Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di sulawesi utara ada worang cerita dari sulut

Sul-ut yang dipimpin oleh gubernur hv worang nampaknya sangat makmur. hampir setiap jengkal tanah ditumbuhi pohon cengkeh yang diperkirakan mei dan juni nanti akan panen raya. (dh)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA dipanggil Kembi oleh keluarga dekatnya. Tapi keintiman seperti itu terbatas. Gubernur Worang sering dianggap angker. Hampir seluruh jari tangannya selalu dibelit beberapa bentuk cincin, bermata besar aneka warna. Wajahnya lebar ia tampak seakan selalu enggan menyungging senyum. Suaranya berat ia biasa membawa ajudan berpakaian lengkap ABRI ke mana-mana. Penjagaan cukup ketat di rumahnya. Juga di ruang kerja di kantornya. Tapi ternyata Gubernur Sulawesi Utara ini tidaklah seangker seperti diduga orang. Hein Victor Worang (57 tahun) suka juga berseloroh. Misalnya: "Dalam pemilu nanti kesempatan ibu-ibu untuk menusuk - bukan sebaliknya", guraunya ketika memberikan pengarahan pemilu bagi anggota-anggota Pertiwi Sulawesi Utara pertengahan bulan lalu di Manado. Sesekali juga gubernur yang berpangkat mayor jenderal ini tak enggan turun di arena menari bersama-sama khalayak. Atau menggendong si Pinkan, puteri pertamanya dengan Nyonya Henny Worang Tompunu. Nyonya Henny adalah isteri HV Worang yang kedua setelah Nyonya Ruth Worang Watupongoh meninggal dunia. Mungkin lebih tepat dikatakan, sesekali Worang tampak serem, dan di ketika lain ia tersenyum ramah kepada setiap orang. Seperti naik turunnya kurve. Ia sering secara langsung memutasikan seorang camat bila ada laporan sampai kemejanya mengenai kesalahan bawahannya itu. Namun ia juga dengan bersemangat menyampaikan pujian kepala bawahannya, bila ternyata si bawahan berhasil mencapai suatu prestasi. Ketika meresmikan sebuah patung "Opo Worang" dan jalan sepanjang 3 km yang menghubungkan desa Kakaskasen dengan desa Kayawu di Kecamatan Tomohon beberapa waktu lalu, secara berapi-api Gubernur Worang menyanjung kebolehan masyarakat Tomohon "di segala bidang". Selain sebagai gubernur yang selalu disambut rakyat dengan pagar betis, Worang adalah juga seorang bapak yang mencintai dan dekat dengan keluarganya. Di hari-hari senggang yang cukup mahal baginya, selalu ia manfaatkan bersama anak isteri. Kalau tidak bermain golf bersama nyonya Henny Worang, keluarga Gubernur Sulawesi Utara ini memilih salah satu tempat beristirahat di kebun. Sambil bercengkerama, keluarga ini duduk di bawah pohon kelapa di tepi kolam ikan mas. Di malam minggu keluarga Worang sering tidur atau berkunjung ke kebun milik mertuanya, Alex Tompunu yang tinggal di perkebunan Kema, beberapa km dari kota Manado. Di sini Worang agaknya mencoba melupakan kedudukannya sebagai jenderal dan gubernur untuk sejenak kembali sebagai anak petani kelahiran desa Tontalete, Tonsea (Minahasa) "Kadang-kadang bapak minta disediakan sayur daun pepaya dan ikan asin dimasak santan", tutur seorang pembantu di kebun itu, meskipun di kebun ini banyak ikan mas. Seruan Gubernur Worang agar jika ia berteriak "pohon" harus dijawab khalayak dengan "beringin" di pertemuan-pertemuan atau di mana saja tentu termasuk cara-cara yang lazim dalam persiapan pemilu nanti. Tapi ia mencoba juga cara diplomasi baru pada sebuah pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat di Tomohon beberapa waktu lalu. Waktu itu acara goyang pinggul menyebabkan Worang harus turun ke panggung mengikuti hadirin di tengah alunan sebuah lagu rakyat daerah. Tapi ternyata sang gubernur tak hanya sekedar menari-nari. Ketika irama sedang cukup hangat, tiba-tiba selembar saputangan bergambar pohon beringin sudah berkibar-kibar di tangan Worang. Lalu dengan langkah berirama ia mendekati salah seorang tamu yang masih duduk, pendeta Ds. R.M. Luntungan, Ketua Synode GMIM. Sapu-tangan bergambar beringin diserahkan Worang kepada pimpinan gereja yang paling banyak anggotanya di Minahasa itu. Tak urung pendeta Luntungan terpaksa ikut menari sambil melambai-lambaikan lambang Golkar, dihantar sorak-sorai hadirin. Tapi Luntungan cukup arif untuk menangkis diplomasi panggung dari gubernur yang bergelar Tonaas Wangko Um Banua (tokoh pembangunan) itu. Sambil terus menari sang pendeta pelan-pelan mengembalikan sapu-tangan kepada salah seorang pemain musik yang mengiringi lagu tarian. Lalu kembali duduk. "Begitu cara yang baik, jangan berkaok-kaok atau merongrong. Lebih baik diatur secara damai, nanti kami bagikan kursi", ucap Worang kemudian sambil tersenyum bergurau. Barangkali begitulah gaya kepemimpinan Worang sebagai Gubernur yang 2 Maret 1977 ini tepat 10 tahun didudukinya. Sikap keras ditunjukkannya ketika, pada saat-saat permulaan masa jabatannya di tahun 1967, ia harus berhadapan dengan berbagai pihak yang menantangnya. Pada waktu itu misalnya terkenal Peristiwa 2 September (1968) yang dengan pelopor Corps Tuhanura berusaha mengusir Worang dari jabatannya sebagai gubernur. Tapi tak lama setelah ia berhasil menjinakkan atau menghalau lawan-lawannya, tantangan berikutnya adalah membereskan propinsi yang lumpuh akibat pergolakan PRRI/Permesta. Seperti diungkapkannya di hadapannya waktu itu terbentang sikap rakyat yang serba apatis. "Tindakan pertama yang saya lakukan adalah mengembalikan harga diri rakyat daerah ini", ucapnya kepada TEMPO. Belum lagi keadaan perekonomian yang kusut: kopra sebagai sumber utama hidup penduduk praktis tak memberi nafas. Baik karena keadaan kebun kelapa yang tak terurus selama bertahun-tahun, maupun sebab prasarana jalan hampir tiada bekas lagi. "Dari 4.200 km jalan hanya 75 km yang masih beraspal", ungkap Worang. Mengurus jalanjalan itu pula kiranya yang jadi pangkal tolak pembangunan di Sulawesi Utara hampir sepanjang Pelita I dan II ini. Sasaran tentu pada kantong-kantong kopra lan cengkeh. Sampai tahun kemarin dari seluruh jalan yang ada, hampir 2000 km di antaranya sudah dapat dilalui kendaraan bermotor. Maka pusat-pusat perkebunan cengkeh dan kopra pun terbuka. Hasil bumi itu dua penghasilan pokok daerah ini, di samping pala. Bonny Lengkong, residen dan pembantu utama Gubernur Sulawesi Utara di bidang ekonomi, menyodorkan angka perbandingan begini: sebelum Pelita I produksi kopra hanya sekitar 8.000 ton per-bulan, sekarang hampir mencapai 18.000 ton setiap bulan. Cengkeh: 8.000 ton per-tahun pada masa pra-Pelita, dalam panen raya tahun ini akan mencapai 18.000 ton. Sehingga, menurut Lengkong, ditambah dengan hasil pala, dari ketiga jenis hasil bumi itu saja penduduk propinsi ini akan berpenghasilan Rp 80 milyar tahun ini. Rakyat Sulawesi Utara memang tak miskin. Di desa-desa pelosok sudah sulit ditemukan rumah penduduk yang beratap rumbia. Semua seakan hendak menyeragamkan diri dengan atap seng. Listrik dan jaringan TVRI juga sudah mulai merayap ke pelosok jauh di sela pegunungan. Terutama di lumbung-lumbung cengkeh dan kopra. Jika nanti beberapa irigasi untuk persawahan yang sedang dikerjakan sekarang sudah mengalirkan air, agaknya sumber pangan yang cukup akan menyebabkan penduduk propinsi ini merasa lengkap segala-galanya. Sehingga barangkali dapat dibenarkan jika ada orang yang beranggapan, bahwa (selain pulau Jawa dan beberapa propinsi di Sumatera), Sulawesi Utara adalah daerah yang paling cepat "hidup" dibanding propinsi-propinsi Indonesia lainnya. "Kita bukan lagi menuju masyarakat adil dan makmur, tapi sudah mulai merasakannya", kata seorang pengusaha hotel di Kotamobagu, ibukota Kabupaten Bolaang Mongondouw - dengan semangat seorang pengusaha yang puas. Jika demikian, berhasilkah Kembi Worang sebagai gubernur membangun propinsi ini? Secara umum tampaknya memang demikian. Setidak-tidaknya jika mau dilihat bahwa sebagian besar dari hampir 2 juta penduduk daerah ini sudah mampu menikmati jerih payah mereka. Namun umumnya orang melihat, bahwa Gubernur Worang terlalu banyak direpotkan oleh berbagai isyu dari pihak-pihak yang tampaknya kurang menyenanginya. Suara di luar sering menyebutnya sebagai kepala daerah yang terlalu ketat dipagari pembantu-pembantu terdekatnya. Worang dianggap kurang berkomunikasi dengan luar. Juga ia sering disebut sebagai pejabat yang terlalu "gemar bergaul dengan dunia dukun". Ditunjukkan misalnya kesukaannya memugar makam-makam tua (waruga) dan mendirikan patung hampir di seluruh kawasan wilayahnya. Tapi benarkah? "Membangun patung dan memugar waruga-waruga itu adalah dalam rangka menggali kebudayaan", kilah Karmite, Kepala Direktorat Khusus kantor Gubernur Sulawesi Utara. Ia membantah soal dukun itu. Tapi tak kalah keras dengan itu, adalah tudingan bahwa Gubernur Worang terlalu banyak memberi prioritas kepada keluarganya di bidang usaha. Ditunjuk misalnya kasus Alex Tompunu, mertuanya. Tompunu terbilang pengusaha kelas kakap di daerah ini. Juga Bernadus bersaudara, yang banyak menangani proyek-proyek besar. Tapi jawaban pihak yang disangka: "Jangan sangka saya jadi pengusaha karena Worang", kata Tompunu. "Sebelum pendaratan Batalion Worang di Manado, saya sudah punya banyak pohon kelapa dan mobil". Dan di salah satu proyeknya, Otty Bernadus bertanya kepada Phill M. Sulu dari TEMPO "Apakah hidup saya tidak berkeringat dan hanya bergantung pada gubernur?" Kembi Worang sendiri selalu menolak tuduhan-tuduhan tadi. "Saya tak pernah memberi prioritas kepada keluarga saya, kalau tak percaya tanyakan kepada ir. Lontoh, kepala DPU", kata Gubernur Sulawesi Utara itu. Dan pada ketika lain, katanya: "Jangan fitnah pegawai atau keluarga saya. Kalau jantan buka apa kekurangan saya, salah saya dan kelemahan saya. Jangan hanya memfitnah". Tapi di daerah yang kaya itu memangkasak-kusuk seolah tak pernah habisnya, sehubungan dengan kursi gubernuran. Itu tak berarti orang-orang yang memuji Worang merupakan pihak yang tidak dominan. Pujian itu bisa tinggi sekali. Seorang camat misalnya menyebut kepemimpinan Worang di Sulawesi Utara sebagai "karunia Tuhan". Tapi tentu saja Worang ada batasnya. Di antara batas itu adalah masa jabatan. Di Sulawesi Utara sekarang orang sedang ramai berbisik-bisik, siapa bakal pengganti H.V. Worang setelah masa jabatannya habis di bulan Desember tahun ini. Pertanyaan ini barangkali terlalu pagi. Siapa tahu Worang tetap terus satu masa jabatan lagi. Suka atau tak suka, di bawah dia Sulawesi Utara memperlihatkan gigi ekonomi yang kuat. Lebih-lebih apabila seluruh jalur jalan yang pernah ada sudah mampu menghubungkan seluruh wilayah. Dengan demikian jutaan pohon kelapa yang membuahkan kopra itu, ribuan ton pala dan ratusan ribu pohon cengkeh serta hasil bumi lainnya yang selama ini agak tersendat, akan membanjir ke mana-mana. Di samping itu, kota Administratif Bitung akan menjadi pusat industri Pelabuhannya kini mampu disandari kapal berbobot mati di atas 60.000 ton. Dengan ini propinsi ini akan jadi pintu gerbang Indonesia, untuk kawasan di sebelah timur dan negara-negara tetangga di utara. Tapi toh warga Sulawesi Utara sekarang sudah mulai berfikir tentang seorang pengganti Worang. Sang pengganti mustilah seorang kuat, seperti Worang sendiri. Kuat, yang tidak berarti besi. Orang Sulawesi Utara tidak terkenal sebagai orang berwajah kuyu, muram, dan ketakutan. Mereka suka kebebasan. Dan di situlah kekuatan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus