Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Demonstrasi menuntut pencabutan Undang-Undang atau UU TNI di depang Gedung DPR, Jalan Gator Subroto, Jakarta Pusat memanas. Demonstran tampak menaiki pagar depan gedung parlemen. Namun polisi menyambut mereka dengan tembakan water cannon untuk membubarkan peserta aksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa sempat terpecah akibat tembakan water cannon itu. Namun sebagian dari mereka mulai membakar kembang api. Di depan gerbang, demonstran juga membakar ban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada demonstrasi kali ini massa juga turut menuntut agar wacana revisi UU Polri dibatalkan. "Revisi UU Polri tidak perlu," ujar salah satu orator demonstrasi.
Koalisi Masyarakat Sipil sebelumnya telah mengonfirmasi akan kembali ke jalan hari ini Kamis 27 Maret 2025 untuk menyerukan penolakan terhadap UU TNI. Kabar rencana gelaran aksi ini dikonfirmasi oleh Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.
“Militerisme dan oligarki semakin mengancam demokrasi kita. Revisi UU TNI membuka jalan bagi militer masuk ke ranah sipil, bertentangan dengan amanat reformasi yang menegaskan supremasi sipil,” kata Usman dalam keterangannya pada Kamis, 27 Maret 2025.
Sebagaimana diketahui pengesahan RUU TNI menuai kritik keras masyarakat yang menentang kembalinya aparat TNI ke jabatan sipil. Menurut masyarakat, pengesahan Revisi UU TNI tersebut membawa kembali dwifungsi TNI.
Sebagai wujud penolakan, masyarakat sipil bersama elemen mahasiswa di berbagai wilayah turun ke jalan untuk menggelar demonstrasi. Di Jakarta, misalnya, unjuk rasa sudah dimulai di hari pengesahan sejak pagi di area gedung DPR di Jakarta Pusat. Demo dengan tuntutan serupa juga digelar oleh berbagai elemen masyarakat di Yogyakarta, Bandung, hingga Surabaya.
Usman melanjutkan, disamping tuntutan pencabutan UU TNI, aksi kali ini juga akan menyuarakan penolakan atas Rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri. Usman menilai revisi berupa perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut berpotensi memberikan otoritas eksesif berupa intervensi polisi di ranah sipil. “RUU Polri berpotensi memberikan kewenangan berlebih yang dapat memperkuat kontrol represif negara.”
Hanin Marwah berkontribusi dalam artikel ini.