IA dipanggil Kembi oleh keluarga dekatnya. Tapi keintiman
seperti itu terbatas. Gubernur Worang sering dianggap angker.
Hampir seluruh jari tangannya selalu dibelit beberapa bentuk
cincin, bermata besar aneka warna. Wajahnya lebar ia tampak
seakan selalu enggan menyungging senyum. Suaranya berat ia biasa
membawa ajudan berpakaian lengkap ABRI ke mana-mana. Penjagaan
cukup ketat di rumahnya. Juga di ruang kerja di kantornya.
Tapi ternyata Gubernur Sulawesi Utara ini tidaklah seangker
seperti diduga orang. Hein Victor Worang (57 tahun) suka juga
berseloroh. Misalnya: "Dalam pemilu nanti kesempatan ibu-ibu
untuk menusuk - bukan sebaliknya", guraunya ketika memberikan
pengarahan pemilu bagi anggota-anggota Pertiwi Sulawesi Utara
pertengahan bulan lalu di Manado. Sesekali juga gubernur yang
berpangkat mayor jenderal ini tak enggan turun di arena menari
bersama-sama khalayak. Atau menggendong si Pinkan, puteri
pertamanya dengan Nyonya Henny Worang Tompunu. Nyonya Henny
adalah isteri HV Worang yang kedua setelah Nyonya Ruth Worang
Watupongoh meninggal dunia.
Mungkin lebih tepat dikatakan, sesekali Worang tampak serem, dan
di ketika lain ia tersenyum ramah kepada setiap orang. Seperti
naik turunnya kurve. Ia sering secara langsung memutasikan
seorang camat bila ada laporan sampai kemejanya mengenai
kesalahan bawahannya itu. Namun ia juga dengan bersemangat
menyampaikan pujian kepala bawahannya, bila ternyata si bawahan
berhasil mencapai suatu prestasi. Ketika meresmikan sebuah
patung "Opo Worang" dan jalan sepanjang 3 km yang menghubungkan
desa Kakaskasen dengan desa Kayawu di Kecamatan Tomohon beberapa
waktu lalu, secara berapi-api Gubernur Worang menyanjung
kebolehan masyarakat Tomohon "di segala bidang".
Selain sebagai gubernur yang selalu disambut rakyat dengan pagar
betis, Worang adalah juga seorang bapak yang mencintai dan dekat
dengan keluarganya. Di hari-hari senggang yang cukup mahal
baginya, selalu ia manfaatkan bersama anak isteri. Kalau tidak
bermain golf bersama nyonya Henny Worang, keluarga Gubernur
Sulawesi Utara ini memilih salah satu tempat beristirahat di
kebun. Sambil bercengkerama, keluarga ini duduk di bawah pohon
kelapa di tepi kolam ikan mas. Di malam minggu keluarga Worang
sering tidur atau berkunjung ke kebun milik mertuanya, Alex
Tompunu yang tinggal di perkebunan Kema, beberapa km dari kota
Manado. Di sini Worang agaknya mencoba melupakan kedudukannya
sebagai jenderal dan gubernur untuk sejenak kembali sebagai anak
petani kelahiran desa Tontalete, Tonsea (Minahasa)
"Kadang-kadang bapak minta disediakan sayur daun pepaya dan ikan
asin dimasak santan", tutur seorang pembantu di kebun itu,
meskipun di kebun ini banyak ikan mas.
Seruan Gubernur Worang agar jika ia berteriak "pohon" harus
dijawab khalayak dengan "beringin" di pertemuan-pertemuan atau
di mana saja tentu termasuk cara-cara yang lazim dalam persiapan
pemilu nanti. Tapi ia mencoba juga cara diplomasi baru pada
sebuah pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat di Tomohon
beberapa waktu lalu.
Waktu itu acara goyang pinggul menyebabkan Worang harus turun ke
panggung mengikuti hadirin di tengah alunan sebuah lagu rakyat
daerah. Tapi ternyata sang gubernur tak hanya sekedar
menari-nari. Ketika irama sedang cukup hangat, tiba-tiba
selembar saputangan bergambar pohon beringin sudah
berkibar-kibar di tangan Worang. Lalu dengan langkah berirama ia
mendekati salah seorang tamu yang masih duduk, pendeta Ds. R.M.
Luntungan, Ketua Synode GMIM.
Sapu-tangan bergambar beringin diserahkan Worang kepada pimpinan
gereja yang paling banyak anggotanya di Minahasa itu. Tak urung
pendeta Luntungan terpaksa ikut menari sambil melambai-lambaikan
lambang Golkar, dihantar sorak-sorai hadirin. Tapi Luntungan
cukup arif untuk menangkis diplomasi panggung dari gubernur yang
bergelar Tonaas Wangko Um Banua (tokoh pembangunan) itu. Sambil
terus menari sang pendeta pelan-pelan mengembalikan sapu-tangan
kepada salah seorang pemain musik yang mengiringi lagu tarian.
Lalu kembali duduk. "Begitu cara yang baik, jangan berkaok-kaok
atau merongrong. Lebih baik diatur secara damai, nanti kami
bagikan kursi", ucap Worang kemudian sambil tersenyum bergurau.
Barangkali begitulah gaya kepemimpinan Worang sebagai Gubernur
yang 2 Maret 1977 ini tepat 10 tahun didudukinya. Sikap keras
ditunjukkannya ketika, pada saat-saat permulaan masa jabatannya
di tahun 1967, ia harus berhadapan dengan berbagai pihak yang
menantangnya. Pada waktu itu misalnya terkenal Peristiwa 2
September (1968) yang dengan pelopor Corps Tuhanura berusaha
mengusir Worang dari jabatannya sebagai gubernur.
Tapi tak lama setelah ia berhasil menjinakkan atau menghalau
lawan-lawannya, tantangan berikutnya adalah membereskan propinsi
yang lumpuh akibat pergolakan PRRI/Permesta. Seperti
diungkapkannya di hadapannya waktu itu terbentang sikap rakyat
yang serba apatis. "Tindakan pertama yang saya lakukan adalah
mengembalikan harga diri rakyat daerah ini", ucapnya kepada
TEMPO.
Belum lagi keadaan perekonomian yang kusut: kopra sebagai sumber
utama hidup penduduk praktis tak memberi nafas. Baik karena
keadaan kebun kelapa yang tak terurus selama bertahun-tahun,
maupun sebab prasarana jalan hampir tiada bekas lagi. "Dari
4.200 km jalan hanya 75 km yang masih beraspal", ungkap Worang.
Mengurus jalanjalan itu pula kiranya yang jadi pangkal tolak
pembangunan di Sulawesi Utara hampir sepanjang Pelita I dan II
ini. Sasaran tentu pada kantong-kantong kopra lan cengkeh.
Sampai tahun kemarin dari seluruh jalan yang ada, hampir 2000 km
di antaranya sudah dapat dilalui kendaraan bermotor.
Maka pusat-pusat perkebunan cengkeh dan kopra pun terbuka. Hasil
bumi itu dua penghasilan pokok daerah ini, di samping pala.
Bonny Lengkong, residen dan pembantu utama Gubernur Sulawesi
Utara di bidang ekonomi, menyodorkan angka perbandingan begini:
sebelum Pelita I produksi kopra hanya sekitar 8.000 ton
per-bulan, sekarang hampir mencapai 18.000 ton setiap bulan.
Cengkeh: 8.000 ton per-tahun pada masa pra-Pelita, dalam panen
raya tahun ini akan mencapai 18.000 ton. Sehingga, menurut
Lengkong, ditambah dengan hasil pala, dari ketiga jenis hasil
bumi itu saja penduduk propinsi ini akan berpenghasilan Rp 80
milyar tahun ini.
Rakyat Sulawesi Utara memang tak miskin. Di desa-desa pelosok
sudah sulit ditemukan rumah penduduk yang beratap rumbia. Semua
seakan hendak menyeragamkan diri dengan atap seng. Listrik dan
jaringan TVRI juga sudah mulai merayap ke pelosok jauh di sela
pegunungan. Terutama di lumbung-lumbung cengkeh dan kopra. Jika
nanti beberapa irigasi untuk persawahan yang sedang dikerjakan
sekarang sudah mengalirkan air, agaknya sumber pangan yang cukup
akan menyebabkan penduduk propinsi ini merasa lengkap
segala-galanya. Sehingga barangkali dapat dibenarkan jika ada
orang yang beranggapan, bahwa (selain pulau Jawa dan beberapa
propinsi di Sumatera), Sulawesi Utara adalah daerah yang paling
cepat "hidup" dibanding propinsi-propinsi Indonesia lainnya.
"Kita bukan lagi menuju masyarakat adil dan makmur, tapi sudah
mulai merasakannya", kata seorang pengusaha hotel di Kotamobagu,
ibukota Kabupaten Bolaang Mongondouw - dengan semangat seorang
pengusaha yang puas.
Jika demikian, berhasilkah Kembi Worang sebagai gubernur
membangun propinsi ini? Secara umum tampaknya memang demikian.
Setidak-tidaknya jika mau dilihat bahwa sebagian besar dari
hampir 2 juta penduduk daerah ini sudah mampu menikmati jerih
payah mereka.
Namun umumnya orang melihat, bahwa Gubernur Worang terlalu
banyak direpotkan oleh berbagai isyu dari pihak-pihak yang
tampaknya kurang menyenanginya. Suara di luar sering menyebutnya
sebagai kepala daerah yang terlalu ketat dipagari
pembantu-pembantu terdekatnya. Worang dianggap kurang
berkomunikasi dengan luar. Juga ia sering disebut sebagai
pejabat yang terlalu "gemar bergaul dengan dunia dukun".
Ditunjukkan misalnya kesukaannya memugar makam-makam tua
(waruga) dan mendirikan patung hampir di seluruh kawasan
wilayahnya. Tapi benarkah? "Membangun patung dan memugar
waruga-waruga itu adalah dalam rangka menggali kebudayaan",
kilah Karmite, Kepala Direktorat Khusus kantor Gubernur Sulawesi
Utara. Ia membantah soal dukun itu.
Tapi tak kalah keras dengan itu, adalah tudingan bahwa Gubernur
Worang terlalu banyak memberi prioritas kepada keluarganya di
bidang usaha. Ditunjuk misalnya kasus Alex Tompunu, mertuanya.
Tompunu terbilang pengusaha kelas kakap di daerah ini. Juga
Bernadus bersaudara, yang banyak menangani proyek-proyek besar.
Tapi jawaban pihak yang disangka: "Jangan sangka saya jadi
pengusaha karena Worang", kata Tompunu. "Sebelum pendaratan
Batalion Worang di Manado, saya sudah punya banyak pohon kelapa
dan mobil". Dan di salah satu proyeknya, Otty Bernadus bertanya
kepada Phill M. Sulu dari TEMPO "Apakah hidup saya tidak
berkeringat dan hanya bergantung pada gubernur?"
Kembi Worang sendiri selalu menolak tuduhan-tuduhan tadi. "Saya
tak pernah memberi prioritas kepada keluarga saya, kalau tak
percaya tanyakan kepada ir. Lontoh, kepala DPU", kata Gubernur
Sulawesi Utara itu. Dan pada ketika lain, katanya: "Jangan
fitnah pegawai atau keluarga saya. Kalau jantan buka apa
kekurangan saya, salah saya dan kelemahan saya. Jangan hanya
memfitnah".
Tapi di daerah yang kaya itu memangkasak-kusuk seolah tak pernah
habisnya, sehubungan dengan kursi gubernuran. Itu tak berarti
orang-orang yang memuji Worang merupakan pihak yang tidak
dominan. Pujian itu bisa tinggi sekali. Seorang camat misalnya
menyebut kepemimpinan Worang di Sulawesi Utara sebagai "karunia
Tuhan".
Tapi tentu saja Worang ada batasnya. Di antara batas itu adalah
masa jabatan.
Di Sulawesi Utara sekarang orang sedang ramai berbisik-bisik,
siapa bakal pengganti H.V. Worang setelah masa jabatannya habis
di bulan Desember tahun ini. Pertanyaan ini barangkali terlalu
pagi. Siapa tahu Worang tetap terus satu masa jabatan lagi. Suka
atau tak suka, di bawah dia Sulawesi Utara memperlihatkan gigi
ekonomi yang kuat. Lebih-lebih apabila seluruh jalur jalan yang
pernah ada sudah mampu menghubungkan seluruh wilayah. Dengan
demikian jutaan pohon kelapa yang membuahkan kopra itu, ribuan
ton pala dan ratusan ribu pohon cengkeh serta hasil bumi lainnya
yang selama ini agak tersendat, akan membanjir ke mana-mana. Di
samping itu, kota Administratif Bitung akan menjadi pusat
industri Pelabuhannya kini mampu disandari kapal berbobot mati
di atas 60.000 ton. Dengan ini propinsi ini akan jadi pintu
gerbang Indonesia, untuk kawasan di sebelah timur dan
negara-negara tetangga di utara.
Tapi toh warga Sulawesi Utara sekarang sudah mulai berfikir
tentang seorang pengganti Worang. Sang pengganti mustilah
seorang kuat, seperti Worang sendiri. Kuat, yang tidak berarti
besi. Orang Sulawesi Utara tidak terkenal sebagai orang berwajah
kuyu, muram, dan ketakutan. Mereka suka kebebasan. Dan di
situlah kekuatan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini