Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi marah ke sejumlah menteri dan lembaga dalam rapat kabinet paripurna.
Salah satu kemarahan Jokowi terkait dengan kinerja Bank Indonesia dan OJK.
Rencana perombakan kabinet diperkirakan tak terwujud dalam waktu dekat.
KEMARAHAN Presiden Joko Widodo tertumpah di hadapan para menterinya dalam sidang kabinet paripurna perdana pada Kamis, 18 Juni lalu. Ini sidang pertama secara tatap muka setelah hampir tiga bulan rapat kabinet digelar secara online. Jokowi menilai ada anak buahnya yang menganggap pandemi corona sebagai situasi normal. Ada pula yang dia sentil tak memiliki sensitivitas krisis. “Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan?” ujar Jokowi dalam akun YouTube Sekretariat Kabinet.
Presiden menyoroti belanja kementerian yang lamban. Ia berharap belanja kementerian meningkatkan peredaran uang dan ikut mendorong belanja masyarakat. Dalam situasi krisis, kata Jokowi, para menteri seharusnya membuat inovasi, seperti mengeluarkan peraturan untuk menghilangkan hambatan belanja. Jokowi bahkan menyatakan siap mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Kemarahan Jokowi sinkron dengan data Kementerian Keuangan tentang rendahnya serapan anggaran. Hingga Mei lalu, serapan anggaran kementerian dan lembaga pemerintah baru mencapai 10,41 persen dari total anggaran Rp 1.851,1 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, serapan ini mencapai 18,86 persen. Tahun ini, Kementerian Sosial menjadi lembaga yang penyerapannya paling rendah, yakni sebesar 0,89 persen, diikuti Kementerian Kesehatan (2,17 persen) dan Kementerian Agama (2,19) persen.
Presiden juga mempersoalkan tersendatnya pembayaran insentif untuk tenaga medis dalam penanganan Covid-19. Padahal pemerintah sudah menyiapkan insentif tenaga medis sebesar Rp 1,9 triliun untuk pusat dan Rp 3,7 triliun untuk daerah. Insentif untuk 259.830 tenaga kesehatan baru cair sebesar Rp 10,45 miliar pada awal Juni lalu. Setelah menyentil dalam rapat kabinet, Jokowi kembali mengingatkan Kementerian Kesehatan pada Senin, 29 Juni lalu. Menurut Jokowi, aturan yang menghambat pencairan seharusnya bisa diperbaiki sehingga insentif segera diterima tenaga medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga memamerka sembako bantuan Presiden Joko Widodo di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 25 Juni 2020. Antara/Budi Candra Setya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menjelaskan, total insentif tenaga medis yang telah disalurkan mencapai Rp 408 miliar. Kadir beralasan, penyaluran ini lamban karena melalui proses verifikasi berjenjang dari tahap penyedia fasilitas kesehatan, kabupaten/kota, provinsi, verifikasi di Kementerian Kesehatan, lalu ke Kementerian Keuangan. “Tahapannya panjang untuk menjaga akuntabilitas,” tutur Kadir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu penyebab lambatnya serapan anggaran ini adalah faktor birokrasi. Situasi pandemi menyebabkan kuasa pemegang anggaran berhati-hati membelanjakan anggaran. “Ini menjadi dilema,” ujar Sri Mulyani. Menurut juru bicara pemerintah untuk percepatan penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, rendahnya belanja di Kementerian Kesehatan disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti langkanya peralatan yang dibutuhkan. Faktor lain adalah ditutupnya jalur distribusi logistik oleh negara produsen, seperti di India. “Masalahnya banyak dan dalam rapat menteri masalahnya diurai satu per satu,” kata Yurianto.
Keruwetan birokrasi menjadi perhatian Jokowi sejak Mei lalu. Menurut seorang pejabat di Istana, Jokowi berniat merevisi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada 27 Mei lalu, Presiden mengumpulkan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Roni Dwi Susanto, serta Menteri Keuangan di Istana. Seorang pejabat yang mengetahui isi pertemuan itu bercerita bahwa salah satu kesimpulan rapat adalah perlunya penyederhanaan birokrasi anggaran, termasuk revisi peraturan.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang ditugasi mengeksekusi hasil rapat itu, belum bisa dimintai tanggapan tentang rencana revisi peraturan presiden tersebut. Ia tak menjawab pesan dan panggilan telepon Tempo. Adapun Roni Dwi Susanto enggan menjelaskan hasil pertemuan. “Silakan tanyakan ke Istana,” kata Roni.
• • •
PUBLIK tak mengetahui kemarahan Presiden sampai pidato itu dirilis ke publik pada Ahad, 28 Juni, atau 10 hari kemudian. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan dokumentasi sidang paripurna itu awalnya hanya bersifat internal. Namun mereka kemudian meminta izin kepada Presiden untuk menyiarkannya karena ada materi yang bisa diketahui publik. “Kami pelajarinya agak lama juga, pelajari berulang-ulang,” ujar Bey.
Menteri Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Teten Masduki menyebutkan sebenarnya kegusaran Presiden terhadap kinerja menteri telah disampaikan berkali-kali dalam rapat kabinet. Hanya, kata Teten, selama ini kegusaran Presiden lebih banyak berbentuk tekanan kepada menteri agar mempercepat kebijakan pemulihan ekonomi nasional. “Kalau pressing, hampir tiap minggu. (Yang marah) memang baru kemarin,” kata Teten.
Dua pejabat di pemerintahan bercerita bahwa Jokowi juga jengkel terhadap Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penanganan Covid-19 ini. Menurut keduanya, Jokowi merasa penanganan wabah hanya dibebankan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bank Indonesia sebenarnya diharapkan bisa mencetak uang lebih banyak untuk membantu perekonomian. Namun rencana itu masih belum terealisasi.
Soal OJK, Presiden menganggap lembaga itu tak sigap mengantisipasi kemunculan bank-bank yang berpotensi bermasalah. Presiden khawatir kelemahan itu berdampak buruk pada perekonomian. Ia pun berencana mengembalikan otoritas pengawasan lembaga perbankan ke Bank Indonesia. Teten Masduki membenarkan soal ini. “Makanya Presiden mengatakan, kalau perlu, membubarkan lembaga.”
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Ubaidi S. Hamidi tak mengatakan secara gamblang soal rencana pengembalian otoritas pengawasan perbankan dari OJK ke Bank Indonesia. Menurut Ubaidi, pelaksanaan kebijakan dan koordinasi antarinstitusi terus menjadi bahan diskusi. Dia menegaskan, penting bagi pemerintah untuk memastikan koordinasi antarlembaga buat menjalankan gabungan kebijakan tentang fiskal, moneter, dan keuangan. Adapun Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan gagasan pengembalian wewenang OJK ke Bank Indonesia tak jelas asal-usulnya.
• • •
DALAM kemarahannya, Presiden Joko Widodo juga memunculkan wacana perombakan kabinet. Sempat muncul pada Februari lalu, wacana itu menguap ketika wabah corona menghantam Indonesia. Sejumlah pihak mendesak Presiden mencopot Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, yang dianggap menyepelekan virus corona sejak awal. Dalam rapat paripurna pada 18 Juni lalu, Presiden menyatakan membuka sejumlah opsi terhadap kinerja menterinya. “Bisa saja reshuffle,” ujar Presiden.
Setelah pernyataan Presiden, dua pejabat menuturkan, kalangan internal koalisi mulai menghangat. Termasuk ketika Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono bertemu di kantor Golkar di kawasan Slipi pada Kamis, 25 Juni lalu. Sebelum pelantikan kabinet tahun lalu, Agus Harimurti memang sempat dikabarkan menjadi salah satu pembantu Presiden. Dua politikus Golkar mengatakan pertemuan ini bisa dibaca sebagai sinyal Golkar membangun kekuatan penyeimbang dalam koalisi.
Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas percepatan penanganan dampak pandemi Covid-19 di Istana Merdeka, 29 Juni 2020. Antara/Akbar Nugroho Gumay
Saat berjumpa dengan wartawan setelah pertemuan itu, Airlangga dan Agus mengaku membahas soal koalisi dalam pemilihan kepala daerah dan aturan tentang pemilihan umum. Koalisi yang dijalin Golkar, kata Airlangga, tak hanya dengan partai pendukung pemerintah, tapi juga dengan partai di luar koalisi. Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Ossy Dermawan belum menjawab soal kabar wacana masuknya Demokrat ke koalisi pemerintah.
Tingkat kepuasan terhadap kinerja menteri Jokowi memang kedodoran. Sigi Indikator Politik menunjukkan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi mencapai 70,8 persen pada Februari 2020. Setelah tiga bulan dihantam Covid-19, kepuasan publik turun menjadi 56,4 persen. Sedangkan sigi lembaga Arus Survei Indonesia menunjukkan rata-rata tingkat kepuasan terhadap kinerja menteri berada di bawah angka 50 persen.
Meski Jokowi memunculkan opsi merombak kabinet, sejumlah petinggi partai koalisi yang ditemui Tempo ragu rencana itu bakal terwujud dalam waktu dekat. Indikasinya, Presiden belum menemui ketua umum partai mereka untuk membicarakan reshuffle. Menurut mereka, pertemuan itu selalu dilakukan Jokowi menjelang perombakan kabinet.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan ada pihak tertentu yang mencari aman dan tidak mengambil inisiatif dalam penanganan Covid-19. Karena itu, kata Hasto, wajar Presiden mengevaluasi kinerja para pembantunya. Politikus Partai NasDem, Saan Mustopa, menyebutkan ada banyak hasil survei yang menjadi ukuran apakah menteri berkinerja baik atau tidak. “Presiden perlu mendengarkan publik,” ujar Saan.
WAYAN AGUS PURNOMO, DEWI NURITA, EGI ADYATAMA, EKO WAHYUDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo