau 91 kursi. Partai Gerindra memperoleh 11,81 persen suara, setara dengan 73 kursi. Sedangkan Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional mendapatkan masing-masing 10,19 persen suara atau 61 kursi dan 7,59 persen suara atau 49 kursi. Sesuai dengan undang-undang, anggota legislatif PDI Perjuangan bakal menduduki posisi Ketua Dewan. Sedangkan wakil ketua akan diisi anggota legislatif dari Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN.
Politikus PDI Perjuangan yang juga anggota pansus, Daryatmo Mardiyanto, mengatakan revisi undang-undang MD3 merupakan mandat empat putusan Mahkamah Konstitusi selama periode 2009-2013. Putusan itu terkait dengan tata cara pemilihan Ketua MPR, kedudukan DPD di bidang legislasi, penghapusan sebagian kewenangan Badan Anggaran, dan mekanisme pemilihan Ketua DPRD. Ketika pembahasan dimulai, pasal tentang pimpinan DPR tidak termasuk yang akan direvisi. "Makanya soal itu tidak ada di dalam DIM (daftar inventarisasi masalah)," ujarnya.
Politikus Golkar yang sempat menjadi wakil ketua pansus, Nurul Arifin, membantah ada kepentingan partainya di balik ide pemilihan pimpinan Dewan. Menurut dia, cara ini justru akan memberi kesempatan yang sama bagi setiap partai untuk mengajukan calon. Golkar, kata dia, bahkan bukan yang pertama kali melontarkan ide tersebut. "Itu ide banyak fraksi," ujarnya. Apalagi jika sistem pemilihan ini benar-benar diterapkan, "Semua berminat dan semua akan mengajukan calon."
Kartika Candra
Poin-poin yang dibahas | UU Nomor 27 Tahun 2009 | Rancangan Perubahan | |
Kesekjenan | Terpisah antara MPR, DPR, DPD, dan DPRD | Satu kesekjenan untuk semua lembaga diusulkan oleh presiden dan diangkat oleh DPR | |
Badan Anggaran | Bersifat tetap | Ad hoc/sementara | |
Badan Legislasi | Bersifat tetap | Ad hoc/sementara | |
Badan Kehormatan | Badan Kehormatan | Mahkamah Kehormatan Parlemen | |
Badan Urusan Rumah Tangga | Bersifat tetap | Ad hoc/sementara | |
Dana aspirasi daerah pemilihan | Tak diatur | Diusulkan ada alokasi dana | |
Ketua DPR | Partai pemenang menduduki kursi ketua | Ketua DPR dipilih di antara calon-calon | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo