TAK hanya MTQ ke-X yang bakal merepotkan Sulawesi Utara tahun
ini. Tapi juga buah cengkeh. Sekitar Mei dan Juni nanti sebanyak
15.000 hingga 18.000 ton cengkeh harus diturunkan dari
batangnya. Artinya urusan ini bakal menyangkut uang sebanyak Rp
60 milyar lebih. Begitu rupa ramainya nanti hingga panen raya
cengkeh ini diperkirakan akan menyebabkan sekolah (dari segala
tingkat), ABRI, pegawai pemerintah ataupun swasta harus
diliburkan. Semua mesti dikerahkan untuk ramai-ramai memetik
cengkeh. Jika tidak begitu, kata mereka, bunga-bunga cengkeh itu
tak akan terpetik seluruhnya tepat pada waktunya.
Tapi menjelang panen besar (yang 4 tahun sekali itu) ada juga
kekhawatiran para petani. Sebelum bunga cengkeh muncul di sela
daun, dalam bentuk yang lazim dinamakan "kuku tikus", lalu "tahi
tikus" (sudah kering dijemur), harus ditempuh proses panjang.
Ini tak sedikit menelan biaya. Para petani harus merapikan
kebun, menyediakan tangga, tikar penjemur, tenaga-tenaga
pemetik. Dan untuk semua ini diperlukan persediaan modal.
Pertanyaan mereka: dari mana modal uang didapat? Sedangkan
proses dari kuku tikus menjadi tahi tikus menuntut kesabaran
waktu nyaris setahun?
Untuk menadahkan tangan ke bank selama ini masih dianggap
sebagai cara yang memakan hati. Prosedurnya dirasakan teramat
berliku. Lalu muncullah "setan" lama di sela-sela pohon cengkeh
itu: ijon, atau apapun namanya. Tapi toh para pengijon, hampir
sepanjang sejarah, dianggap para petani cengkeh hampir sebagai
pahlawan. Mereka selalu muncul tepat pada saat orang butuh.
Surat perjanjian atau surat dalam bentuk kwitansi biasa dibuat:
si petani B telah meminjam cengkeh sebanyak 1.000 kg dari si
pedagang A. Yang diterima petani bukan cengkeh, tapi uang Rp 1
juta, meskipun harga cengkeh pada waktu itu antara Rp 3.500
sampai Rp 4.000 per kg.
Tapi menjelang panen besar tahun ini rupanya tiba giliran para
pengijon yang jadi risau. Ternyata fihak pemerintah daerah di
samping menyadari bahwa mereka selama ini terlalu banyak
berpangku tangan, mereka juga kini melihat cengkeh sebagai
sumber pendapatan yang tak pantas diabaikan.
Untuk itu tahun 1976 lalu Pemda Sulawesi Utara mengeluarkan SK
No. 174 tentang tataniaga cengkeh. Isinya, di samping menetapkan
harga beli pada petani paling rendah Rp 3.500 per kg juga
menentukan: yang berhak membeli cengkeh dari para petani hanya
BUUD/KUD. Tiga buah perusahaan yang terbilang kakap ditunjuk
pula sebagai pembeli tunggal cengkeh dari BUUD/KUD.
Jika demikian, apakah BUUD/KUD cukup punya modal untuk menampung
hasil panen cengkeh sebanyak itu? "Sudah ada komitmen antara
Ditjen Koperasi dengan flhak Bank Indonesia, bahwa untuk
Sulawesi Utara disediakan Rp 11,4 milyar sebagai modal koperasi
untuk membeli cengkeh", kata Bonny Lengkong, residen dan
pembantu utama Gubernur Sulawesi Utara di bidang ekonomi.
Lengkong agaknya cukup optimis bahwa SK Gubernur No. 174 itu tak
hanya akan merenggut para petani cengkeh dari rongrongan
pengyon, tapi Juga akan memperbaiki nasib mereka Sebab, kata
residen itu, sudah ditentukan harga pembelian koperasi
(BUUD/KUD) dari petani paling rendah Rp 3.500 per kg. Tak lupa
Lengkong menyebut, bahwa para petani yang sudah terlanjur
meminjam uang dari pengijon diserukan agar melaporkannya kepada
pengurus koperasi setempat. "Koperasi akan mengganti uang
pengijon sesuai dengan yang dipinjam petani", ujarnya. Yaitu
dengan cara memotong uang penjualan si petani.
Tinggal soalnya sekarang: apakah BUUD/KUD mampu bertindak
seperti harapan petani? "Dari sekarang kita sudah melakukan
penataran para petugas koperasi", jawab Lengkong kepada TEMPO
pertengahan Pebruari lalu.
Tapi jika ditilik dari pengalaman mengurus tataniaga kopra -
yang kemudian diterapkan juga pada cengkeh -- agaknya harapan
para petani tak begitu saja akan terpenuhi. Pada mulanya
perdagangan kopra di Sulawesi Utara sepenuhnya tergantung pada
para pedagang dengan sistim jatah, setelah melalui berbagai
jalur (akumulator). Sulit dilupakan peranan para pedagang kopra
di propinsi ini pada waktu-waktu lampau. Seorang pejabat jika
tak hatihati dapat dengan mudah tergelincir karena licinnya
minyak kopra. Sehingga tak jarang terdengar ucapan, "siapa
menguasai kopra dia akan menentukan poleksus daerah ini". Hal
ini sesungguhnya mudah difahami bila diingat bahwa dari propinsi
ini mengalir tak kurang dari 18.000 ton kopra setiap bulan.
Karena itu pula, ketika pemerintah pusat mulai menertibkan
sistim niaga kopra di tahun 1969, kegoncangan yang diduga
digerakkan para pedagang kopra hampir saja melontarkan H.V.
Worang dari kursi gubernurnya. Dalam ketentuan ini disebutkan
juga bahwa setiap petani harus menjual kopranya kepada koperasi.
Dan dengan harga yang ditetapkan koperasi.
Tapi kemudian ternyata ketentuan ini tak begitu saja membunuh
para perantara, yang selama ini sudah punya akar di kebun
kelapa. "Kami seakan menjadi pencuri kopra kami sendiri", ujar
seorang petani kelapa. Sebab tak jarang mereka harus main
kucing-kucingan dengan para petugas Hansip, untuk menghindari
pos-pos penjagaan yang ada di tiap kampung. Hansip ini mengintai
setiap petani yang berani meloloskan kopranya tanpa melalui
unit-unit pembelian yang telah ditentukan koperasi (BUUD/KUD).
Kucing-kucingan ini mau tak mau harus terjadi, karena di
beberapa tempat sudah menunggu para pedagang pengumpul yang
memasang tarif lebih tinggi dari harga koperasi. Di samping itu,
di beberapa tempat, koperasi melakukan pemotongan-pemotongan
harga atas nama "partisipasi" dan macammacam lagi.
Ini belum terhitung tindakan sementara camat yang suka main
pukul rata. Sebab dalam ketentuan disebutkan, bahwa petani
kelapa yang punya produksi kopra 5 ton ke atas dapat melakukan
penjualan langsung ke pabrik minyak atau pedagang kopra (tanpa
lewat koperasi). Oleh beberapa orang camat ternyata pengecualian
ini dianggap tak ada. Mereka tetap memaksa agar petani menjual
kopranya kepada koperasi. Mengapa? Konon karena dalam pemotongan
harga yang dilakukan koperasi, komisi sekian persen sudah
ditentukan untuk camat, hukum tua (lurah) dan pengurus koperasi
sendiri.
Ketimpangan serupa itu yang agaknya mulai direka-reka para
petani cengkeh dewasa ini. Soal harga yang Rp 3.500 per kg itu
misalnya, tak mustahil memberi banyak peluang kepada para
pedagang (di luar koperasi) untuk memancing para petani agar
bermaln kucing-kucingan pula. Belum lagi sikap para pengurus
koperasi, yang dalarn riwayatnya pernah menyurarnkan sistim
niaga ini sendiri. Harap juga diingat, bahwa kredit Rp 11,4
milyar tadi hanya akan diurus oleh 19 buah koperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini