DI Jawa Timur, bahkan di manalnana arus bertambahnya kendaraan
baru memang bukan main. Tahun 1974 yang silam, jumlahnya hanya
menunjuk angka 265.113 biji. Sampai bulan Nopember tahun
berikutnya, jumlah itu bertambah lagi dengan 53.473 kendaraan:
40.935 sepeda motor, 6.138 mobil pribadi, 2.858 kendaraan umum,
351 bus, 2.752 truk dan 439 gandengan. Tak aneh, bila sebelum
tutup buku APBD 1975/1976 tarjet Dinas Pendapatan yang dulu cuma
Rp 3.250 juta, lewat PAK yang disyahkan dewan wakil rakyat
daerah menjelang tutup tahun yang laju, berubah menjadi Rp 5.150
juta. Tambahan angka itu menurut Gubernur tidaklah spekulatif.
Yakni: setelah menengok realisasi tahun plus kenaikan tarif
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebesar 100-200%. Belum lagi dari
penerimaan Bea Balik Nama (BBN), penning, formulir dan uang
komisi lelang tembakau. "Sampai bulan Nopemiber ini penerimaan
kas rata-rata dari BBN setiap bulan tak kurang dari Rp 260
juta", tutur Noer menjawab pertanyaan anggota Dewan. Karena itu,
Noer yakin, kenaikan tarjet itu bakal terwujud.
Tapi tak dimungkiri, bahwa soal sistim pemungutannya bakal
banyak mempengaruhi hasilnya nanti. Maka, bermula dari pidato
Noer dalam Rapat Dinas Pendapatan Tk.I Jawa Timur bulan Mei 2
tahun yang silam, dicarilah sistim pemungutan yang "lebih
singkat dan sederhana", tukas drs. Mustakim. Kepala Dinas itu
kepada TEMPO. Sebab itu bisa "mendorong peningkatan pendapatan
yang terus menerus", tuturnya pula. Sistim yang dimaksud oleh
Noer, adalah yang bisa memudahkan wajib pajak, hingga tak perlu
pulang balik. "Mereka cukup membayar pada 1 loket, dan 5 menit
selesai", tukas Gubernur Noer, ketika membuka penataran
petugas-petugas dinas itu. Dan ketika hari pertama tahun ini
sistim itu diterapkan, tak ayal ada juga beberapa orang yang
mencobanya. Alkisah seorang wajib pajak baru, melongokkan uang
plus berkas-berkasnya. Tanpa komentar si wajib pajak cuma
melirik petugas yang melayaninya. Lalu, "oh ya, betul. 5 menit
selesai", katanya.
Meski begitu, tak berarti bahwa sistim ini lancar-lancar saja.
Setidak-tidaknya untuk sementara. Mengapa? Sekarang, "kita
menggunakan sistim panggilan per kurir", kata Mustakim. Di
sinilah soalnya: ketika pertama kali dicoba di Surabaya Utara,
dari 50 surat panggilan, ternyata hanya 8 biji saja yang sampai
ke tangan wajib pajak sesuai dengan berkas-berkas yang ada.
Mengapa bisa begitu? Masalahnya ternyata begini: dengan kwitansi
kosong plus transaksi tahu sama tahu pemilik pertama kendaraan
ini, tak tahu lagi di mana kendaraannya berada kini. Meski tak
menyebut angka yang persis, tapi yang model ini "banyak sekali",
tutur Mustakim sembari tertawa. Belum lagi wajib pajak yang
menggunakan alamat siluman: klenteng, kuburan atau ternyata tak
pernah ada di daerah tersebut. Ini yang sering membuat Mustakim
geleng-geleng kepala. Memang, tak semua nama yang tercantum
sebagai wajib pajak menolak surat panggilan. Namun motifnya
lain. Yakni, "mereka takut ketahuan membuka kwitansi kosong",
tukas Mustakim. Dan tentu saja, surat panggilan itu tak bakal
sampai ke tangan pemegangnya sekarang.
Makelar
Dalam tempo yang belum sebulan ini, barangkali memang sulit
untuk menyebut hambatan itu sebagai tidak sukses. "Kami masih
menampung dan menunggu laporan dari masyarakat", kata Mustakim.
Di samping, sementara ini memang terus diusahakan untuk
memperkecil transaksi tahu sama tahu hingga pemasukan BBN
meningkat, juga makelar-makelaran yang merugikan wajib pajak.
"Makelar dengan sendirinya bakal hilang, dengan cara pelayanan
yang baik", tukas Mustakim pula bernada optimis. Syukur juga
kalau makelar itu -- justru -- bukan orang dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini